BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
No world Peace without religious peace
-Hans Kung Global Responsibility in search of a new world ethic,
Tidak
ada dunia yang damai, tanpa adanya kedamaian antar umat beragama. Adagium ini sangat terasa kebenarannya
jika kita melihat sejarah dunia. Kedamaian akan
tercipta jika umat beragama menjadi pelopor dan pencipta perdamaian, sebaliknya
dunia akan penuh konflik jika agama terlibat dalam
permasalahan.
Dalam sejarah di dunia, dalam relasi antar
umat beragama terjadi fakta ambigu, disatu sisi ada suatu daerah yang rukun, dalam artian daerah
tersebut dapat mengelola konflik dengan baik. Perbedaan agama tidak menjadi
pemicu pertikaian. Contoh indah yang dapat diajukan adalah Kota Yasrib (Madinah)
di era Nabi. Kota tempat Nabi hijrah ini terdapat kemajemukan keyakinan, yang mana masing-masing agama
tersebut dapat mengelola sebuah konflik dengan baik. Mereka melakukan
kesepakatan bersama dengan membuat piagam madinah yang mempunyai 47 pasal yang
setaip pasal dalam piagam tersebut harus ditaati oleh semua masyarakat kota
Madinah.
Dilain sisi, ada juga daerah yang sampai
terjadi konflik, baik laten maupun manifest. Agama menjadi energi
destruktif yang membuat eskalai konflik semakin tinggi. Karen Amstrong
dalam bukunya “Perang Suci : Kisah Detail perang
Salib, Akar Pemicunya, dan Dampaknya Terhadap Zaman Sekarang” melukiskan
dengan baik bagaimana agama menjadi pengeras konflik yang dahsyat.[1]
Di Indonesia, sejarah relasi rukun antar umat
beragama sudah terjadi sejak dahulu kala. Indonesia yang sejak kelahirannya
memploklamirkan diri sebagai Negara yang mejemuk mempunyai sejarah panjang
tentang kerukunan umat beragama itu. Para The Founding Father sangat
menyadari kemajemukan di Indonesia sudah menjadi kenyataan yang tak terelakkan.
Hal ini terlihat dari semboyan yang telah ditanamkan oleh leluhur kepada warga
Negara Indonesia : yaitu Bhineka Tunggal Ika. Ini bukan hanya semboyan
tetapi sudah diaplikasikan oleh masyarakat sejak dahulu.
Sejarah mencatat banyak sekali fenomena kerukunan
antar umat beragama yang terjadi di Indonesia. Contohnya pada zaman kerajaan
kuno, Candi Prambanan sebagai lambang perdamain antara dua agama, yaitu agama
Budha dan agama Hindu. Contoh lain adalah masuknya agama Islam
di Indonesia dengan damai di tengah masyarakat yang mayoritas beragama Hindu-Budha
dan nyatanya sampai saat ini pun agama Islam berkembang dengan baik-baik saja.
Semua agama pasti mengajarkan kerukunan dan
perdamaian. Seperti halnya Islam, agama yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad ini mengajarkan nilai-nilai kerukunan antar umat beragama dengan
kosnep ukhuwah-nya. Salah satu
konsep ukhuwah yang dikenal adalah ukhuwah basyariyah.
Secara etimologi, ukhuwah basyariyah berasal dari 2 kata yaitu dari
kata ukhuwah yang berasal dari bahasa arab yang berarti persaudaraan, dan basyariyah berarti
kemanusiaan. Secara terminologi, Ukhuwah
basyariyah merupakan rasa
persaudaraan yang dibangun berdasarkan atas rasa kemanusiaan.[2] Dalam hal
ini, dapat dipahami bahwa semua manusia tanpa melihat agama, ras atau suku di dunia
ini pada dasarnya adalah bersaudara. Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar
saling menghargai di antara seluruh manusia yang ada di dunia ini, tanpa
melihat latar belakangnya. Keanekaragaman manusia merupakan perbedaan alami
yang harus dihormati.
Senada dengan umat Islam, agama Kristen juga telah mengajarkan tentang
pentingnya menjaga relasi antar umat beragama. Ketika observasi awal di desa
Sitiarjo, peneliti menemukan sebuah kidung yang
mengambarkan ajaran luhur kerukunan umat manusia. Kidung itu terdapat pada Kitab
Kidung Pasamuan Kristen (KPK) halaman 319 yang berjudul
"Endahe saduluran"[3].
Setiap lirik dalam lagu tersebut mengajarkan kepada kita betapa indahnya rasa
persaudaraan, rasa persaudaraan yang tidak memandang ras, umur, gender, terebih-lebih agama.
Nah, penelitian ini mengambil satu kasus
dinamika lokal yang terjadi didaerah Sitiarjo Sumbermanjing Wetan. Pilihan
ini berdasarkan, pertama, di daerah
tersebut memiliki kemajemukan pemeluk umat beragama dengan Kristen sebagai
agama mayoritas. Dengan prosentase Kristen 85% dan Islam 15%. Kedua, relasi antar umat beragama disana terjalin
sangat baik. Tidak jarang, banyak ditemukan warga masyarakat desa sitiarjo yang
saling gotong royong meskipun berbeda agama. Sebagai gambaran kerukunan tersebut tampak ketika terjadi banjir bandang pada tanggal 13 Juli 2013 yang mana terlihat
masyarakat saling bahu membahu dan saling tolong menolong tanpa memandang status agama.[4]
Kerukunan umat beragama di Sitiarjo sebenarnya
sudah pernah diteiti oleh Dr. M. Zainuddin, MA. yang hasilnya diterbitkan menjadi sebuah buku yang berjudul "Potret
Kerukunan Umat Beragama di Malang Selatan" [5] Penelitian
tersebut lebih menekankan pada “Kondisi
kerukunan hidup antar umat beragama, perwujudan kerukunan hidup beragama,
hubungan antar tokoh agama, hubungan antara tokoh agama dengan pemerintah,
peran tokoh agama dan pemerintah dalam mewujudkan kerukunan hidup antar umat
beragama, dan faktor-faktor yang
mendasari kerukunan antar umat beragama di daerah Sitiarjo”.
Berbeda dengan penelitian di atas, riset ini merupakan penelitian lanjutan yang
lebih menekankan pada "Historisitas kemajemukan dan kerukunan beragama,
cara mereka melakukan internalisasi, dan cara pengelolaan konflik yang
terjadi di desa
Sitiarjo".
B.
Identifikasi Masalah
Dari uraian diatas, ada beberapa hal yang menjadi pijakan bagi peneliti dalam melakukan penelitian, yaitu :
a.
Awal mula desa Sitiarjo menjadi desa yang majemuk. Sebab
dengan melihat sejarah kita dapat mengidentifikasi konstruksi historis
kerukunan sehingga dapat bisa dijadikan bahan pijakan untuk memahami konstruksi
kerukunan hari ini.
b.
Cara masyarakat desa Sitiarjo menanamkan
nilai-nilai toleransi terhadap agama lain.
c. Potensi konflik dan cara masyarakat Sitiarjo mengelola
konflik. Perbincangan ini menjadi menarik karena bisa menjadi penanda awal (early
warning) bagi ancaman kerukunan umat beragama di Sitiarjo.
C.
Rumusan Masalah
Dari
identifikasi masalah di atas maka dalam
penelitian
ini peneliti mengambil rumusan
sebagai berikut :
1.
Bagaimana historisitas
terbentuknya kemajemukan dan kerukunan
masyarakat desa Sitiarjo ?
2.
Bagaimana
internalisasi nilai-nilai toleransi kepada umat beragama di desa Sitiarjo ?
3.
Apa potensi konflik
yang mungkin terjadi dan bagaimana
pengelolaan konflik antar umat beragama di desa Sitiarjo ?
D.
Batasan Masalah
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, peneliti membatasi hal-hal yang akan dibahas sebagai
berikut :
Yang
dimaksudkan sejarah dalam penelitian ini adalah sejarah kronologis dan sejarah
sosial. Sejarah kronologis merupakan sejarah yang berdasarkan periodisasi.
Sedangkan Sejarah Sosial merupakan
kajian sejarah tentang masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat,
yang mencoba untuk melihat bukti-bukti sejarah dan
mengambil fakta sosial/masyarakat sebagai bahan kajian. Jadi, peneliti ingin
mengetahui sejarah mulai terbentuknya kemajemukan antara umat Islam dan umat
Kristen di desa
Sitiarjo dan bagaimanakah bentuk-bentuk kerjasama yang berbuah kerukunan antara
dua umat beragama tersebut.
Yang dimaksudkan
internalisasi dalam penelitian ini adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau
organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product” .[6] Jadi, peneliti ingin mengetahui proses
sosialisasi dan proses penanaman nilai-nilai toleransi beragama baik yang
dilakukan oleh lingkungan, keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan,
tokoh-tokoh agama, aparat desa, maupun oleh pemerintah Negara.
Sedangkan yang dimaksudkan konflik dalam
penelitian ini adalah situasi dimana seseorang atau kelompok merasa seseorang
atau kelompok lain menjadi penghalang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Baik
itu berbentuk konflik laten maupun konflik manifes yang berbasis nilai dan
kepentingan. Dalam hal ini, peneliti ingin mengetahui adanya konflik yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat dan bagaimanakah pengelolaan terhadap
konflik yang terjadi.
E.
Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan penelitian ini adalah :
1.
Mengetahui sejarah
terbentuknya kemajemukan dan kerukunan masyarakat desa Sitiarjo
2.
Memahami
bentuk-bentuk internalisasi
nilai-nilai toleransi antar umat beragama di desa Sitiarjo
3.
Mengetahui
potensi
konflik dan cara pengelolaan
konflik yang terjadi di masyarakat
F.
Manfaat Penelitian
Adapun
manfaat dari penelitian ini adalah :
1.
Manfaat Teoritis
a.
Dapat memberikan
gambaran umum tentang kerukunan antar umat beragama di desa Sitiarjo
b.
Dapat memberikan
kontribusi teoritik dengan wacana tentang sosial keagamaan
2.
Manfaat Praktis
a.
Untuk Pemerintah dapat
memberikan informasi dan sebagai peringatan dini dalam membangun toleransi dan mengelola
kemajemukan dengan tepat
b.
Untuk Organisasi
Masyarakat dapat memberikan gambaran tentang potensi konflik yang mungkin
terjadi sehingga penelitian ini dapat menjadi muhasabah bersama agar
Ormas dapat melakukan gerakan yang tepat untuk mendukung terbentuknya
masyarakat yang damai di desa Sitiarjo.
c.
Untuk warga setempat
dalam melakukan dialog keagamaan antar mereka agar terjalin hubungan yang lebih
harmonis
BAB II
KERANGKA
TEORI
A.
Kerukunan
Antar Umat Beragama
1.
Kerukunan Umat Beragama
Manusia
sebagai makhluk sosial tentunya membutuhkan keberadaan orang lain disekitarnya,
dan hal ini akan dapat terpenuhi jika nilai-nilai kerukunan dan toleransi
beragama tumbuh dan berkembang dengan baik di tengah-tengah masyarakat. Kerukunan diartikan dengan kelapangan dada, dalam arti suka dan rukun kepada siapapun, membiarkan orang berpendapat atau
berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan lain.[7]
Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak
dapat dihindarkan di tengah-tengah perbedaan, karena kerukunan bertujuan untuk tidak menciptakan
perselisihan dan pertengkaran. Dalam kehidupan pasti ada perbedaan, perbedaan
yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam
bingkai persaudaraan dan persatuan.
Kerukunan
umat beragama merupakan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi
dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai
dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan
masyarakat dan bernegara.[8]
Kerukunan
antar umat beragama dalam pandangan Islam disebut Ukhuwah. Ukhuwah berasal dari kata dasar “Akhun” yang berarti saudara, teman,
sahabat. Kata “Ukhuwah” sebagai kata jadian dan mempunyai pengertian
atau menjadi kata benda abstrak yaitu persaudaraan, persahabatan, dan dapat
pula berarti pergaulan.[9] Dalam pengertian yang luas, Ukhuwah
memberikan cakupan arti “Suatu sikap yang mencerminkan rasa persaudaraan,
kerukunan, persatuan dan solidaritas yang dilakukan oleh seseorang terhadap
orang lain atau suatu kelompok pada kelompok lain dalam interaksi sosial (muamalah ijtimaiyyah).” Sikap Ukhuwah
itu sendiri akan muncul dalam kehidupan masyarakat karena dua hal, yaitu :
a.
Adanya persamaan, baik dalam masalah keyakinan atau agama, wawasan,
pengalaman, kepentingan, tempat tinggal maupun cita-cita.
b.
Adanya kebutuhan yang hanya dapat dirasakan hanya dapat dicapai dengan
melalui kerjasama dan kegotong-royongan serta persatuan.
Ukhuwah (persaudaraan atau persatuan) menuntut beberapa
sikap dasar yang akan mempengaruhi kelangsungannya dalam relitas kehidupan sosial, sikap-sikap tersebut antara lain : saling mengenali, saling menghargai,
saling menolong, dan saling menyayangi.[10] Di sisi lain, Ukhuwah akan terganggu
kelestariannya jika terjadi sikap-sikap yang bertentangan dengan kelakuan etika
sosial, seperti : adanya sikap saling menghina, saling
mencela, adanya praduga jelek (su’udhan), adanya sikap suka mencemarkan
nama baik, adanya sikap kecurigaan yang berlebihan, dan lain-lain.[11]
Nahdlatul
Ulama mengkonseptualisasikan kerukunan (Ukhuwah) dengan tiga pilar,
yaitu : Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Basyariyah. Ukhuwah
Islamiyah adalah persaudaraan sesama muslim yang tumbuh dan berkembang
karena persamaan aqidah atau keimanan, baik di tingkat nasional maupun
internasional. Ukhuwah Wathaniyah adalah persatuan nasional yang tumbuh
dan berkembang atas dasar kesadaran berbangsa dan bernegara. Sedangkan Ukhuwah
Basyariyah (Insaniyah) adalah hubungan kemanusiaan yang tumbuh dan
berkembang atas dasar rasa kemanusiaan yang bersifat universal
(persaudaraan antar manusia, baik itu seiman maupun berbeda keyakinan) karena
pada dasarnya seluruh umat manusia berasal dari ayah dan ibu yang sama yaitu
Adam dan Hawa.
Persaudaraan
Islam dan Persatuan Nasional merupakan dua sikap yang saling membutuhkan dan
saling mendukung, dan harus diupayakan keberadaannya secara serentak, serta
seyogyanya tidak dipertentangkan antara yang satu dengan yang lain. Adapun
sikap hubungan antara Persaudaraan Islam dan Persatuan Internasional adalah :
a.
Akomodatif, dalam
arti adanya kesediaan untuk saling memahami pendapat, aspirasi dan kepentingan
satu sama lain.
b.
Selektif, dalam
arti adanya sikap kritis untuk menganalisa dan memilih yang terbaik dan yang
aslah (lebih member maslahat) serta anfa’ (lebih member manfaat) dari beberapa
alternative yang ada.
c.
Integratif, dalam
arti kesediaan untuk menyesuaikan dan menyelenggarakan berbagai macam
kepentingan dan aspirasi tersebut secara benar, adil dan proporsionil.[12]
Di Indonesia
sendiri terdapat tiga konsep kerukunan umat beragama yang dinamakan “Tri
Kerukunan Beragama” yang isinya adalah sebagai berikut :
1.
Kerukunan intern umat beragama, yakni bentuk kerukunan yanag terjalin
antar masyarakat penganut seagama.
2.
Kerukunan umat beragama, yakni bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat yang memeluk agama
yang berbeda.
3.
Kerukunan umat beragama dengan pemerintah, yaitu bentuk kerukunan semua
umat-umat beragama dengan pemerintah.[13]
Adapun yang
termasuk faktor-faktor yang mendorong terwujudnya kerukunan, antara lain :
komunikasi (dialog) antar agama yang berjalan dengan baik, saling pengertian, saling
tenggang rasa, saling mempercayai, saling menghargai dan saling menghormati,
adanya kerjasama sosial yang melibatkan seluruh pemuka agama, adanya kesetaraan
dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Sedangkan faktor-faktor
yang menyebabkan tergeseknya kerukunan, antara lain : rendahnya sikap toleransi
antar agama, salah pemahaman dan penafsiran, adanya kepentingan politik, dan
adanya sikap fanatisme yang muncul.
2.
Internalisasi Kerukunan Umat Beragama
Internalisasi yang dimaksud disini adalah meminjam
teori konstruksi sosial dari Peter L. Berger yang secara ringkas akan dijelaskan
berikut ini : Teori konstruksi sosial Peter L. Berger mengasumsikan bahwa
realitas dan agensi (manusia) mempunyai hubungan timbal balik dengan
skema eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.
a.
Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural
sebagai produk manusia. “Society is a
human product”.
b.
Objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif
yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”.
c.
Internalisasi ialah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau
organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product” .[14]
Jadi, internalisasi kerukunan beragama adalah proses penanaman nilai-nilai toleransi
beragama baik yang dilakukan oleh lingkugan, keluarga, masyarakat, lembaga
pendidikan, tokoh-tokoh agama, aparat desa, aparat Negara, dll.
B.
Konflik
dan Agama
Konflik berasal dari kata
Latin configere yang berarti benturan.[15] Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang
atau lebih (kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.[16] Konflik biasanya juga dimaknai sebagai satu bentuk perbedaan atau
pertentangan ide, pendapat dan faham dalam kepentingan diantara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini bisa
berbentuk pertentangan fisik dan non fisik yang mana pertentangan non fisik
pada umumnya berkembang menjadi benturan fisik yang bisa berkadar tinggi dalam
bentuk kekerasan (violent) bisa juga
berkadar rendah tanpa menggunakan kekerasan (non violent). Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering
bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan,
berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa diselesaikan tanpa
kekerasaan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar
atau semua pihak yang terlibat.
Dari definisi yang telah disebutkan diatas, ada dua
elemen penting dari definisi konflik yakni tujuan dan persepsi. Jika tujuan
berada pada ranah yang teramati (obyektif), sebaliknya persepsi berada pada
ranah mental/pikiran (mind). Sejalan dengan itu, Johan Galtung
menyatakan bahwa konflik pada dasarnya terdiri dari tiga hal yakni
sikap/asumsi, perilaku dan kontradiksi
(Konflik : sikap / asumsi + perilaku + kontradiksi / isi).[17] Dalam studi konflik, analisis konflik yang
diutarakan oleh Galtung ini disebut analisis segitiga ABC (Attitude, Behavior, Contradiction) sedangkan menurut Mitchel
mengkonseptulisasikan struktur konflik dengan struktur segitiga konflik; yaitu
kondisi (condition atau Situtation), tingkah laku (Behavior), dan sikap (Attitude atau perception).[18] Sebagaimana tergambar dalam skema berikut ini:
Behavior
Tingkat Manifes :
Empiris, teramati, sadar
Tingkat Laten :
Teoritis,
dugaan, Attitude
Condition
bawah sadar
Skema diatas dapat dijelaskan sebagaimana terurai
dibawah ini:
a.
Situasi Konflik (Conflict
Situation)
Banyak orang
berpendapat bahwa konflik terjadi karena adanya perebutan sesuatu yang
jumlahnya terbatas. Ada pula yang berpendapat bahwa konflik muncul karena
adanya ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat, terutama antara kelas atas dan
kelas bawah. Selain itu juga karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan,
kebutuhan, dan tujuan dari masing masing anggota masyarakat. Beberapa hal yang
biasa menjadi faktor pemicu munculnya konflik umat beragama dalam masyarakat
adalah:
a.
Perbedaan stratifikasi sosial ekonomi antar pemeluk agama.
Perbedaan yang cukup senjang dan menimbulkan kecemburuan sosial dapat menjadi
pemicu munculya konflik
b.
Kepentingan ekonomi dan politik. Dalam scope negara perebutan dua
sektor penting ini dapat menimbulkan kerawanan terhadap terjadinya konflik
c.
Faham / penafsiran agama. Perbedan pemahaman atau penafsiran terhadap
ajaran agama dapat melahirkan sikap fanatisme berlebihan terhadap madzab atau
faham keagamaan yang dianut oleh setiap kelompok agama baik dalam lingkup
intern agama maupun antar agama
d.
Mobilitas kegiatan dakwah. Usaha mempertahankan atau memperluas jumlah
jamaah untuk menjadi pengikut suatu faham atau agama tertentu
e.
Keyakinan agama. Kepercayaan yang mendasar dan dianggap mutlak yang
menyangkut komitmen utama keberagamaan yang bersifat sakral dan fundamental
bagi setiap pemeluk agama
b.
Sikap Konflik
Sikap konflik
mempunyai definisi kondisi psikologis yang mengiringi konflik. Dalam konflik,
pihak-pihak pasti mempunyai persepsi tentang lingkungan (suasana konflik) dan
tentang lawan maupun dirinya. Persepsi itulah yang terkadang membuat tindakan
konflik terlegitimasi. Bak spiral, tindakan konflik akan mengembangkan
dan membuat persepsi baru pihak-pihak yang bertikai.
Bagi sebagian
peneliti sikap konflik inilah yang memicu terjadinnya konflik atau bisa
dikatakan sebagai sumber konflik.[19]
c.
Perilaku Konflik
Perilaku konflik adalah aksi yang diambil atau
dilakukan oleh satu pihak kepada pihak lawan dalam situasi konflik dengan
tujuan agar pihak kedua tersebut mau merubah atau memodifikasi dan menyesuaikan
tujuannya.
Dari yang
telah dikemukakan diatas, sudah jelas bahwa konflik terjadi jika ada pemicunya.
Dalam agama, konflik juga sering terjadi karena secara sosiologis, masyarakat agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda,
beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu
yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita
telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme
agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana,
karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran
teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia
disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum
minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah)
memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia.
Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan
menempatkan sosok perempuan sebagai objek yang dianggap dapat
merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat
ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa
tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama
tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak. Permasalah
konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai
kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan
tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2,
sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam
memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara
Dalam studi konflik juga dikenal istilah
penyelesaian konflik atau penanganan konflik yaitu tercapainya kesepakatan
antara pihak-pihak yang telibat konflik yang memungkinkan mereka memgakhiri
konflik, terutama konflik bersenjata. Ada beberapa cara untuk menanggulangi
konflik antara lain :
a.
Manajemen konflik, yaitu seluruh
upaya penanganan konflik secara positif. Manajemen konflik ini meliputi Conflict Avoidance atau menghindari
situasi yang dapat mengakibatkan konflik, Conflict
prevention atau mencegah termanifestasinya situasi menjadi perilaku konflik
atau kekerasan, Conflict resolution yaitu
tujuan pihak ketiga untuk memodifikasi atau merubah seluruh aspek konflik dan
mendapatkan penyelesaian konflik yang berdaya tahan.
b.
Transformasi konflik yaitu langkah penting diluar penyelesaian konflik.
Menurut Hugh Mial, ini merupakan pengembangan konflik. Dalam proses perdamaian istilah
ini bermakna sebagai urutan langkah-langkah transisi yang diperlukan
c.
Resolusi Konflik adalah istilah komprehensif yang mengimplikasikan bahwa
sumber konflik yang dalam berakar akan diperhatikan dan diselesaikan. Ini
mengimplikasikan bahwa pelakunya tidak lagi penuh kekerasan, sikap tidak lagi
membahayakan dan struktur konfliknya berubah [20]
BAB III
METODOLOGI
PENELITIAN
A.
Tempat
dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di desa Sitiarjo pada tanggal 19 Mei - 3 Juni. Peneliti yang
sekaligus sebagai intrumen penting dari penelitian
hadir dilokasi penelitian secara insendental
dan kondisional disesuaikan dengan kebutuhan peneliti.
B.
Jenis
Penelitian
Berdasarkan fokus dan subyek yang diteliti, penelitian ini termasuk
kategori penelitian studi kasus yang mana studi kasus ini dilekatkan dalam
penelitian kualitatif yang bersifat eksploratif. Penelitian kualitatif adalah
satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai
subyek utama dalam peristiwa sosial / budaya .[21] Sedangkan eksploratif adalah salah satu
jenis penelitian sosial yang tujuannya untuk memberikan sedikit definisi atau
penjelasan mengenai pola yang digunakan dalam penelitian.[22]
C.
Subyek
Penelitian
Yang menjadi subyek penelitian ini adalah tokoh masyarakat dan warga
desa Sitiarjo
yang ditentukan dengan tekhnik sampling purposive dan dikembangkan
melalui tekhnik snowball. Penentuan subyek dilakukan secara purposive
kepada para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan warga masyarakat yang
dipandang mampu menjawab berbagai pertanyaan yang ingin diketahui oleh
peneliti. Personal-personal tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai key
informan. Teknik diterapkan untuk mencari informan lain yang dirujuk kepada
key informan, teknik ini dipakai dengan maksud agar data dan informasi
penelitian yang dikumpulkan dapat mendalam dan kompherensif
D.
Metode
Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
1.
Metode
pengumpulan data
Untuk mengumpulkan data penelitian, metode yang digunakan peneliti
adalah sebagai berikut :
a.
Dokumentasi
Dokumentasi adalah salah satu metode
pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen
yang dibuat sendiri atau dibuat oleh orang lain.
b.
Observasi
Tekhnik observasi ini merupakan pengumpulan data dengan cara pengamatan
langsung oleh panca indera seperti mata, tangan, kaki, telinga dan mulut. Panca
indera tersebut bisa didukung oleh beberapa alat untuk menunjang pengamatan
seperti buku catatan, alat perekam dan kamera. Oleh karena itu, observasi
adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja
panca indera mata serta dibantu dengan panca indera lainnya.[23]
c.
Wawancara
Secara sederhana wawancara adalah sebuah tekhnik
pengumpulan data
yang
didapatkan oleh peneliti melalui percakapan dengan narasumber atau informan
yang dianggap memiliki peranan penting di tempat penelitian. Dalam penelitian
ini, peneliti melakukan wawancara dengan tekhnik semi terstruktur
yang bertujuan untuk menentukan topik yang dibahas secara lebih terbuka. Dengan wawancara, peneliti akan mengetahui
hal-hal yang lebih mendalam dibalik fenomena yang terjadi yang tidak mungkin
didapat melalui observasi.
2.
Instrumen
Penelitian
Sesuai dengan metode yang digunakan, peneliti menggunakan instrumen
berupa dokumentasi, observasi dan wawancara kemudian data yang telah didapatkan
dikumpulkan dengan kisi-kisi dibawah ini :
a.
Dokumentasi
No
|
Data yang ingin diperoleh
|
Sumber data
|
Ket
|
1
|
Jumlah keseluruhan penduduk Sitiarjo dari tahun 1960-2013
|
Data Pemerintah desa, Kecamatan dan KUA
|
|
2
|
Jumlah tempat ibadah dari tahun 1960-2013
|
Dari desa
|
|
3
|
Persebaran umat beragama di desa Sitiarjo
|
Dari KUA
|
|
4
|
Kegiatan yang biasa dilakukan bersama
|
Karang Taruna
|
|
5
|
Adanya kasus/konflik yang terjadi di Sitiarjo
|
Forum
|
|
b.
Observasi
Dari observasi ini, hal-hal yang ingin diketahui oleh peneliti adalah :
1)
Kegiatan bersama
2)
Kegiatan kegiatan keagamaan
a.
Islam
b.
Kristian
3)
Kondisi geografis / lapangan
4)
Perilaku masyarakat sehari-hari
c.
Wawancara
No
|
Yang ingin diketahui
|
Rumusan pertanyaan
|
Responden
|
1
|
Sejarah
|
1. Gereja pertama pada
tahun berapa ?
|
|
2. Masjid pertama pada
tahun berapa ?
|
|
||
3. Apakah umat Islam di desa Sitiarjo sebagai pendatang ? Masuk pada tahun berapa ? Apa tujuan masuk desa Sitiarjo ?
|
|
||
4. Apakah umat Kristian di desa Sitiarjo sebagai pendatang ? Masuk pada tahun berapa ? Apa tujuan masuk desa sitiarjo ?
|
|
||
5. Sesepuh tokoh Islam di desa Sitiarjo
|
|
||
6. Sesepuh tokoh Kristian di desa Sitiarjo
|
|
||
2
|
Internalisasi
|
1. Kegiatan bersama yang dilakukan pemeluk kedua agama di desa Sitiarjo
|
|
2. Cara pemerintah melakukan internalisasi
|
|
||
3. Cara tokoh agama melakukan
internalisasi :
|
|
||
a. Islam
|
|
||
b. Kristian
|
|
||
4. Lembaga pendidikan dan ormas yang melakukan internalisasi
|
|
||
5. Cara lembaga pendidikan dan ormas melakukan internalisasi
|
|
||
6. Cara masyarakat itu sendiri melakukan internalisasi
|
|
||
3
|
Cara mengelola konflik
|
1. Apa yang menjadi potensi
yang mengancam kerukunan beragama
|
|
2. Pernahkah ada konflik
yang terjadi diantara kedua umat beragama tersebut ?
|
|
||
3. Bagaimana cara
mengatasi konflik kerukunan umat beragama ?
|
|
E.
Pendekatan
Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian sejarah dan sosiologi
agama. Sejarah lebih ditekankan pada kronologis sejarah
desa Sitiarjo
sendiri,
sedangkan sosiologi agama yang banyak digunakan dalam penelitian kualitatif
menggunakan objek kajian manusia sebagai masyarakat dan individu.
Pendekatan penelitian
sejarah adalah pendekatan yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Dengan kata lain, penelitian
sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as
past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history as written).[24]
Pendekatan
sejarah digunakan sebagai metode penelitian yang pada prinsipnya bertujuan
untuk menjawab 6 pertanyaan (5W dan 1H) yang merupakan elemen dasar penulisan
sejarah. Dalam proses penulisan sejarah sebagai kisah, pertanyaan-pertanyaan
dasar itu dikembangkan sesuai dengan permasalahan yang perlu diungkap dan
dibahas. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus menjadi sasaran
penelitian sejarah, karena penulisan sejarah dituntut untuk menghasilkan eksplanasi
(kejelasan) mengenai signifikansi (arti penting) dan makna peristiwa.
Sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai
kesatuan masyarakat atau perbedaan masyarakat secara utuh dengan berbagai sistem
agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan agama dalam berbagai
masyarakat dan sistem keagamaan yang berbeda.[25] Sosiologi agama memusatkan perhatiannya terutama untuk memahami makna yang
diberikan oleh suatu masyarakat kepada sistem agamanya sendiri, dan berbagai
hubungan antar agama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan berbagai aspek
budaya yang bukan agama. Para ahli memandang bahwa agama adalah suatu
pengertian yang luas dan universal, dari sudut pandang sosial dan bukan dari
sudut pandang individu.
F.
Prosedur
penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan dengan 3 tahap yakni dokumentasi,
observasi dan wawancara. Langkah awal peneliti mempersiapkan penelitian dimulai
dari merencanakan penelitian yang dilanjutkan dengan membuat proposal
penelitian kemudian di konsultasikan dengan pembimbing. Setelah itu peneliti menyusun instrumen penelitian yang
merupakan kebutuhan peneliti sebagai bahan penelitian. Instrumen tersebut bisa
didapat dengan cara mencari data sekunder pada lembaga yang bersangkutan,
melakukan wawancara kepada responden yang dianggap sebagai key informan dan yang terakhir peneliti menyusun laporan penelitian
lalu menyesuaikan data yang diperoleh dengan hasil observasi.
BAB IV
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A.
Gambaran Umum
Desa Sitiarjo
1.
Kondisi
Biogeofisik
Menurut
beberapa informasi yang kami dapat, Desa sitiarjo pertama kali didirikan oleh
seorang yang bernama kyai Ngastowo pada tahun 1895. Beliau kegiatan membuka
hutan (jawa : babat alas) disekitar
daerah Palung Lor. Daerah
tersebut merupakan awal cikal bakal berdirinya desa Sitiarjo, yang sekarang lebih dikenal dengan
sebutan daerah Pondhok Dhulang. Pada awalnya desa Sitiarjo dibagi menjadi 4 dusun, yaitu :
a.
Dusun Sitiarjo (Krajan)
b.
Dusun Rowotrate
c.
Dusun Tambak Redjo
d.
Dusun Sendang Biru
Seiring dengan kemajuan zaman,
empat dusun tersebut mengalami beberapa perubahan. Pada tahun 1978, Dusun
Sendang Biru mengalami pemekaran menjadi desa sendiri, dan dusun Tambak redjo
bersama dusun Tamban mengalami perkembangan juga
menjadi desa sendiri. Sehingga desa Sitiarjo hanya
memiliki dua dusun (dusun Krajan dan
dusun Rowotrate).
Pada tahun 2012, dusun Krajan dibagi menjadi tiga, yaitu dusun Krajan Wetan, Tengah dan Kulon. Sehingga
desa Sitiarjo menjadi empat dusun sampai sekarang.
Berikut beberapa dusun tersebut :
a.
Dusun Krajan Kulon
b.
Dusun Krajan Tengah
c.
Dusun Krajan Wetan
d.
Dusun Rowotrate
2.
Kondisi
Geografis dan Administratif
Secara geografis, desa Sitiarjo terletak pada 7021 – 7031
Lintas Selatan dan 100010 – 111040 Bujur Timur. Jarak
tempuh desa Sitiarjo ke Ibukota Kecamatan
adalah 18 Km, yang dapat ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit dalam waktu
normal, sedangkan jarak tempuh ke Ibukota Kabupaten adalah 58 Km, yang dapat ditempuh
dalam waktu sekitar 90 menit dalam waktu normal. Secara administratif, desa Sitiarjo terletak diwilayah kecamatan Sumbermanjing Wetan,
kabupaten Malang yang berbatasan dengan desa-desa tetangga,
yaitu :
a.
Sebelah Utara berbatasan dengan
desa Sumbermanjing
b.
Sebelah Timur berbatasan dengan
desa Tambakrejo dan Kedung Banteng.
c.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia
d.
Gambar 4.1 peta
administrasi lokasi wilayah desa Sitiarjo (sumber :
Google Maps)
3.
Kondisi Sosial
Budaya
a.
Kependudukan
Berdasarkan
data administratif pemerintahan desa tahun 2012,
jumlah penduduk desa Sitiarjo adalah
terdiri dari 2.363 kepala keluarga, dengan jumlah total 7.683 jiwa, dengan
rincian 3.765 laki laki dan 3.918 perempuan.
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk
Berdasarkan Usia
No
|
Usia
|
Laki laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
prosentase
|
1
|
0-4
|
219
|
224
|
443
|
5.77 %
|
2
|
5-9
|
178
|
183
|
361
|
4.70 %
|
3
|
10-14
|
217
|
224
|
441
|
5.74 %
|
4
|
15-19
|
249
|
259
|
508
|
6.61 %
|
5
|
20-24
|
292
|
301
|
593
|
7.72 %
|
6
|
25-29
|
327
|
337
|
664
|
8.64 %
|
7
|
30-34
|
338
|
347
|
685
|
8.92 %
|
8
|
35-39
|
348
|
352
|
700
|
9.11 %
|
9
|
40-44
|
352
|
358
|
710
|
9.24 %
|
10
|
45-49
|
334
|
341
|
675
|
8.79 %
|
11
|
50-54
|
322
|
329
|
651
|
8.47 %
|
12
|
55-58
|
242
|
254
|
496
|
6.46 %
|
13
|
59>
|
347
|
409
|
756
|
9.84 %
|
Jumlah
|
3.765
|
3.918
|
7.683
|
|
Sumber : Data Dasar profil desa tahun 2012, Sitiarjo
Dari data
diatas, dapat dilihat bahwa penduduk yang usianya masih produktif (usia tahun
20-49) di desa Sitiarjo
sekitar 4.027 jiwa dengan prosentasi 51% . Penduduk desa Sitiarjo mayoritas
bertempat di dusun Krajan (Krajan Kulon, Tengah dan Wetan), seperti yang tertera pada tabel di bawah ini :
Tabel 4.2
Sebaran Penduduk Berdasarkan RT-RW Desa Sitiarjo
No
|
Nama Dusun
|
Jumlah RT
|
Jumlah RW
|
1
|
Krajan Wetan
|
21
|
4
|
2
|
Krajan
Tengah
|
15
|
4
|
3
|
Krajan Kulon
|
20
|
5
|
4
|
Rowotrate
|
5
|
2
|
Jumlah
|
61
|
15
|
Sumber : Data Dasar Profil Desa Tahun 2012, Sitiarjo
b.
Keagamaan
Salah satu
desa di Indonesia yang memiliki keragaman pemeluk agama adalah desa Sitiarjo,
dimana disana memiliki dua pemeluk agama yang besar, agama Kristen dan agama Islam. Kristen sebagai agama dominan dan Islam sebagai agama baru / pendatang , dengan prosentase Kristen 85%, Islam 15%.
Menurut data yang kami dapat[27],
jumlah penduduk yang berada di desa Sitiarjo pada tahun 2011 adalah 7295 jiwa. Dari jumlah tersebut, penduduk yang beragama
Kristen 716 jiwa, dan penduduk yang beragama Islam sebanyak
6579 jiwa (lebih jelasnya lihat lampiran). Kedua agama
tersebut menyebar ke seluruh desa Sitiarjo, dengan persebaran :
Gambar 4.2 Peta persebaran dua agama (Kristen dan islam) di desa Sitiarjo
Dari gambar
peta diatas, dapat diketahui bahwa ada dua kampung yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, meskipun ada beberapa KK yang
beragama Kristen, dua kampung yang memiliki kemajemukan pemeluk agama,
yaitu di daerah Palung
Lor dan Lor Pasar, di kampung tersebut antar kedua agamanya dominan,
artinya 50 : 50. dan kampung lainnya
mayoritas beragama Kristen.
B.
Sejarah Terbentuknya Kemajemukan
dan Kerukunan Masyarakat Sitiarjo
Sebelum melangkah pada sejarah terbentuknya
kemajemukan dan masyarakat desa Sitiarjo, peneliti akan memaparkan dulu sejarah
terbentuknya desa Sitiarjo. Dahulu, tersebutlah
seorang tua bernama Kyai Truna Semita yang tinggal di Wonorejo - Bantur
Kabupaten Malang. Ia adalah putra kedua dari tokoh "bedhah krawang"
komunitas Wonorejo yaitu Ki Ibrahim Tunggul Wulung asal Juwana - Pesisir Utara Jawa Tengah yang sempat bertapa di Lereng Gunung Kelud, dan memeluk agama Kristen sejak
dibaptiskan pada tanggal 6 Juli 1857 di bawah asuhan Pdt J.E Jellesma
(pasamuwan Mojowarno - Jombang).[28]
Kyai Truna Semita berperan
penting dalam meramaikan pembukaan lahan Swaru - Gondanglegi. Di sanalah ia bersahabat dengan para pendatang, antara lain dengan para keturunan Raden Mas
Sandiya Suramenggala, yaitu kakak beradik Sarna Krama Setja, Garta Ngastawa,
Kasminah (istri Sarub), Astama, Kasiman & Sarta (suami Tramisih) yang
tadinya boyong dari desa Karungan - Sidoarjo, Pasamuwan Sidokare. Suatu ketika
Beliau melontarkan ide kepada para sahabatnya untuk membuka sebuah dataran di
Lembah Sungai Panguluran yang masih berupa "alas gung liwang-liwung
jalma mara jalma mati". Setelah beberapa kali rembugan, Beliau dan
guru Krama Setja sepakat meminta Garta Ngastawa melakukan survey ke tempat
tersebut. Untuk itu mereka juga mohon doa restu kepada Pdt D. Louwerier selaku
pemimpin Pasamuwan Swaru.
Survey ke dataran di hutan
Panguluran dilakukan dua kali.[29] Survey pertama dilaksanakan Garta Ngastawa bersama dua
orang sahabatnya, yaitu Tapa dan Mangun. Mereka tiba di perbukitan sisi Utara
dan mendirikan sebuah pondok sederhana. Dari situ mereka memandang ke seluruh
lembah subur yang tampak seperti pinggan (Jawa : Dulang), sehingga menyebut tempat mereka saat itu
sebagai "Pondok Dulang".[30] Selanjutnya, pondok itu dijadikan pos tinggal selama pelaksanaan
survey ke seantero Ngarai. Hasil survey berminggu-minggu itu kemudian dilaporkan
kepada Pdt. D. Louwerier. Survey kedua dilakukan lebih
jauh sampai ke dataran di balik perbukitan sisi Timur, yg di kemudian hari
dikenal dengan nama Tambakrejo. Kali ini surveyornya ada empat orang, yaitu dengan
tambahan Kastam. Setelah survey kedua selesai dilakukan, maka segera digelar
persiapan bersama untuk pembabatan hutan tahap pertama. Sementara itu, Pdt
Louwerier menyiapkan berkas permohonan ijin pembukaan hutan kepada pemerintah
Hindia Belanda yang berpusat di Batavia. Ada lima belas keluarga yang siap
membuka pemukiman dan persawahan di sekitar Pondok Dulang tersebut. Sembari
menunggu penerbitan surat ijin dari Batavia, pada tahun 1893 mereka mulai
membuka lahan dengan lebih dulu mendaraskan bersama "Donga Rama
Kawula".[31]
Setelah bertahun-tahun
menunggu, akhirnya pada tanggal 11 Februari 1897 mereka menerima surat ijin
resmi berlogo singa atas nama Pemerintah Hindia Belanda dengan tanggal
penerbitan 25 Juni 1895, maka resmi sudah upaya pembukaan lahan yg mereka
lakukan selama ini. Selanjutnya tanggal tersebut dilestarikan sebagai hari
ulang tahun Pasamuwan Sitiarjo, yang kemudian beralih nama menjadi GKJW Jemaat
Sitiarjo dengan penegasan SK Dirjen Bimas Kristen Depag RI bernomor
F/Kep/38/3685/79 tertanggal 10 Oktober 1979.[32] Dengan demikian, pembukaan pemukiman baru itu juga berarti
dimulainya perkumpulan orang-orang Kristen di wilayah tersebut. Pembukaan
pertama itu dilakukan pada sisi Utara sungai Panguluran dengan sebutan Sitiarjo.
Proses pembukaan lahan baru itu
bukannya tanpa hambatan sama sekali. Suatu ketika sempat terjadi penyerbuan
orang-orang dari dusun Gombloh - Druju yang ingin dapat bagian dari pembukaan
hutan tersebut. Tetapi usaha ini bisa digagalkan karena nenek moyang kita
memiliki surat ijin berkekuatan hukum dari pemerintah, sehingga mempunyai
alasan kuat untuk meminta para penyerbu itu pergi dari lingkungan lahan.
Hambatan lainnya adalah kurangnya pembinaan rohani warga, maka atas usulan
Garta Ngastawa lalu Pdt Louwerier menugasi Guru Injil Akimas melayani
persekutuan umat Tuhan di situ. Ini menunjukkan nenek moyang kita berkeyakinan
bahwa pembukaan lahan baru haruslah diimbangi dengan pengembangan kualitas
mental dan iman yang baik pula.
Surat resmi kedua diturunkan
bertanggal 18 Agustus 1898 sebagai ijin membuka lahan pada sisi Selatan sungai
Panguluran yang kemudian disebut dengan nama Pulungrejo. Pembabatan hutan di
area ini selesai pada tanggal 17 Agustus 1901 di bawah pimpinan Saliman (ngKik
Jasminah), seorang sahabat Garta Ngastawa dari keturunan Raden Tumenggung
Suradita. Saliman juga dibantu oleh keponakannya bernama Gadri dari Mojowarno
yang setelah dibaptis namanya ditambah dengan Domikus. Setelah Garta Ngastawa
dan Saliman memasuki usia senja, maka pengembangan Sitiarjo dilanjutkan oleh
Wardja dan pengembangan Pulungrejo diserahkan kepada Inswiadi (cucu Saliman).
Segera setelah selesainya
pembukaan lahan Pulungrejo, pada tahun 1901 itu pula mulai dibangun sebuah
gereja kecil yang juga difungsikan sebagai sekolah di lahan Pasamuwan Sitiarjo,
yang sekarang merupakan area SMP YBPK Sitiarjo. Pemeliharaan rohani warga
jemaat tetap diemban oleh Guru Injil Akimas, sedangkan proses pendidikan
sekolah mula-mula hanya diemban oleh guru Ernes dan Pak Sasminah. Oleh karena
jumlah siswa semakin bertambah, maka dibangunlah sebuah sekolah yang lebih luas
di lahan sebelah Barat milik Pasamuwan Sitiarjo, yang sekarang menjadi area SDN
Sitiarjo I. Sedangkan gedung gereja hanya dipakai untuk beribadah. Kawasan baru
itu bertambah ramai sampai akhirnya disadari bahwa gedung gereja lama tidak
lagi memadai, maka mulai tahun 1918 dibangunlah gedung gereja baru yang lebih
luas dan besar di sisi Utara sungai, tepat di lereng Lembah Panguluran. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Pdt. De Vries, selaku pendeta baku di pasamuwan Swaru. Tahun
1921 pembangunan gedung gereja berhasil diselesaikan dan diresmikan sebagai
rumah ibadah Pasamuwan
Sitiarjo.[33]
Pemukiman baru tersebut, baik
Sitiarjo di Utara maupun Pulungrejo di Selatan waktu itu semakin terkenal dengan nama Dusun Pondok Dulang.[34] Namun kedua wilayah itu tergabung kepada dua desa yang
berbeda. Sitiarjo menjadi bagian dari Desa Gedhog – Turen, sedangkan Pulungrejo menjadi bagian dari Desa
Pamotan – Druju. Kebutuhan warganya juga
semakin banyak, seiring dengan semakin banyaknya pertambahan penduduk di situ.
Untuk mencukupi kebutuhan kewarga-negaraan umat, maka sejak tahun 1906 mulai
dilakukan persiapan penyatuan Sitiarjo dan Pulungrejo menjadi sebuah desa
mandiri. Setelah seluruh persiapan dianggap cukup, maka dimulailah proses
pembentukan desa dengan didahului pemilihan kepala desa secara demokratis. Ada
empat orang calon kepala desa, yaitu Wariyo, Sampunah, Lesinar dan Rema
Surareja. Akhirnya terpilihlah Rema Surareja (menantu Sarub) sebagai kepala
desa pertama dan sejak itu desa tersebut dinamai Desa Sitiarjo.
Pada saat itu, Semua penduduk desa Sitiarjo
adalah pemeluk agama Kristen, baru pada tahun 1970-an Islam masuk di desa Sitiarjo dengan melalui banyak faktor[35]:
yakni faktor perpindahan penduduk, perkawinan, dan pekerjaan. Awal mula
masuknya Islam di desa Sitiarjo dengan tujuan
untuk menetap di desa umat Kristian
tersebut memang tidak mudah, muslim yang datang di desa tersebut harus
menyembunyikan Islam sebagai
agamanya dan mencantumkan agama Kristen di KTP karena
saat itu Sitiarjo masih menjadi desa yang homogen.
Masuknya Islam di desa Sitiarjo ditandai dengan berdirinya
masjid pertama, masjid Baiturrahim
yang berada di daerah
Ganjarsari, dibangun pada tahun 1986 oleh seorang guru ngaji yang bernama Ust.
Zain atas rekomendasi H. Lamu'in, konon, saat mengajar ngaji anak-anak kampung,
tiba-tiba dipan yang digunakan sebagai tempat mengajar ngaji anjlok,
ketika anjlok itulah H. Lamu'in lewat didepan rumahnya dan menawarkan untuk
mendirikan musholla, akan tetapi Ust. Zain menjawab bahwa lebih baik mendirikan
masjid daripada hanya musholla,[36]
semenjak itulah warga muslim saling bahu membahu untuk membangun masjid
Baiturrohim dibawah pimpinan Bpk. Sutajam selaku kepala desa Sitiarjo saat itu.
Seiring dengan
perkembangan zaman, akhirnya desa Sitiarjo yang dulu hanya dihuni oleh warga Kristen sekarang sudah bercampur dengan warga
dari kalangan muslim. Mereka hidup berdampingan dengan tidak membedakan SARA. Desa Sitiarjo semakin ramai dengan pendatang, terlebih lagi
dengan dibangunnya sentra-sentra fasilitas umum di atas tanah milik Pasamuwan
Sitiarjo berupa poliklinik dan lapangan sepak bola. Demikian juga dibangun
sentra ekonomi berupa pasar, yang semula berada di sisi Selatan sungai
Panguluran, namun setelah musibah banjir dipindah ke sisi Utara sungai.
Penduduk desa juga mengalami proses adaptasi dan asimilasi dengan
saudara-saudaranya yang berasal dari luar desa. Yang semula penduduk Desa
Sitiarjo 100% hanyalah warga GKJW Jemaat Sitiarjo, selanjutnya mulai menerima
saudara-saudaranya dari denominasi Kristen yang lain seperti GpdI, GBI, GPT,
GAB dan GSJK. Sekarang di desa ini sudah terdapat enam belas buah gereja. Begitu juga saudara-saudara
Muslim yang berdatangan untuk menetap di
Sitiarjo semakin berkembang pesat setelah terbangunnya masjid baiturrohim di
desa Ganjarsari.[37] Setelah terbangunnya
masjid tersebut dibangunlah masjid kedua yang berada di Palung Lor dan di sisi Utara pasar di bawah pimpinan Kades Yudo Wahyono. Terakhir, di bawah pimpinan Kades Bartholomeus Diaz
dibangunlah masjid di dusun Sumber Gayam.[38] Rencananya, pada hari Senin, 9 Juni 2014 nanti di bawah
kepemimpinan Kades Lispijanto Daud untuk pertama kalinya sejak 119 tahun berdirinya pemukiman Sitiarjo, di lapangan desa ini digelar istighosah oleh
sekitar 400-an warga desa yang beragama Islam untuk turut mendoakan
kedamaian dan kesejahteraan desa.
Sampai sekarang Desa Sitiarjo
terus bergerak menggelar kemajuan bersama desa-desa lain di sekitarnya. Kaum
mudanya juga semakin kreatif menanggapi perkembangan. Kecintaan akan desa dan
kesadaran dalam merespon dinamika sosial lokal mereka ekspresikan dalam berbagai karya yang
menakjubkan. Adalah sekelompok kaum
muda yaitu Priyo Wibowo, Cahyono Hariadi, Christian Sonny dan Suelmi
Wijilingtyas bekerja-sama menciptakan dua buah lagu yang indah khas Sitiarjo
yaitu “Sitiarjo Ngrembaka” dan “Sitiarjo Seksi”.[39] Rupanya kaum muda desa ini juga semakin menyadari betapa
permai desa mereka, sehingga mengundang kumbang-kumbang berdatangan untuk turut
menghirup sari madunya.
Dari pemaparan historisitas
kemajemukan masyarakat dan kerukunan umat beragama di desa Sitiarjo tersebut
dapat diambil kesimpulan melalui tabel berikut :
No
|
Tahun
|
Kejadian
|
1
|
1857
|
Kyai Truna Semita yang dibaptis masuk Kristen merencanakan
pembukaan lahan untuk membangun desa Sitiarjo
|
2
|
1893
|
Sembari menunggu penerbitan
surat izin dari Batavia, 15 keluarga tersebut mulai membuka lahan dengan
lebih dulu mendaraskan bersama "Donga Rama Kawula"
|
3
|
1897
|
Menerima surat izin resmi
berlogo singa atas nama Pemerintah Hindia Belanda dengan tanggal penerbitan
25 Juni 1895, dengan ini maka resmi sudah upaya pembukaan lahan yang mereka
lakukan.
|
4
|
1898
|
Diturunkannya surat resmi
kedua sebagai ijin membuka lahan pada sisi Selatan sungai Panguluran yang
kemudian disebut dengan nama Pulungrejo
|
5
|
1901
|
a) Selesainya pembabatan hutan di bawah
pimpinan Saliman (ngKik Jasminah), seorang sahabat Garta Ngastawa dari
keturunan Raden Tumenggung Suradita
b) Dibangun sebuah gereja kecil yang
juga difungsikan sebagai sekolah di lahan Pasamuwan Sitiarjo, yang sekarang
merupakan area SMP YBPK Sitiarjo
|
6
|
1906
|
Mulai dilakukan persiapan
penyatuan Sitiarjo dan Pulungrejo menjadi sebuah desa mandiri. Setelah
seluruh persiapan dianggap cukup, maka dimulailah proses pembentukan desa
dengan didahului pemilihan kepala desa secara demokratis
|
7
|
1918
|
Pembangunan gedung gereja baru
di sisi Utara sungai, tepat di lereng Lembah Panguluran. Peletakan batu
pertama dilakukan oleh Pdt De Vries, selaku pendeta baku di pasamuwan Swaru
|
8
|
1921
|
Pembangunan gedung gereja
berhasil diselesaikan dan diresmikan sebagai rumah ibadah Pasamuwan
Sitiarjo
|
9
|
1970
|
Masuknya islam didesa Sitiarjo mulai terdeteksi, mereka masuk ke
desa Sitiarjo melalui banyak faktor antara lain
faktor perpindahan penduduk, perkawinan, dan pekerjaan. Semenjak inilah desa
Sitiarjo menjadi desa yang heterogen. Awalnya umat Islam sembunyi-sembunyi,
tidak menampakkan identitas keislamannya.
|
10
|
1986
|
Berdirinya masjid pertama yaitu masjid Baiturrahim yang berada di
daerah Ganjarsari, dibangun oleh seorang guru ngaji yang bernama Ust. Zain
atas rekomendasi H. Lamu'in
|
11
|
2005
|
Tokoh muslim mulai
berdatangan seperti ustadz deden dari bandung yang kemudian menikah dengan
salah satu warga desa Sitiarjo
|
12
|
2008
|
a)
Dibangunnya
masjid kedua di kampung pasar yang dekat dengan rumah Ustad Deden
b)
Dibangunnya
pesantren disamping rumah beliau sebagai sarana dakwah
|
13
|
2014
|
Kegiatan bersih desa untuk
yang pertama kalinya di desa Sitiarjo yang di isi dengan kegiatan dua agama.
Yakni kegiatan berdo’a
bersama seluruh warga desa Sitiarjo baik yang muslim ataupun yang Kristen
|
C.
Internalisasi Kerukunan
Umat Beragama di Desa Sitiarjo
Nilai
toleransi dan kerukunan umat beragama di desa Sitiarjo telah tertanam kuat dan
mengakar sejak dulu kala. Salah satu proses Internalisasi yang dilakukan oleh
umat Kristen desa Sitiarjo disalurkan melalui lembaga-lembaga di Gereja. Selain
itu, internalisasi juga berasal dari masyarakat sendiri yang pada umumnya
merupakan orang Jawa sehingga mereka lebih mudah menerapkan nilai-nilai tradisi
Jawa dalam menjaga kerukunan dan keharmonisan hubungan dalam masyarakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh salah seorang tokoh Kristian desa
Sitiarjo, beliau memaparkan sebagai berikut :
“Nilai-nilai
toleransi yang ditanamkan kepada umat, sebenarnya merupakan perpaduan antara
nilai-nilai Kristiani dengan nilai-nilai tradisi Jawa. Peran nilai-nilai Jawa
sudah tertanam kuat sejak dahulu kala, dan ini merupakan sesuatu yang baik,
karena bisa menjadi bahada pemersatu, sedangkan para pendatang umumnya adalah
orang Jawa juga, sehingga tidak terlalu sulit untuk mengungkit kesadaran bahwa
setiap penduduk adalah sama-sama ciptaan Tuhan yang harus dihargai. Hal ini
bisa disampaikan dalam kesempatan apapun juga, bukan hanya pada
kesempatan-kesempatan ibadah saja, termasuk saling silaturahim pada hari-hari
besar masing-masing agama. Atau pada saat pelayatan warga desa yang
meninggal-dunia.” [40]
Dari
pernyataan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa penanaman nilai-nilai
kerukunan dan toleransi beragama dalam masyarakat menitikberatkan pada dua
aspek, yaitu : nilai-nilai agama (Kristen) dan nilai-nilai budaya Jawa. Peran
nilai-nilai agama sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat karena agama dan
nilai-nilai keagamaan merupakan kekuatan pengubah yang terkuat dari semua
kebudayaan. Agama dapat menjadi inisiator yang bisa mempersatukan, mengikat dan
memelihara kerukunan dalam suatu masyarakat. Di sisi lain, agama juga bisa
memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belahkan
bahkan menghancurkan kerukunan dalam suatu masyarakat.
Sebagaimana yang terjadi di desa
Sitiarjo, kerukunan yang terjalin dalam masyarakat merupakan salah satu bukti
bahwa nilai-nilai budaya Jawa juga memiliki pengaruh yang tidak kalah penting
jika dibandingkan dengan peran nilai-nilai agama dalam masyarakat, karena nenek
moyang sebenarnya telah mewariskan nilai-nilai luhur yang bisa dijadikan pedoman
hidup seperti : kegotong-royongan (kebersamaan),
persatuan dan kesatuan, saling menghormati, kesopan-santunan, kejujuran,
keadilan, keramah-tamahan, dan lain-lain.
Umat
Kristen desa Sitiarjo melakukan internalisasi melalui lembaga-lembaga yang
dibentuk di GKJW, antara lain melalui sebuah lembaga yang bernama KPPM (Komisi
Pembinaan Pemuda dan Mahasiswa), KPAR (Komisi Pembinaan Anak dan Remaja), dan lain-lain. Lembaga-lembaga tersebut melakukan
pertemuan-pertemuan yang rutin dilakukan setiap minggu dan diisi dengan
pengajaran pendidikan moral. Selain itu, Umat Kristiani juga memiliki sebuah
tembang yang mendasari kerukunan desa Sitiarjo, tembang tersebut berjudul “ENDAHE
SADULURAN” yang liriknya sebagai berikut :
Endahe saduluran manut rehing Pangeran,
sami dene ngajeni, wah mbiyantoni
nadyan beda agama wah beda golongannya
tunggal rasa pambekan prikamanungsan,
Reff :
Kluwung pindhanya endahing warna,
Nyawiji mbangun urip kang adya, tentrem raharja
Rukun ing pitepangan sumanak ing rembugan,
dhemen sung pangapura nyirik piala,
nging samya silih ngalah mbabar kentresna tansah,
nulad ing sihe Allah mring sagung titah,
Reff :
Kluwung pindhanya endahing warna,
Nyawiji mbangun urip kang adya, tentrem raharja
Rukun gawe santosa crah mung bubrah wohira,
Ngestokna sabdeng Gusti tresna sesami,
Nadyan panemu beda nging tan samya sulaya,
Olah kawicaksanan tan nang-menangan,
Reff :
Kluwung pindhanya endahing warna,
Yang
artinya :
Indahnya persaudaraan taat kepada
tuhan,
saling menghormati dan membantu,
meski beda agama dan golongan
satu rasa yakni kemanusiaan
Reff :
Bagai pelangi indah warnanya
Bersatu membangun hidup yang
tentram dan bahagia
Rukun
dalam merembuk masalah dan berasaskan persaudaraan dalam memecahkan masalah
Cinta pemaaf dan menghindari motif
kepentingan
Selalu saling mengalah dan
menyebarkan cinta kasih
Mengikuti apa yang dikehendaki
Allah
Reff :
Bagai pelangi indah warnanya
Bersatu membangun hidup yang
tentram dan bahagia
Rukun menjadikan sentosa ,
bertengkar hanya menjadikan kacau
Mengikuti sabda Gusti untuk mencintai
sesama
Walaupu punya pandangan berbeda
akan tetapi tidak berselisih
Mengolah kebijaksanaan tidak
mencari menang sendiri
Reff :
Bagai pelangi indah warnanya
Bersatu membangun hidup yang
tentram dan bahagia
Lagu tersebut dijadikan sebagai dasar
umat Kristiani desa Sitiarjo untuk selalu membangun kerukunan anatar sesama.
Dan biasanya lagu tersebut selalu dinyanyikan ketika ada kegiatan-kegiatan
keagamaan dan acara-acara bersama, seperti : Natal, doa bersama, bersih desa dan acara-acara lain yang melibatkan
semua komponen masyarakat.[42]
Sedangkan dari pihak Islam sendiri, tidak ada
upaya-upaya khusus untuk menanamkan nilai-nilai toleransi beragama, karena
menurut Ustadz Deden jika umat Islam
benar-benar mengamalkan ajarannya, maka mereka tidak perlu lagi diperintah
untuk toleransi terhadap orang non-muslim, karena dalam Islam telah banyak
diajarkan tentang toleransi beragama dan kerukunan (ukhuwah). [43]
Fenomena-fenomena beda agama merupakan
hal yang biasa bagi masyarakat desa Sitiarjo. Mereka saling gotong royong,
saling menolong satu sama lainnya tanpa memperdulikan latar belakang akidah mereka.
Fenomena-fenomena lain juga banyak terjadi dalam masyarakat, seperti pernikahan
silang yang terjadi dalam satu rumah. Menurut cerita Syamsiyah :
“ ...dalam
satu rumah banyak yang anggota keluarganya berbeda keyakinan. Salah satunya
adalah seorang warga muslim yang bernama Samud, ia menikah dengan wanita
kristen yang bernama Sriati. Istrinya (Sriati) masuk Islam karena faktor
pernikahan. Mereka pun akhirnya dikaruniai seorang anak yang bernama Ike.
Mulanya Ike memang menganut agama seperti agama kedua orang tuanya(Islam),
namun karena ia dinikahi oleh seorang pria Kristen yang bernama Joko, akhirnya
ia pun berpindah agama dan ikut menganut keyakinan yang dianut oleh suaminya
tersebut. Fenomena-fenomena seperti ini merupakan hal yang sudah biasa bagi masyarakat.,bahkan
masih banyak lagi...” [44]
Di desa Sitiarjo kultur rukun memang
sudah terbentuk sejak awal umat Islam dan Kristen
menjalin relasi. Seperti yang dikatakan oleh Pak Lis bahwa pada tahun
1950-an masyarakat saling menawarkan
bantuan ke rumah-rumah untuk menawarkan jasa penumbukan padi, bahkan hampir
setiap pagi kegiatan itu dilakukan oleh mayarakat. Mereka saling menolong tanpa
memperdulikan latar belakang agama. Ketika perayaan HUT RI pun mereka juga
saling gotong royong demi terciptanya persatuan dan kesatuan. [45]
Bukti lain juga telah disampaikan oleh pak Pendeta, seperti saling mengunjungi (silaturrahim)
ketika hari besar masing-masing agama dan pelayatan warga desa yang meninggal
dunia. Serta masih banyak lagi fenomena-fenomena lain yang terjadi di desa
Sitiarjo.
Dari pemerintah desa Sitiarjo sendiri,
bentuk sosialisasi dan internalisasi dalam masyarakat dilakukan melalui
lembaga-lembaga mitra pemerintah salah satunya melalui LKMD yakni lembaga yang
khusus menangani permasalahan-permasalahan desa baik itu penanganan fisik
maupun mental.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa proses sosialisasi dan Internalisasi di desa Sitiarjo berakar
dari tradisi yang kuat dimasyarakat yang berbasis budaya Jawa serta ditopang
relasi internalisasi yang dilakuakan oleh Lembaga Keagamaan, baik Kristen
seperti KPPM dan KPAR-nya, maupun umat Islam dengan misal Banser dan Ormas NU
yang selalu menjalin hubungan baik antar umat beragama, bahkan sosialisasi juga
dilakukan oleh pemerintah dengan lembaga LKMD, dsb. Dengan cara-cara itulah keharmonisan
dan kerukunan antar umat diupayakan terjalin
dengan baik.
D.
Potensi dan Pengelolaan Konflik di
Desa Sitiarjo
Kerukunan umat beragama di desa Sitiarjo tidak
serta merta terbentuk begitu saja, akan tetapi dalam membentuk kerukunan
tersebut ada faktor-faktor yang mendukung, baik dari dalam seperti ambisi warga
untuk hidup rukun maupun dari luar
seperti tuntutan dari pemerintah. Dalam kehidupan berkelompok dapat dipastikan
bahwa konflik itu ada, seperti halnya hubungan orang tua dan anak, mereka pasti
mempunyai konflik baik itu konflik yang masih berupa sikap konflik ataupun
konflik yang sudah berupa perilaku konflik. Dari pernyataan diatas dapat
disimpulkan bahwa dalam setiap kehidupan berkelompok pasti ada konflik yang
terjadi, terutama dalam kehidupan bermasyarakat yang komposisi warganya terdiri
dari dua umat. Kerukunan yang tercipta di desa Sitiarjo belum bisa dibilang
benar-benar rukun tanpa ada konflik yang mewarnai. Sesuai observasi yang dilakukan
oleh peneliti disebutkan bahwa di desa Sitiarjo ada potensi konflik yang mulai
muncul semenjak datangnya umat muslim sebagai warga di desa tersebut. Bahkan,
sebelum warga muslim resmi dinyatakan sebagai warga desa Sitiarjo konflik
tersebut sudah ada yang dibuktikan dengan penolakan terhadap umat muslim yang
ingin berdomisili di desa tersebut.
Awalnya, warga desa Sitiarjo menolak
kedatangan umat muslim namun lama-kelamaan mereka memberikan penawaran kepada
muslimin agar memeluk agama Kristian jika
ingin diakui sebagai warga desa Sitiarjo, Sontak umat muslim tidak dapat
berfikir untuk penawaran itu, namun karena sudah terlanjur ada hubungan penting
(pekerjaan, berkeluarga, dll.) di desa tersebut umat muslim memilih untuk
tetap tinggal dengan cara sembunyi-sembunyi, mereka menafikan Islam sebagai agama mereka walhasil
agama Kristen yang dicantumkan di KTP mereka.[46]
Meskipun dengan sembunyi-sembunyi warga muslim tetap menanamkan ajaran agama
kepada anak-anak mereka seperti halnya membangun TPQ yang
digunakan sebagai salah satu sarana untuk menanamkan ajaran Islam. Layaknya pepatah bahwasanya sepintar
apapun orang yang menyimpan bangkai baunya akan tetap tercium jua, seiring
dengan berjalannya waktu masuknya orang muslim di desa Sitiarjo mulai
terdeteksi sekitar tahun 70-an. Umat Kristian mulai menyadari bahwa agama Islam telah masuk di desanya, menurut cerita
pak Zainuri, walaupun dengan berat hati dan keterpaksaan yang amat mendalam
akhirnya mereka bisa menerima dan mengakui adanya warga muslim di desa
Sitiarjo. Meskipun demikian, tidak semudah membalikkan tangan mereka menerima
warga muslim, akan tetapi masih saja diwarnai dengan perjanjian dan
aturan-aturan yang mereka buat. Seperti halnya pada saat hari minggu, kebiasaan
umat kristen yang beribadah ke gereja pada hari minggu harus dihormati oleh
umat muslim dengan cara tidak ada pekerjaan apapun yang dilakukan oleh umat
muslim seperti yang di ucapkan Bpk Tumari :
“...pada waktu itu hari minggu, saya bertekad untuk pergi kesawah
karena itu sebuah tuntutan untuk menghidupi keluarga saya, saya tidak menyangka
ternyata salah satu perangkat desa menghampiri saya dengan marah-marah, dia
meminta agar saya pulang...”[47]
Selain aturan itu, warga Kristen juga mempersulit umat muslim untuk
memenuhi fasilitasnya, seperti mendirikan masjid atau musholla di Sitiarjo. Hal
ini dibuktikan dengan dibangunnya masjid
pertama (masjid Baiturrohim) di daerah Ganjarsari, pembangunan masjid ini
tidak semudah yang dibayangkan, siapa sangka ternyata pemerintah dan warga desa
Sitiarjo mempersulitnya.[48]
Meskipun demikian, umat muslim tidak putus asa
dan menyerah begitu saja, dengan
dibantu oleh tokoh agama Islam akhirnya
perjuangan umat muslim untuk mendirikan masjid tersebut mendapat izin dari pemerintah desa Sitiarjo. Akhirnya,
berdirilah masjid Baiturrahim
sebagai masjid pertama kali yang
dibangun di desa Sitiarjo.
Tidak berhenti disitu, Ustadz Deden Zainal Abidin yang lebih dikenal dengan ustadz Deden
juga mengalami hal yang serupa yakni dipersulitnya membangun musholla dan
pesantren di dekat rumahnya yang berlokasi di Kampung Pasar. Seperti halnya pembangunan masjid di
Ganjarsari yang mendapat izin dari
pemerintah setelah ditolak warga, pembangunan yang dilakukan Ustadz Deden pun juga mengalami hal yang sama,
bahkan, setelah pesantren itu berdiri sebagian warga Kristian masih saja tega untuk memfitnah
pesantren tersebut. Mereka berdalih bahwa pesantren tersebut adalah pesantren
yang illegal dan tidak diakui pemerintah serta masih banyak lagi cemoohan yang
di lontarkan kepada Ustadz Deden.
Pernyataan diatas membuktikan bahwa konflik
antar umat beragama di desa Sitiarjo itu ada, seperti yang dikatakan oleh
pendeta Chrysta :
“tentu saja potensi konflik itu selalu saja
ada. Tetapi kalau konflik laten internal sesama penduduk desa agaknya tidak ada.
Mungkin karena sama-sama orang Jawa maka sikap saling santun dan rukun sudah
mendarah daging pada diri warga desa yang berbeda keyakinan...”[49]
Menurut pendeta Chrysta konflik terbuka memang
belum terjadi, akan tetapi di masa mendatang bisa saja terjadi kalau sirosis
(pengerasan)
doktrin agama ini dipelihara terus.
Dari sisi ajaran Kristen, nilai kasih yang altruistik dan universal
merupakan benteng pertahanan utama untuk menepis setiap proses sirosis
doktrin agama. Nilai ini perlu diimplementasikan melalui proses pencerdasan
untuk memupuk dan menguatkan kearifan warga, supaya warga memiliki self-filtering
yang cukup kuat terhadap pengaruh ideologi chauvinis triumphalistict
yang ditumpangkan pada doktrin agama. Tindakan riilnya harus dimulai dari
penciptaan model-model komunikasi yang "nyedulur" satu sama
lain, dan menjauhkan model-model komunikasi yang berjiwa transaksional, apalagi
konfrontatif represif.
Sejauh ini, konflik yang mulai terlihat jelas
adalah konflik yang bersumber dari oknum-oknum yang mulai berdatangan yang mana
oknum-oknum tersebut berpotensi untuk memicu pengerasan (sirosis)
doktrin agama.[50]
Gerakannya dimulai dari penguasaan ekonomi dan tanah-tanah desa sembari menebar
ajaran-ajaran agama yang mengarah pada intoleransi. Nilai-nilai altruis
dan sikap berbagi rezeki mulai
dikontaminasi dengan nilai-nilai monopoli yang egoistik. Meskipun kemungkinan
sinyalnya masih tipis, namun pesan yang dibawa sebenarnya sudah cukup kuat.
Sikap toleransi warga desa yang sudah terpelihara sejak awal, mulai ditunggangi
dan dimanfaatkan dengan memasukkan faham-faham impor yang sesungguhnya
cenderung anti toleran.
BAB V
ANALISA
A.
Internalsisasi dalam Konstruksi Sosial Masyarakat Sitiarjo
Kostruksi
sosial adalah teori yang dibangun oleh Peter
L Berger yang menjelaskan perilaku manusia dengan tiga proses:
Internalisasi, Eksternalisasi dan Obyektifikasi.
Internalisasi adalah individu mengidentifikasi
diri ditengah lembaga lembaga sosial atau organisasi social dimana individu
tersebut menjadi anggotanya. Internalisasi didesa sitiarjo dilakukan oleh
beberapa elemen, diantaranya adalah oleh
pemerintah desa, tokoh agama, lembaga sosial, lembaga lembaga pendidikan (
lewat lembaga-lembaga formal, ataupun lembaga-lemabaga pendidikan non-formal, contoh : pondok pesantren dan lain lain), dan
masyarakat itu sendiri.
Adapun cara
pemerintah dalam melakukan internalisasi
yaitu dengan membentuk suatu lembaga yang mana lembaga tersebut
menampung bebarapa aspirasi dari rakyat. Lembaga tersebut dinamakan LKMD. Yang
mana lembaga tersebut menampung segala aspirasi atau unek-unek
masyarakat desa Sitiarjo.[51]
Selain itu, pemerintah desa juga sering mengadakan upacara upacara adat bersama
yang tujuannya tidak lain tidak bukan untuk melakukan internalisasi.
Begitu juga
tokoh agama, para tokoh agama dari masing-masing agama juga turut andil dalam
permasalahan ini. Mereka melakukan internalisasi dengan cara caranya sendiri.
Yang dari Islam, tokoh agamanya tidak ada upaya upaya khusus dalam melakukan
internalisasi, karena menurut Ustadz Deden,
dalam ajaran Islam sendiri sudah mengandung
unsur nilai-nilai toleransi, jika individu tersebut benar benar
telah mengaplikasikan ajaran-ajaran Islam,
secara otomatis, nilai-nilai
toleransi tersebut pasti akan terlaksanakan dengan sendirinya. Berbeda dengan
tokoh Islam, tokoh Kristen melakukan internalisasi dengan membentuk KPPM, KPAR, KPPW, dan lain
lain. Yang mana lembaga-lembaga
tersebut mencetak individu hasil internalisasi dari tokoh agama Kristen, setiap
malam minggu, lembaga-lembaga
tersebut melakukan pertemuan pertemuan yang rutin dilakukan dan diisi dengan kegiatan internalisasi.
Juga lembaga-lembaga
pendidikan, setiap lembaga
lembaga pendidikan juga melakukan
internalisasi. Baik formal ataupun non-formal contoh kongkrit dari pendidikan
formal adalah adanya sekolah, ketika ada pelajaran agama, siswa yang berbeda
agama diperbolehkan untuk tidak mengikuti pelajaran.
Organisasi
masyarakat juga melakukan internalisasi dengan caranya sendiri, contohnya
adalah banser, banser acapkali terlihat ikut turut membantu keamanan ketika ada
kegiatan beribadah di gereja.
Masyarakat
desa Sitiarjo sendiri juga melakukan internalisasi dengan sendirinya, bentuk
internalisasinya adalah mulai mereka lahir, mereka sudah terbiasa dengan adanya
perbedaan, sehingga sampai mereka dewasa pun mereka
tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan agama.
Lebih jelasnya
lihat tabel dibawah ini :
No
|
Elemen-Elemen
yang melakukan Internalisasi
|
Upaya
Internalisasi
|
1.
|
Pemerintah
desa
|
Dengan
membentuk lembaga-lembaga yang setiap pertemuannya membahas tentang aspirasi
dan unek unek masyarakat desa Sitiarjo. Contoh : LKMD
|
2.
|
Tokoh agama
:
|
|
|
a.
Islam
|
Tidak ada
upaya khusus untuk proses internalisasi, tetapi nilai-nilai toleransi
otomatis akan terbentuk sendiri ketika umat Islam benar-benar mengaplikasikan
syari’at-syari’at Islam dalam kehidupannya
|
|
b.
Kristen
|
Dengan
membentuk beberapa forum, diantaranya KKPM, KPAR, KPPW, yang mana lembaga-lembaga
tersebut digunakan sebagai wadah untuk memudahkan proses internalisasi.
|
4.
|
Lembaga-lembaga
pendidikan (baik formal maupun non-formal)
|
Lembaga-lembaga
pendidikan juga turut andil dalam melakukan internalisasi, salah satunya
adalah ketika saat pelajaran agama, siswa yang berbeda agama diberi toleransi
boleh tidak mengikuti jam pelajaran.
|
5,
|
Masyarakat
sendiri
|
Mereka mulai
dari lahir sudah terbiasa untuk berbeda, sehingga pada saat besarpun mereka
sudah tidak mempermasalahkan perbedaan terutama perbedaan dalam masalah
keyakinan.
|
B.
Konflik dan Manajemen
Konflik
Seperti
yang sudah disebutkan dihalaman sebelumnya, teori pendekatan konflik yang
digunakan oleh peneliti dapat digambarkan seperti skema di bawah ini :
Behavior
Tingkat Manifes :
Empiris, teramati, sadar
Tingkat Laten :
Teoritis,
dugaan, Attitude
Condition
bawah sadar
Dari skema segitiga di atas menunjukkan tingkatan konflik, pada taraf
Behavior dapat disebut juga sebagai tingkat Manifes yang menekankan pada sifat konflik empiris, teramati dan sadar
sedangkan Attitude dan Condition sebagai tingkat Laten yang menekankan pada teoritis, dugaan dan bawah sadar. Dari konflik
yang sudah ditemukan oleh peneliti maka akan dianalisis sesuai dengan skema segitiga diatas sebagai berikut :
1.
Behavior
Pada tingkatan ini, konflik di desa Sitiarjo mulai
tampak meskipun itu bukan konflik yang diekspresikan secara kongkrit. Selain dari
pendeta Chrysta, dari pihak muslim juga mulai
muncul perasaan yang serupa, Bpk. Tumari merasakan bahwa nilai toleransi yang
ditanamkan di desa Sitiarjo menjadikan tuntutan baginya,[52]
seperti aturan pada hari minggu yang dilarang melakukan kegiatan apapun dengan
dalih untuk menghormati umat Kristian yang
beribadah ke gereja, bapak Tumari pernah mencoba untuk pergi kesawah saat hari
minggu dan tanpa diduga ternyata salah satu perangkat desa menghampiri dan
memarahi beliau. Selain itu, kejadian serupa juga menimpa Ustadz Deden yang
menerima celaan dari umat Kristian karena
beliau mendirikan pesantren dan musholla di sebelah
rumahnya, tidak hanya itu saja, warga Kristen juga melakukan aksi demonstrasi kepada Ustadz Deden yang lagi-lagi disebabkan oleh berdirinya
pesantren dan musholla di sebelah rumahnya.[53]
Pernyataan
yang diungkapkan dua orang tersebut dapat membuktikan bahwa awal mulanya
konflik di desa Sitiarjo itu sudah ada, meskipun masih berupa dugaan atau
perasaan yang terpendam dalam hati. Dengan begitu teori konflik pada tingkat
Manifes atau Behavior sudah ada di desa Sitiarjo.
2.
Condition
Konflik Laten pada
tingkat ini mengarah pada kondisi konflik, kondisi konflik inilah yang nantinya
akan memicu terjadinya perilaku konflik. Seperti persepsi yang diungkapkan oleh
Pdt. Chrysta bahwasanya mulai ada kecurigaan antara dua umat tersebut, hal
ini diawali dengan berdatangannya oknum-oknum yang berpotensi
untuk memicu pengerasan (sirosis) doktrin agama. Yang mana gerakannya
dimulai dari penguasaan ekonomi dan tanah-tanah desa sembari menebar
ajaran-ajaran agama yang mengarah pada intoleransi. Nilai-nilai altruis
dan sikap berbagi rezeki mulai
dikontaminasi dengan nilai-nilai monopoli yang egoistik.[54]
3.
Attitude
Pada tahap ini
sikap konflik di Sitiarjo mulai ada, seperti persepsi yang diungkapkan Ustadz Deden, dengan merujuk pada salah satu
ayat Al-Qur’an yang dapat dijelaskan bahwasanya orang kristen tidak akan pernah
ridho dengan orang muslim sampai orang muslim tersebut masuk kedalam agamanya.[55]
Sesuai dengan penjelasan diatas, konflik
didesa Sitiarjo sudah memenuhi tiga teori konflik yang digunakan oleh peneliti.
Konflik dalam taraf Behavior, Condition dan Attitude sudah
mulai ada. Namun untuk mengantisipasi berkelanjutannya hal tersebut, pemerintah
dan warga desa Sitiarjo sudah mempersiapkan banyak hal antara lain :
b)
Akomodasi umat Islam didalam pemerintahan dengan adanya
kamituwo Islam dan mudin islam
c)
Membentuk forum mitra pemerintahan
yaitu forum LKMD guna untuk menangani persoalan-persoalan desa baik berupa
penanganan fisik ataupun mental
d)
Para elit tergabung dalam FKUB
(Forum Komunitas Umat Beragama) untuk mempererat tali silaturrahmi
e)
Mulai menggalakkan acara yang
bersifat lintas agama
Dengan melakukan hal yang telah
disebutkan diatas, pemerintah dan warga desa Sitiarjo berharap agar
konflik-konflik yang mulai muncul secara perlahan tidak berlanjut.[57]
Analisa konflik yang terjadi di
desa Sitiarjo dapat disimpulkan sebagai berikut:
Aspek
Konflik
|
Uraian
|
Behavior
|
Konflik
mulai tampak meskipun belum diekspresikan, seperti yang dirasakan oleh Bpk.
Tumari bahwasanya beliau menafsirkan toleransi itu terlalu berlebihan
sehingga beliau merasa itu sebagai sebuah tuntutan. Selain itu, kejadian
serupa juga menimpa Ustadz Deden yang menerima celaan dari umat Kristian
karena mendirikan pesantren dan musholla di sebelah rumahnya, tidak hanya
itu, warga kristen juga melakukan aksi demonstrasi kepada Ustadz Deden yang
lagi-lagi disebabkan oleh berdirinya pesantren dan musholla di sebelah
rumahnya
|
Condition
|
Pada tahap
ini sudah mencapai kondisi konflik yang akan memicu terjadinya konflik. Hal
ini dirasakan Pdt. Chrysta, beliau menafsirkan bahwa mulai ada oknum-oknum
yang agama yang keras dan dapat mempengaruhi kerukunan di desa Sitiarjo. Dari
pihak muslim dapat dirasakan oleh Ustadz Deden, beliau merasakan bahwa Kristen
sudah dianggap menjadi musuh yang tidak bisa lagi di ajak untuk saling
toleransi
|
Attitude
|
Pada tahap
ini sikap konflik di Sitiarjo mulai ada, seperti persepsi yang diungkapkan Ustadz
Deden, dengan merujuk pada salah satu ayat Al-Qur’an yang dapat dijelaskan
bahwasanya orang Kristen tidak akan pernah ridho dengan orang muslim sampai
orang muslim tersebut mengikuti agama mereka
|
BAB VI
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Desa Sitiarjo awalnya hanya dihuni oleh warga Kristen dan bersifat homogen dan sekarang sudah mulai ada pendatang yakni warga
muslim yang bertempat tinggal di daerah
tersebut, walau awalnya ada penolakan terhadap warga
muslim akan tetapi pada akhirnya desa Sitiarjo menjadi desa yang Heterogen dengan Kristen sebagai agama
mayoritas dan Islam sebagai agama minoritas. Walaupun demikian, relasi antar
kedua umat beragama di sana terjalin cukup baik bahkan masyarakat saling bahu
membahu dan saling tolong menolong tanpa memandang status agama karena mereka beranggapan
bahwa perbedaan bukanlah sebuah penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan
dalam bingkai persaudaraan dan persatuan untuk terus bergerak bersama menggelar
kemajuan desa Sitiarjo
2.
Meskipun berasal dari dua agama
yang berbeda, akan tetapi mereka berasal dari rumpun yang sama yakni sama-sama
orang Jawa, sehingga nilai-nilai toleransi yang
menyebabkan kerukunan dapat terbentuk dari sini. Pemerintah juga menanamkan
nilai-nilai toleransi dengan beberapa cara, salah satunya yakni mengadakan
kegiatan yang dapat diikuti oleh kedua umat beragama tersebut sebagai salah
satu sarana untuk mengakrabkan seluruh warga desa Sitiarjo seperti kegiatan
bersih desa yang diisi dengan acara do’a bersama untuk desa antar kedua umat
tersebut
3.
Desa Sitiarjo yang terbilang sangat
rukun tanpa ada sedikit konflik belum bisa dibuktikan karena tidak mungkin
tidak ada konflik dalam kehidupan bermasyarakat, meskipun belum ada konflik
terbuka namun potensi konflik antar umat beragama sudah mulai nampak, begitu
pula kondisi konflik dan sikap konflik juga sudah mulai terlihat. Namun, untuk
mengantisipasi berlanjutnya konflik yang terjadi pemerintah dan warga desa Sitiarjo sudah mempersiapkan banyak hal untuk
mencegahnya, antara lain :
b.
Akomodasi umat Islam didalam pemerintahan dengan adanya
kamituwo Islam dan mudin Islam
c.
Membentuk forum mitra pemerintahan
yaitu forum LKMD guna untuk menangani persoalan-persoalan desa baik berupa
penanganan fisik ataupun mental
d.
Para elit tergabung dalam FKUB
(Forum Komunitas Umat Beragama) untuk mempererat tali silaturrahmi
e.
Mulai menggalakkan acara yang bersifat
lintas agama
B.
Saran dan Rekomendasi
Setelah mengetahui seluk beluk kerukunan umat
beragama di desa Sitiarjo, peneliti menyarankan kepada seluruh warga desa
Sitiarjo agar selalu tetap mempertahankan kerukunan umat beragama yang telah
tercipta meskipun masih ada konflik yang mewarnai diantara dua umat beragama di
desa Sitiarjo. Karena, ada pepatah yang mengatakan bahwa “no world peace,
without religious peace”. Nilai yang terkandung
dari pepatah tersebut seharusnya ditanamkan lebih dalam agar makna
kerukunan yang sebenarnya benar-benar dapat terjalin.
[1] Karen
Amstrong, Perang Suci : Kisah Detail perang
Salib, Akar Pemicunya, dan Dampaknya Terhadap Zaman Sekarang (Jakarta : Serambi, 2011)
[2]
Diktat Pendidikan
ASWAJA dan Ke NU-an, madrasah diniyah Shirotul Fuqoha (Malang : tp, tt), hlm. 15
[4] Wawancara dengan Kepada Desa Sitiarjo, Lispijanato Daud, tanggal 19 Mei 2014
[5] Imam Suprayogo dan M. Zainudin, Potret Kerukunan Umat Beragama di
Malang Selatan, ( Jakarta : Mediacita, 2002)
[6] Peter L. Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan :
sebuah risalah tentang sosiologi pengetahuan, (Jakarta : LP3ES, 1990), hlm.
xx
[8] http://novemberscr.blogspot.com/2013/01/kerukunan-umat-beragama.html di akses pada
tanggal 20 Mei 2014
[9] Ahmad Warson
Munawwir, Kamus
Arab-Indonesia . Al Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progessif, 1997), hlm. 12
[10] Keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama dan
Konbes NU di Cilacap, (Semarang : AL-ALAWIYAH, 1987), hlm. 60
[13]
http://www.bimbingan.org/pengertian-kerukunan-antar-umat-beragama.html
[14] Peter
L. Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan : sebuah risalah
tentang sosiologi pengetahuan, (Jakarta : LP3ES, 1990), hlm. Xx
[15] Ahmad Gunaryo, konflik dan Pendekatan Terhadapnya, dalam
M. Mukhsin Jamil (edt), Mengelola konflik
membangun damai: Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, (Semarang:
WMC,2007),hlm 31
[17] Johan Galtung, Studi Perdamaian:
Perdamaian dan konflik Pembangunan Peradaban, (Surabaya: Pustaka Eurika,
2003), hlm.160
[18] CR. Mitchell, the structure of
international conflict, (London: The macmillan press, 1981), hlm.16-17
[19] Ahmad Atho’ Lukman Hakim, Islam vs Barat, (Yogyakarta: Mahameru
press, 2010), hlm. 10
[26] Profil Desa Sitiarjo Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kab. Malang tahun
2012
[28] Wawancara elektronik dengan Pdt. Chrysta pada tanggal 31 Mei 2014
[29] Ibid
[30] Ibid
[31] Wawancara elektronik dengan Pdt. Chrysta pada tanggal 31 mei 2014
[32] ibid
[33] Wawancara dengan bapak Woesgyantyo pada tanggal 31 Mei 2014
[34] Ibid
[35] Wawancara dengan Kepala Desa Sitiarjo Bpk Lispijanto Daud pada tanggal
19 Mei 2014
[36] Wawancara dengan Bpk. Abu Amin pada tanggal 31 Mei 2014
[37] Wawancara elektronik dengan Pdt. Chrysta pada tanggal 31 mei 2014
[38] Ibid
[39] ibid
[40] Wawancara elektronik dengan Pdt. Chrysta pada
tanggal 31 Mei 2014
[41] Kidung Pasamuan Kristen (KPK) , hlm. 319
[42] Wawancara dengan Pak Lispijanto Daud selaku Kepala Desa Sitiarjo pada
tanggal 19 Mei 2014
[43] Wawancara dengan Ustadz Deden Zainal Abidin pada tanggal 26 Mei 2014
[44] Wawancara dengan Syamsiyah selaku warga desa Sitiarjo pada tanggal 26
Mei 2014
[45] Wawancara dengan Pak Lispijanto Daud selaku Kepala Desa Sitiarjo pada
tanggal 19 Mei 2014
[46] Wawancara dengan Bapak Tumari pada tanggal 26 Mei 2014
[47] Ibid
[48] Wawancara dengan Bpk Zainuri pada tanggal 19 Mei 2014
[49] Wawancara elektronik dengan Pdt. Chrysta pada tanggal 31 mei 2014
[50] ibid
[51] ibid
[52] Wawancara dengan Bpk tumari pada tanggal 26 Mei 2014
[53] Wawancara dengan ustadz Deden pada tanggal 26 Mei 2014
[54] Wawancara elektronik dengan Pdt. Chrysta pada tanggal 31 mei 2014
[55] Wawancara dengan ustadz Deden pada tanggal 26 Mei 2014
[56] Ibid
[57] ibid
[58] ibid
EmoticonEmoticon