logo blog

Friday, July 21, 2017

AGAMA DAN INTEGRASI SOSIAL STUDI ATAS KERUKUNAN, POTENSI DAN PENGELOLAAN KONFLIK DALAM RELASI UMAT BERAGAMA DI DESA SITIARJO

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
No world Peace without religious peace
-Hans Kung Global Responsibility in search of a new world ethic,

 Tidak ada dunia yang damai, tanpa adanya kedamaian antar umat beragama.  Adagium ini sangat terasa kebenarannya jika kita melihat sejarah dunia. Kedamaian akan tercipta jika umat beragama menjadi pelopor dan pencipta perdamaian, sebaliknya dunia akan penuh konflik jika agama terlibat dalam permasalahan.
Dalam sejarah di dunia, dalam relasi antar umat beragama terjadi fakta ambigu, disatu sisi ada suatu daerah yang rukun, dalam artian daerah tersebut dapat mengelola konflik dengan baik. Perbedaan agama tidak menjadi pemicu pertikaian. Contoh indah yang dapat diajukan adalah Kota Yasrib (Madinah) di era Nabi. Kota tempat Nabi hijrah ini  terdapat kemajemukan keyakinan, yang mana masing-masing agama tersebut dapat mengelola sebuah konflik dengan baik. Mereka melakukan kesepakatan bersama dengan membuat piagam madinah yang mempunyai 47 pasal yang setaip pasal dalam piagam tersebut harus ditaati oleh semua masyarakat kota Madinah.
Dilain sisi, ada juga daerah yang sampai terjadi konflik, baik laten maupun manifest. Agama menjadi energi destruktif yang membuat eskalai konflik semakin tinggi. Karen Amstrong dalam bukunya “Perang Suci : Kisah Detail perang Salib, Akar Pemicunya, dan Dampaknya Terhadap Zaman Sekarang  melukiskan dengan baik bagaimana agama menjadi pengeras konflik yang dahsyat.[1]
Di Indonesia, sejarah relasi rukun antar umat beragama sudah terjadi sejak dahulu kala. Indonesia yang sejak kelahirannya memploklamirkan diri sebagai Negara yang mejemuk mempunyai sejarah panjang tentang kerukunan umat beragama itu. Para The Founding Father sangat menyadari kemajemukan di Indonesia sudah menjadi kenyataan yang tak terelakkan. Hal ini terlihat dari semboyan yang telah ditanamkan oleh leluhur kepada warga Negara Indonesia : yaitu Bhineka Tunggal Ika. Ini bukan hanya semboyan tetapi sudah diaplikasikan oleh masyarakat sejak dahulu.
Sejarah mencatat banyak sekali fenomena kerukunan antar umat beragama yang terjadi di Indonesia. Contohnya pada zaman kerajaan kuno, Candi Prambanan sebagai lambang perdamain antara dua agama, yaitu agama Budha dan agama Hindu. Contoh lain adalah masuknya  agama Islam  di Indonesia dengan damai di tengah masyarakat yang mayoritas beragama Hindu-Budha dan nyatanya sampai saat ini pun agama Islam berkembang dengan baik-baik saja.
Semua agama pasti mengajarkan kerukunan dan perdamaian. Seperti halnya Islam, agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ini mengajarkan nilai-nilai kerukunan antar umat beragama dengan kosnep ukhuwah-nya.  Salah satu konsep ukhuwah yang dikenal adalah ukhuwah basyariyah.
Secara etimologi, ukhuwah basyariyah  berasal dari 2 kata yaitu dari kata ukhuwah yang berasal dari bahasa arab yang berarti persaudaraan, dan basyariyah berarti kemanusiaan. Secara terminologi, Ukhuwah basyariyah merupakan rasa persaudaraan yang dibangun berdasarkan atas rasa kemanusiaan.[2] Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa semua manusia tanpa melihat agama, ras atau suku di dunia ini pada dasarnya adalah bersaudara. Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar saling menghargai di antara seluruh manusia yang ada di dunia ini, tanpa melihat latar belakangnya. Keanekaragaman manusia merupakan perbedaan alami yang harus dihormati.
Senada dengan umat Islam, agama Kristen juga telah mengajarkan tentang pentingnya menjaga relasi antar umat beragama. Ketika observasi awal di desa Sitiarjo, peneliti menemukan sebuah kidung yang mengambarkan ajaran luhur kerukunan umat manusia. Kidung itu terdapat pada Kitab Kidung Pasamuan Kristen (KPK) halaman 319 yang berjudul "Endahe saduluran"[3]. Setiap lirik dalam lagu tersebut mengajarkan kepada kita betapa indahnya rasa persaudaraan, rasa persaudaraan yang tidak memandang ras, umur, gender, terebih-lebih agama.
Nah, penelitian ini mengambil satu kasus dinamika lokal yang terjadi didaerah Sitiarjo Sumbermanjing Wetan. Pilihan ini berdasarkan, pertama, di daerah tersebut memiliki kemajemukan pemeluk umat beragama dengan Kristen sebagai agama mayoritas. Dengan prosentase Kristen 85% dan Islam 15%. Kedua,  relasi antar umat beragama disana terjalin sangat baik. Tidak jarang, banyak ditemukan warga masyarakat desa sitiarjo yang saling gotong royong meskipun berbeda agama. Sebagai gambaran kerukunan tersebut tampak ketika terjadi banjir bandang pada tanggal 13 Juli 2013 yang mana terlihat masyarakat saling bahu membahu dan saling tolong menolong tanpa memandang status agama.[4]
Kerukunan umat beragama di Sitiarjo sebenarnya sudah pernah diteiti oleh Dr. M. Zainuddin, MA. yang hasilnya diterbitkan  menjadi sebuah buku yang berjudul "Potret Kerukunan Umat Beragama di Malang Selatan" [5] Penelitian tersebut lebih menekankan pada “Kondisi kerukunan hidup antar umat beragama, perwujudan kerukunan hidup beragama, hubungan antar tokoh agama, hubungan antara tokoh agama dengan pemerintah, peran tokoh agama dan pemerintah dalam mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama, dan faktor-faktor yang mendasari kerukunan antar umat beragama di daerah Sitiarjo.
Berbeda dengan penelitian di atas, riset ini merupakan penelitian lanjutan yang lebih menekankan pada "Historisitas kemajemukan dan kerukunan beragama, cara mereka melakukan internalisasi, dan cara pengelolaan konflik yang terjadi di desa Sitiarjo".


B.     Identifikasi Masalah
Dari uraian diatas, ada beberapa hal yang menjadi pijakan bagi peneliti dalam melakukan penelitian, yaitu :
a.       Awal mula desa Sitiarjo menjadi desa yang majemuk. Sebab dengan melihat sejarah kita dapat mengidentifikasi konstruksi historis kerukunan sehingga dapat bisa dijadikan bahan pijakan untuk memahami konstruksi kerukunan hari ini.
b.      Cara masyarakat desa Sitiarjo menanamkan nilai-nilai toleransi terhadap agama lain.
c.       Potensi konflik dan cara masyarakat Sitiarjo mengelola konflik. Perbincangan ini menjadi menarik karena bisa menjadi penanda awal (early warning) bagi ancaman kerukunan umat beragama di Sitiarjo.

C.    Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas maka dalam penelitian ini peneliti mengambil rumusan sebagai berikut :
1.         Bagaimana historisitas terbentuknya kemajemukan  dan kerukunan masyarakat desa Sitiarjo ?
2.         Bagaimana internalisasi nilai-nilai toleransi kepada umat beragama di desa Sitiarjo ?
3.         Apa potensi konflik yang mungkin terjadi dan bagaimana pengelolaan konflik antar umat beragama di desa Sitiarjo ? 

D.    Batasan Masalah
     Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti membatasi hal-hal yang akan dibahas sebagai berikut :
     Yang dimaksudkan sejarah dalam penelitian ini adalah sejarah kronologis dan sejarah sosial. Sejarah kronologis merupakan sejarah yang berdasarkan periodisasi. Sedangkan Sejarah Sosial merupakan kajian sejarah tentang masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat, yang mencoba untuk melihat bukti-bukti sejarah dan mengambil fakta sosial/masyarakat sebagai bahan kajian. Jadi, peneliti ingin mengetahui sejarah mulai terbentuknya kemajemukan antara umat Islam dan umat Kristen di desa Sitiarjo dan bagaimanakah bentuk-bentuk kerjasama yang berbuah kerukunan antara dua umat beragama tersebut.
Yang dimaksudkan internalisasi dalam penelitian ini adalah individu mengidentifikasi  diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product” .[6]  Jadi, peneliti ingin mengetahui proses sosialisasi dan proses penanaman nilai-nilai toleransi beragama baik yang dilakukan oleh lingkungan, keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan, tokoh-tokoh agama, aparat desa, maupun oleh pemerintah Negara.
Sedangkan yang dimaksudkan konflik dalam penelitian ini adalah situasi dimana seseorang atau kelompok merasa seseorang atau kelompok lain menjadi penghalang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Baik itu berbentuk konflik laten maupun konflik manifes yang berbasis nilai dan kepentingan. Dalam hal ini, peneliti ingin mengetahui adanya konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan bagaimanakah pengelolaan terhadap konflik yang terjadi.

E.     Tujuan Penelitian
            Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1.        Mengetahui sejarah terbentuknya kemajemukan dan kerukunan masyarakat desa Sitiarjo
2.        Memahami bentuk-bentuk internalisasi nilai-nilai toleransi antar umat beragama di desa Sitiarjo
3.        Mengetahui potensi konflik dan cara pengelolaan konflik yang terjadi di masyarakat

F.      Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1.      Manfaat Teoritis
a.       Dapat memberikan gambaran umum tentang kerukunan antar umat beragama di desa Sitiarjo
b.      Dapat memberikan kontribusi teoritik dengan wacana tentang sosial keagamaan
2.      Manfaat Praktis
a.       Untuk Pemerintah dapat memberikan informasi dan sebagai peringatan dini dalam membangun toleransi dan mengelola kemajemukan dengan tepat
b.      Untuk Organisasi Masyarakat dapat memberikan gambaran tentang potensi konflik yang mungkin terjadi sehingga penelitian ini dapat menjadi muhasabah bersama agar Ormas dapat melakukan gerakan yang tepat untuk mendukung terbentuknya masyarakat yang damai di desa Sitiarjo.
c.       Untuk warga setempat dalam melakukan dialog keagamaan antar mereka agar terjalin hubungan yang lebih harmonis










 BAB II
KERANGKA TEORI

A.    Kerukunan Antar Umat Beragama
1.      Kerukunan Umat Beragama
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya membutuhkan keberadaan orang lain disekitarnya, dan hal ini akan dapat terpenuhi jika nilai-nilai kerukunan dan toleransi beragama tumbuh dan berkembang dengan baik di tengah-tengah masyarakat. Kerukunan diartikan dengan kelapangan dada, dalam arti suka dan rukun kepada siapapun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan lain.[7] Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di tengah-tengah perbedaan, karena kerukunan bertujuan untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran. Dalam kehidupan pasti ada perbedaan, perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan.
Kerukunan umat beragama merupakan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.[8]
Kerukunan antar umat beragama dalam pandangan Islam disebut Ukhuwah. Ukhuwah berasal dari kata dasar “Akhun” yang berarti saudara, teman, sahabat. Kata “Ukhuwah” sebagai kata jadian dan mempunyai pengertian atau menjadi kata benda abstrak yaitu persaudaraan, persahabatan, dan dapat pula berarti pergaulan.[9] Dalam pengertian yang luas, Ukhuwah memberikan cakupan arti “Suatu sikap yang mencerminkan rasa persaudaraan, kerukunan, persatuan dan solidaritas yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain atau suatu kelompok pada kelompok lain dalam interaksi sosial (muamalah ijtimaiyyah).” Sikap Ukhuwah itu sendiri akan muncul dalam kehidupan masyarakat karena dua hal, yaitu :
a.    Adanya persamaan, baik dalam masalah keyakinan atau agama, wawasan, pengalaman, kepentingan, tempat tinggal maupun cita-cita.
b.    Adanya kebutuhan yang hanya dapat dirasakan hanya dapat dicapai dengan melalui kerjasama dan kegotong-royongan serta persatuan.
Ukhuwah (persaudaraan atau persatuan) menuntut beberapa sikap dasar yang akan mempengaruhi kelangsungannya  dalam relitas kehidupan sosial, sikap-sikap tersebut antara lain : saling mengenali, saling menghargai, saling menolong, dan saling menyayangi.[10] Di sisi lain, Ukhuwah akan terganggu kelestariannya jika terjadi sikap-sikap yang bertentangan dengan kelakuan etika sosial, seperti : adanya sikap saling menghina, saling mencela, adanya praduga jelek (su’udhan), adanya sikap suka mencemarkan nama baik, adanya sikap kecurigaan yang berlebihan, dan lain-lain.[11]
Nahdlatul Ulama mengkonseptualisasikan kerukunan (Ukhuwah) dengan tiga pilar, yaitu : Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Basyariyah. Ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan sesama muslim yang tumbuh dan berkembang karena persamaan aqidah atau keimanan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Ukhuwah Wathaniyah adalah persatuan nasional yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran berbangsa dan bernegara. Sedangkan Ukhuwah Basyariyah (Insaniyah) adalah hubungan kemanusiaan yang tumbuh dan berkembang atas dasar rasa kemanusiaan yang bersifat universal (persaudaraan antar manusia, baik itu seiman maupun berbeda keyakinan) karena pada dasarnya seluruh umat manusia berasal dari ayah dan ibu yang sama yaitu Adam dan Hawa.
Persaudaraan Islam dan Persatuan Nasional merupakan dua sikap yang saling membutuhkan dan saling mendukung, dan harus diupayakan keberadaannya secara serentak, serta seyogyanya tidak dipertentangkan antara yang satu dengan yang lain. Adapun sikap hubungan antara Persaudaraan Islam dan Persatuan Internasional adalah :
a.         Akomodatif, dalam arti adanya kesediaan untuk saling memahami pendapat, aspirasi dan kepentingan satu sama lain.
b.         Selektif, dalam arti adanya sikap kritis untuk menganalisa dan memilih yang terbaik dan yang aslah (lebih member maslahat) serta anfa’ (lebih member manfaat) dari beberapa alternative yang ada.
c.         Integratif, dalam arti kesediaan untuk menyesuaikan dan menyelenggarakan berbagai macam kepentingan dan aspirasi tersebut secara benar, adil dan proporsionil.[12]
Di Indonesia sendiri terdapat tiga konsep kerukunan umat beragama yang dinamakan “Tri Kerukunan Beragama” yang isinya adalah sebagai berikut :
1.         Kerukunan intern umat beragama, yakni bentuk kerukunan yanag terjalin antar masyarakat penganut seagama.
2.         Kerukunan umat beragama, yakni bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat yang memeluk agama yang berbeda.
3.         Kerukunan umat beragama dengan pemerintah, yaitu bentuk kerukunan semua umat-umat beragama dengan pemerintah.[13]
Adapun yang termasuk faktor-faktor yang mendorong terwujudnya kerukunan, antara lain : komunikasi (dialog) antar agama yang berjalan dengan baik, saling pengertian, saling tenggang rasa, saling mempercayai, saling menghargai dan saling menghormati, adanya kerjasama sosial yang melibatkan seluruh pemuka agama, adanya kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan tergeseknya kerukunan, antara lain : rendahnya sikap toleransi antar agama, salah pemahaman dan penafsiran, adanya kepentingan politik, dan adanya sikap fanatisme yang muncul.

2.      Internalisasi Kerukunan Umat Beragama
Internalisasi yang dimaksud disini adalah meminjam teori konstruksi sosial dari Peter L. Berger yang secara ringkas akan dijelaskan berikut ini : Teori konstruksi sosial Peter L. Berger mengasumsikan bahwa realitas dan agensi (manusia) mempunyai hubungan timbal balik dengan skema eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.
a.         Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human product”.
b.         Objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”.
c.         Internalisasi ialah individu mengidentifikasi  diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product” .[14] 

Jadi, internalisasi kerukunan beragama adalah proses penanaman nilai-nilai toleransi beragama baik yang dilakukan oleh lingkugan, keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan, tokoh-tokoh agama, aparat desa,  aparat Negara, dll.

B.     Konflik dan Agama
Konflik berasal dari kata Latin configere yang berarti benturan.[15] Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.[16] Konflik biasanya juga dimaknai sebagai satu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat dan faham dalam kepentingan diantara dua  pihak atau lebih. Pertentangan ini bisa berbentuk pertentangan fisik dan non fisik yang mana pertentangan non fisik pada umumnya berkembang menjadi benturan fisik yang bisa berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent) bisa juga berkadar rendah tanpa menggunakan kekerasan (non violent). Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa diselesaikan tanpa kekerasaan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat.
Dari definisi yang telah disebutkan diatas, ada dua elemen penting dari definisi konflik yakni tujuan dan persepsi. Jika tujuan berada pada ranah yang teramati (obyektif), sebaliknya persepsi berada pada ranah mental/pikiran (mind). Sejalan dengan itu, Johan Galtung menyatakan bahwa konflik pada dasarnya terdiri dari tiga hal yakni sikap/asumsi, perilaku dan kontradiksi  (Konflik : sikap / asumsi + perilaku + kontradiksi / isi).[17] Dalam studi konflik, analisis konflik yang diutarakan oleh Galtung ini disebut analisis segitiga ABC (Attitude, Behavior, Contradiction) sedangkan menurut Mitchel mengkonseptulisasikan struktur konflik dengan struktur segitiga konflik; yaitu kondisi (condition atau Situtation), tingkah laku (Behavior), dan sikap (Attitude atau perception).[18] Sebagaimana tergambar dalam skema berikut ini:



                                                         Behavior
Tingkat Manifes :
Empiris, teramati, sadar

Tingkat Laten :
Teoritis, dugaan,          Attitude                                         Condition
 bawah sadar

Skema diatas dapat dijelaskan sebagaimana terurai dibawah ini:
a.         Situasi Konflik (Conflict Situation)
Banyak orang berpendapat bahwa konflik terjadi karena adanya perebutan sesuatu yang jumlahnya terbatas. Ada pula yang berpendapat bahwa konflik muncul karena adanya ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat, terutama antara kelas atas dan kelas bawah. Selain itu juga karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan, kebutuhan, dan tujuan dari masing masing anggota masyarakat. Beberapa hal yang biasa menjadi faktor pemicu munculnya konflik umat beragama dalam masyarakat adalah:
a.         Perbedaan stratifikasi sosial ekonomi antar pemeluk agama. Perbedaan yang cukup senjang dan menimbulkan kecemburuan sosial dapat menjadi pemicu munculya konflik
b.        Kepentingan ekonomi dan politik. Dalam scope negara perebutan dua sektor penting ini dapat menimbulkan kerawanan terhadap terjadinya konflik
c.         Faham / penafsiran agama. Perbedan pemahaman atau penafsiran terhadap ajaran agama dapat melahirkan sikap fanatisme berlebihan terhadap madzab atau faham keagamaan yang dianut oleh setiap kelompok agama baik dalam lingkup intern agama maupun antar agama
d.        Mobilitas kegiatan dakwah. Usaha mempertahankan atau memperluas jumlah jamaah untuk menjadi pengikut suatu faham atau agama tertentu
e.         Keyakinan agama. Kepercayaan yang mendasar dan dianggap mutlak yang menyangkut komitmen utama keberagamaan yang bersifat sakral dan fundamental bagi setiap pemeluk agama
b.        Sikap Konflik
Sikap konflik mempunyai definisi kondisi psikologis yang mengiringi konflik. Dalam konflik, pihak-pihak pasti mempunyai persepsi tentang lingkungan (suasana konflik) dan tentang lawan maupun dirinya. Persepsi itulah yang terkadang membuat tindakan konflik terlegitimasi. Bak spiral, tindakan konflik akan mengembangkan dan membuat persepsi baru pihak-pihak yang bertikai.
Bagi sebagian peneliti sikap konflik inilah yang memicu terjadinnya konflik atau bisa dikatakan sebagai sumber konflik.[19]
c.         Perilaku Konflik
Perilaku konflik adalah aksi yang diambil atau dilakukan oleh satu pihak kepada pihak lawan dalam situasi konflik dengan tujuan agar pihak kedua tersebut mau merubah atau memodifikasi dan menyesuaikan tujuannya.

Dari yang telah dikemukakan diatas, sudah jelas bahwa konflik terjadi jika ada pemicunya. Dalam agama, konflik juga sering terjadi karena secara sosiologis, masyarakat agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan sosok perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak. Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara
Dalam studi konflik juga dikenal istilah penyelesaian konflik atau penanganan konflik yaitu tercapainya kesepakatan antara pihak-pihak yang telibat konflik yang memungkinkan mereka memgakhiri konflik, terutama konflik bersenjata. Ada beberapa cara untuk menanggulangi konflik antara lain  :
a.          Manajemen konflik, yaitu seluruh upaya penanganan konflik secara positif. Manajemen konflik ini meliputi Conflict Avoidance atau menghindari situasi yang dapat mengakibatkan konflik, Conflict prevention atau mencegah termanifestasinya situasi menjadi perilaku konflik atau kekerasan, Conflict resolution yaitu tujuan pihak ketiga untuk memodifikasi atau merubah seluruh aspek konflik dan mendapatkan penyelesaian konflik yang berdaya tahan.
b.         Transformasi konflik yaitu langkah penting diluar penyelesaian konflik. Menurut Hugh Mial, ini merupakan pengembangan konflik. Dalam proses perdamaian istilah ini bermakna sebagai urutan langkah-langkah transisi yang diperlukan
c.         Resolusi Konflik adalah istilah komprehensif yang mengimplikasikan bahwa sumber konflik yang dalam berakar akan diperhatikan dan diselesaikan. Ini mengimplikasikan bahwa pelakunya tidak lagi penuh kekerasan, sikap tidak lagi membahayakan dan struktur konfliknya berubah [20]










BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.    Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di desa Sitiarjo pada tanggal 19 Mei - 3 Juni. Peneliti yang sekaligus sebagai intrumen penting dari penelitian hadir dilokasi penelitian  secara insendental dan kondisional disesuaikan dengan kebutuhan peneliti.

B.     Jenis Penelitian
Berdasarkan fokus dan subyek yang diteliti, penelitian ini termasuk kategori penelitian studi kasus yang mana studi kasus ini dilekatkan dalam penelitian kualitatif yang bersifat eksploratif. Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial / budaya .[21] Sedangkan eksploratif adalah salah satu jenis penelitian sosial yang tujuannya untuk memberikan sedikit definisi atau penjelasan mengenai pola yang digunakan dalam penelitian.[22]

C.    Subyek Penelitian
Yang menjadi subyek penelitian ini adalah tokoh masyarakat dan warga desa Sitiarjo yang ditentukan dengan tekhnik sampling purposive dan dikembangkan melalui tekhnik snowball. Penentuan subyek dilakukan secara purposive kepada para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan warga masyarakat yang dipandang mampu menjawab berbagai pertanyaan yang ingin diketahui oleh peneliti. Personal-personal tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai key informan. Teknik diterapkan untuk mencari informan lain yang dirujuk kepada key informan, teknik ini dipakai dengan maksud agar data dan informasi penelitian yang dikumpulkan dapat mendalam dan kompherensif

D.    Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
1.      Metode pengumpulan data
     Untuk mengumpulkan data penelitian, metode yang digunakan peneliti adalah sebagai berikut :
a.        Dokumentasi
Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat sendiri atau dibuat oleh orang lain.
b.      Observasi
Tekhnik observasi ini merupakan pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung oleh panca indera seperti mata, tangan, kaki, telinga dan mulut. Panca indera tersebut bisa didukung oleh beberapa alat untuk menunjang pengamatan seperti buku catatan, alat perekam dan kamera. Oleh karena itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dibantu dengan panca indera lainnya.[23]
c.       Wawancara
Secara sederhana wawancara adalah sebuah tekhnik pengumpulan data
yang didapatkan oleh peneliti melalui percakapan dengan narasumber atau informan yang dianggap memiliki peranan penting di tempat penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dengan tekhnik semi terstruktur yang bertujuan untuk menentukan topik yang dibahas secara lebih terbuka. Dengan wawancara, peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam dibalik fenomena yang terjadi yang tidak mungkin didapat melalui observasi.

2.      Instrumen Penelitian
                        Sesuai dengan metode yang digunakan, peneliti menggunakan instrumen berupa dokumentasi, observasi dan wawancara kemudian data yang telah didapatkan dikumpulkan dengan kisi-kisi dibawah ini :
a.      Dokumentasi
No
Data yang ingin diperoleh
Sumber data
Ket
1
Jumlah keseluruhan penduduk Sitiarjo dari tahun 1960-2013
Data Pemerintah desa, Kecamatan dan KUA

2
Jumlah tempat ibadah dari tahun 1960-2013
Dari desa

3
Persebaran umat beragama di desa Sitiarjo
Dari KUA

4
Kegiatan yang biasa dilakukan bersama
Karang Taruna

5
Adanya kasus/konflik yang terjadi di Sitiarjo
Forum


b.      Observasi
Dari observasi ini, hal-hal yang ingin diketahui oleh peneliti adalah :
1)      Kegiatan bersama
2)      Kegiatan kegiatan keagamaan
a.       Islam
b.      Kristian
3)      Kondisi geografis / lapangan
4)      Perilaku masyarakat sehari-hari

c.       Wawancara
No
Yang ingin diketahui
Rumusan pertanyaan
Responden
1
Sejarah
1. Gereja pertama pada tahun berapa ?

2. Masjid pertama pada tahun berapa ?

3. Apakah umat Islam di desa Sitiarjo sebagai pendatang ? Masuk pada tahun berapa ? Apa tujuan masuk desa Sitiarjo ?

4. Apakah umat Kristian di desa Sitiarjo sebagai pendatang ? Masuk pada tahun berapa ? Apa tujuan masuk desa sitiarjo ?

5. Sesepuh tokoh Islam di desa Sitiarjo

6. Sesepuh tokoh Kristian di desa Sitiarjo

2
Internalisasi
1. Kegiatan bersama yang dilakukan pemeluk kedua agama di desa Sitiarjo

2. Cara pemerintah melakukan internalisasi

3. Cara tokoh agama melakukan   internalisasi :

     a. Islam

     b. Kristian

4. Lembaga pendidikan dan ormas yang melakukan internalisasi

5. Cara lembaga pendidikan dan ormas melakukan internalisasi

6. Cara masyarakat itu sendiri melakukan internalisasi

3
Cara mengelola konflik
1. Apa yang menjadi potensi yang mengancam kerukunan beragama

2. Pernahkah ada konflik yang terjadi diantara kedua umat beragama tersebut ?

3. Bagaimana cara mengatasi konflik kerukunan umat beragama ?


E.     Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian sejarah dan sosiologi agama. Sejarah lebih ditekankan pada kronologis sejarah desa Sitiarjo sendiri, sedangkan sosiologi agama yang banyak digunakan dalam penelitian kualitatif menggunakan objek kajian manusia sebagai masyarakat dan individu.
Pendekatan penelitian sejarah adalah pendekatan yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Dengan kata lain, penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history as written).[24]
Pendekatan sejarah digunakan sebagai metode penelitian yang pada prinsipnya bertujuan untuk menjawab 6 pertanyaan (5W dan 1H) yang merupakan elemen dasar penulisan sejarah. Dalam proses penulisan sejarah sebagai kisah, pertanyaan-pertanyaan dasar itu dikembangkan sesuai dengan permasalahan yang perlu diungkap dan dibahas. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus menjadi sasaran penelitian sejarah, karena penulisan sejarah dituntut untuk menghasilkan eksplanasi (kejelasan) mengenai signifikansi (arti penting) dan makna peristiwa.
Sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat atau perbedaan masyarakat secara utuh dengan berbagai sistem agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan sistem keagamaan yang berbeda.[25] Sosiologi agama memusatkan perhatiannya terutama untuk memahami makna yang diberikan oleh suatu masyarakat kepada sistem agamanya sendiri, dan berbagai hubungan antar agama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan berbagai aspek budaya yang bukan agama. Para ahli memandang bahwa agama adalah suatu pengertian yang luas dan universal, dari sudut pandang sosial dan bukan dari sudut pandang individu.

F.     Prosedur penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan dengan 3 tahap yakni dokumentasi, observasi dan wawancara. Langkah awal peneliti mempersiapkan penelitian dimulai dari merencanakan penelitian yang dilanjutkan dengan membuat proposal penelitian kemudian di konsultasikan dengan pembimbing. Setelah itu  peneliti menyusun instrumen penelitian yang merupakan kebutuhan peneliti sebagai bahan penelitian. Instrumen tersebut bisa didapat dengan cara mencari data sekunder pada lembaga yang bersangkutan, melakukan wawancara kepada responden yang dianggap sebagai key informan dan yang terakhir peneliti menyusun laporan penelitian lalu menyesuaikan data yang diperoleh dengan hasil observasi.










BAB IV
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

A.    Gambaran Umum Desa Sitiarjo
1.      Kondisi Biogeofisik
Menurut beberapa informasi yang kami dapat, Desa sitiarjo pertama kali didirikan oleh seorang yang bernama kyai Ngastowo pada tahun 1895. Beliau kegiatan membuka hutan (jawa : babat alas) disekitar daerah Palung Lor. Daerah tersebut merupakan awal cikal bakal berdirinya desa Sitiarjo, yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan daerah Pondhok Dhulang. Pada awalnya desa Sitiarjo dibagi menjadi 4 dusun, yaitu :
a.               Dusun Sitiarjo (Krajan)
b.              Dusun Rowotrate
c.               Dusun Tambak Redjo
d.              Dusun Sendang Biru
Seiring dengan kemajuan zaman, empat dusun tersebut mengalami beberapa perubahan. Pada tahun 1978, Dusun Sendang Biru mengalami pemekaran menjadi desa sendiri, dan dusun Tambak redjo bersama dusun Tamban mengalami perkembangan juga menjadi desa sendiri. Sehingga desa Sitiarjo hanya memiliki dua dusun (dusun Krajan dan dusun Rowotrate).
 Pada tahun 2012, dusun Krajan dibagi menjadi tiga, yaitu dusun Krajan Wetan, Tengah dan Kulon. Sehingga desa Sitiarjo menjadi empat dusun sampai sekarang. Berikut beberapa dusun tersebut :
a.               Dusun Krajan Kulon
b.              Dusun Krajan Tengah
c.               Dusun Krajan Wetan
d.              Dusun Rowotrate

2.      Kondisi Geografis dan Administratif
Secara geografis, desa Sitiarjo terletak pada 7021 – 7031 Lintas Selatan dan 100010 – 111040 Bujur Timur. Jarak tempuh desa Sitiarjo ke Ibukota Kecamatan adalah 18 Km, yang dapat ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit dalam waktu normal, sedangkan jarak tempuh ke Ibukota Kabupaten adalah 58 Km, yang dapat ditempuh dalam waktu sekitar 90 menit dalam waktu normal. Secara administratif, desa Sitiarjo terletak diwilayah kecamatan Sumbermanjing Wetan, kabupaten Malang yang berbatasan dengan desa-desa tetangga, yaitu :
a.                  Sebelah Utara berbatasan dengan desa Sumbermanjing
b.                  Sebelah Timur berbatasan dengan desa Tambakrejo dan Kedung Banteng.
c.                  Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia
d.                

Sebelah Barat berbatasan dengan desa Sidodadi, dan Gajahrejo Kecamatan Gedangan [26].

 Gambar 4.1 peta administrasi lokasi wilayah desa Sitiarjo (sumber : Google Maps)

3.      Kondisi Sosial Budaya
a.    Kependudukan
            Berdasarkan data administratif pemerintahan desa tahun 2012, jumlah penduduk desa Sitiarjo adalah terdiri dari 2.363 kepala keluarga, dengan jumlah total 7.683 jiwa, dengan rincian 3.765 laki laki dan 3.918 perempuan.
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia
No
Usia
Laki laki
Perempuan
Jumlah
prosentase
1
0-4
219
224
443
5.77 %
2
5-9
178
183
361
4.70 %
3
10-14
217
224
441
5.74 %
4
15-19
249
259
508
6.61 %
5
20-24
292
301
593
7.72 %
6
25-29
327
337
664
8.64 %
7
30-34
338
347
685
8.92 %
8
35-39
348
352
700
9.11 %
9
40-44
352
358
710
9.24 %
10
45-49
334
341
675
8.79 %
11
50-54
322
329
651
8.47 %
12
55-58
242
254
496
6.46 %
13
59>
347
409
756
9.84 %
Jumlah
3.765
3.918
7.683

Sumber : Data Dasar profil desa tahun 2012, Sitiarjo
           
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa penduduk yang usianya masih produktif (usia tahun 20-49) di desa Sitiarjo sekitar 4.027 jiwa dengan prosentasi 51% . Penduduk desa Sitiarjo mayoritas bertempat di dusun Krajan (Krajan Kulon, Tengah dan Wetan), seperti yang tertera pada tabel di bawah ini :
Tabel 4.2 Sebaran Penduduk Berdasarkan RT-RW Desa Sitiarjo
No
Nama Dusun
Jumlah RT
Jumlah RW
1
Krajan Wetan
21
4
2
Krajan Tengah
15
4
3
Krajan Kulon
20
5
4
Rowotrate
5
2
Jumlah
61
15
Sumber : Data Dasar Profil Desa Tahun 2012, Sitiarjo

b.    Keagamaan
Salah satu desa di Indonesia yang memiliki keragaman pemeluk agama adalah desa Sitiarjo, dimana disana memiliki dua pemeluk agama yang besar, agama Kristen dan agama Islam. Kristen sebagai agama dominan dan Islam sebagai agama baru / pendatang , dengan prosentase Kristen 85%, Islam 15%. Menurut data yang kami dapat[27], jumlah penduduk yang berada di desa Sitiarjo pada tahun 2011 adalah 7295 jiwa. Dari jumlah tersebut, penduduk yang beragama Kristen 716 jiwa, dan penduduk yang beragama Islam sebanyak 6579 jiwa (lebih jelasnya lihat lampiran). Kedua agama tersebut menyebar ke seluruh desa Sitiarjo, dengan persebaran :
Description: C:\Users\APC\Desktop\Graphic1.png

     Gambar 4.2 Peta persebaran dua agama (Kristen dan islam) di desa Sitiarjo
Dari gambar peta diatas, dapat diketahui bahwa ada dua kampung yang mayoritas penduduknya beragama Islam, meskipun ada beberapa KK yang beragama Kristen, dua kampung  yang memiliki kemajemukan pemeluk agama, yaitu di daerah Palung Lor dan Lor Pasar, di kampung tersebut antar kedua agamanya dominan, artinya 50 : 50.  dan kampung lainnya mayoritas beragama Kristen.

B.     Sejarah Terbentuknya Kemajemukan dan Kerukunan  Masyarakat Sitiarjo
Sebelum melangkah pada sejarah terbentuknya kemajemukan dan masyarakat desa Sitiarjo, peneliti akan memaparkan dulu sejarah terbentuknya desa Sitiarjo. Dahulu, tersebutlah seorang tua bernama Kyai Truna Semita yang tinggal di Wonorejo - Bantur Kabupaten Malang. Ia adalah putra kedua dari tokoh "bedhah krawang" komunitas Wonorejo yaitu Ki Ibrahim Tunggul Wulung asal Juwana - Pesisir Utara Jawa Tengah yang sempat bertapa di Lereng Gunung Kelud, dan memeluk agama Kristen sejak dibaptiskan pada tanggal 6 Juli 1857 di bawah asuhan Pdt J.E Jellesma (pasamuwan Mojowarno - Jombang).[28]
Kyai Truna Semita berperan penting dalam meramaikan pembukaan lahan Swaru - Gondanglegi. Di sanalah ia bersahabat dengan para pendatang, antara lain dengan para keturunan Raden Mas Sandiya Suramenggala, yaitu kakak beradik Sarna Krama Setja, Garta Ngastawa, Kasminah (istri Sarub), Astama, Kasiman & Sarta (suami Tramisih) yang tadinya boyong dari desa Karungan - Sidoarjo, Pasamuwan Sidokare. Suatu ketika Beliau melontarkan ide kepada para sahabatnya untuk membuka sebuah dataran di Lembah Sungai Panguluran yang masih berupa "alas gung liwang-liwung jalma mara jalma mati". Setelah beberapa kali rembugan, Beliau dan guru Krama Setja sepakat meminta Garta Ngastawa melakukan survey ke tempat tersebut. Untuk itu mereka juga mohon doa restu kepada Pdt D. Louwerier selaku pemimpin Pasamuwan Swaru.
Survey ke dataran di hutan Panguluran dilakukan dua kali.[29] Survey pertama dilaksanakan Garta Ngastawa bersama dua orang sahabatnya, yaitu Tapa dan Mangun. Mereka tiba di perbukitan sisi Utara dan mendirikan sebuah pondok sederhana. Dari situ mereka memandang ke seluruh lembah subur yang tampak seperti pinggan (Jawa : Dulang), sehingga menyebut tempat mereka saat itu sebagai "Pondok Dulang".[30] Selanjutnya, pondok itu dijadikan pos tinggal selama pelaksanaan survey ke seantero Ngarai. Hasil survey berminggu-minggu itu kemudian dilaporkan kepada Pdt. D. Louwerier. Survey kedua dilakukan lebih jauh sampai ke dataran di balik perbukitan sisi Timur, yg di kemudian hari dikenal dengan nama Tambakrejo. Kali ini surveyornya ada empat orang, yaitu dengan tambahan Kastam. Setelah survey kedua selesai dilakukan, maka segera digelar persiapan bersama untuk pembabatan hutan tahap pertama. Sementara itu, Pdt Louwerier menyiapkan berkas permohonan ijin pembukaan hutan kepada pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Batavia. Ada lima belas keluarga yang siap membuka pemukiman dan persawahan di sekitar Pondok Dulang tersebut. Sembari menunggu penerbitan surat ijin dari Batavia, pada tahun 1893 mereka mulai membuka lahan dengan lebih dulu mendaraskan bersama "Donga Rama Kawula".[31]
Setelah bertahun-tahun menunggu, akhirnya pada tanggal 11 Februari 1897 mereka menerima surat ijin resmi berlogo singa atas nama Pemerintah Hindia Belanda dengan tanggal penerbitan 25 Juni 1895, maka resmi sudah upaya pembukaan lahan yg mereka lakukan selama ini. Selanjutnya tanggal tersebut dilestarikan sebagai hari ulang tahun Pasamuwan Sitiarjo, yang kemudian beralih nama menjadi GKJW Jemaat Sitiarjo dengan penegasan SK Dirjen Bimas Kristen Depag RI bernomor F/Kep/38/3685/79 tertanggal 10 Oktober 1979.[32] Dengan demikian, pembukaan pemukiman baru itu juga berarti dimulainya perkumpulan orang-orang Kristen di wilayah tersebut. Pembukaan pertama itu dilakukan pada sisi Utara sungai Panguluran dengan sebutan Sitiarjo.
Proses pembukaan lahan baru itu bukannya tanpa hambatan sama sekali. Suatu ketika sempat terjadi penyerbuan orang-orang dari dusun Gombloh - Druju yang ingin dapat bagian dari pembukaan hutan tersebut. Tetapi usaha ini bisa digagalkan karena nenek moyang kita memiliki surat ijin berkekuatan hukum dari pemerintah, sehingga mempunyai alasan kuat untuk meminta para penyerbu itu pergi dari lingkungan lahan. Hambatan lainnya adalah kurangnya pembinaan rohani warga, maka atas usulan Garta Ngastawa lalu Pdt Louwerier menugasi Guru Injil Akimas melayani persekutuan umat Tuhan di situ. Ini menunjukkan nenek moyang kita berkeyakinan bahwa pembukaan lahan baru haruslah diimbangi dengan pengembangan kualitas mental dan iman yang baik pula.
Surat resmi kedua diturunkan bertanggal 18 Agustus 1898 sebagai ijin membuka lahan pada sisi Selatan sungai Panguluran yang kemudian disebut dengan nama Pulungrejo. Pembabatan hutan di area ini selesai pada tanggal 17 Agustus 1901 di bawah pimpinan Saliman (ngKik Jasminah), seorang sahabat Garta Ngastawa dari keturunan Raden Tumenggung Suradita. Saliman juga dibantu oleh keponakannya bernama Gadri dari Mojowarno yang setelah dibaptis namanya ditambah dengan Domikus. Setelah Garta Ngastawa dan Saliman memasuki usia senja, maka pengembangan Sitiarjo dilanjutkan oleh Wardja dan pengembangan Pulungrejo diserahkan kepada Inswiadi (cucu Saliman).
Segera setelah selesainya pembukaan lahan Pulungrejo, pada tahun 1901 itu pula mulai dibangun sebuah gereja kecil yang juga difungsikan sebagai sekolah di lahan Pasamuwan Sitiarjo, yang sekarang merupakan area SMP YBPK Sitiarjo. Pemeliharaan rohani warga jemaat tetap diemban oleh Guru Injil Akimas, sedangkan proses pendidikan sekolah mula-mula hanya diemban oleh guru Ernes dan Pak Sasminah. Oleh karena jumlah siswa semakin bertambah, maka dibangunlah sebuah sekolah yang lebih luas di lahan sebelah Barat milik Pasamuwan Sitiarjo, yang sekarang menjadi area SDN Sitiarjo I. Sedangkan gedung gereja hanya dipakai untuk beribadah. Kawasan baru itu bertambah ramai sampai akhirnya disadari bahwa gedung gereja lama tidak lagi memadai, maka mulai tahun 1918 dibangunlah gedung gereja baru yang lebih luas dan besar di sisi Utara sungai, tepat di lereng Lembah Panguluran. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Pdt. De Vries, selaku pendeta baku di pasamuwan Swaru. Tahun 1921 pembangunan gedung gereja berhasil diselesaikan dan diresmikan sebagai rumah ibadah Pasamuwan Sitiarjo.[33]
Pemukiman baru tersebut, baik Sitiarjo di Utara maupun Pulungrejo di Selatan waktu itu semakin terkenal dengan nama Dusun Pondok Dulang.[34] Namun kedua wilayah itu tergabung kepada dua desa yang berbeda. Sitiarjo menjadi bagian dari Desa Gedhog Turen, sedangkan Pulungrejo menjadi bagian dari Desa Pamotan Druju. Kebutuhan warganya juga semakin banyak, seiring dengan semakin banyaknya pertambahan penduduk di situ. Untuk mencukupi kebutuhan kewarga-negaraan umat, maka sejak tahun 1906 mulai dilakukan persiapan penyatuan Sitiarjo dan Pulungrejo menjadi sebuah desa mandiri. Setelah seluruh persiapan dianggap cukup, maka dimulailah proses pembentukan desa dengan didahului pemilihan kepala desa secara demokratis. Ada empat orang calon kepala desa, yaitu Wariyo, Sampunah, Lesinar dan Rema Surareja. Akhirnya terpilihlah Rema Surareja (menantu Sarub) sebagai kepala desa pertama dan sejak itu desa tersebut dinamai Desa Sitiarjo.
Pada saat itu, Semua penduduk desa Sitiarjo adalah pemeluk agama Kristen, baru pada tahun 1970-an  Islam masuk di desa Sitiarjo dengan melalui banyak faktor[35]: yakni faktor perpindahan penduduk, perkawinan, dan pekerjaan. Awal mula masuknya Islam di desa Sitiarjo dengan tujuan untuk menetap di desa umat Kristian tersebut memang tidak mudah, muslim yang datang di desa tersebut harus menyembunyikan Islam sebagai agamanya dan mencantumkan agama Kristen di KTP karena saat itu Sitiarjo masih menjadi desa yang homogen.
 Masuknya Islam di desa Sitiarjo ditandai dengan berdirinya masjid pertama, masjid Baiturrahim yang berada di daerah Ganjarsari, dibangun pada tahun 1986 oleh seorang guru ngaji yang bernama Ust. Zain atas rekomendasi H. Lamu'in, konon, saat mengajar ngaji anak-anak kampung, tiba-tiba dipan yang digunakan sebagai tempat mengajar ngaji anjlok, ketika anjlok itulah H. Lamu'in lewat didepan rumahnya dan menawarkan untuk mendirikan musholla, akan tetapi Ust. Zain menjawab bahwa lebih baik mendirikan masjid daripada hanya musholla,[36] semenjak itulah warga muslim saling bahu membahu untuk membangun masjid Baiturrohim dibawah pimpinan Bpk. Sutajam selaku kepala desa Sitiarjo saat itu.
Seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya desa Sitiarjo yang dulu hanya dihuni oleh warga Kristen sekarang sudah bercampur dengan warga dari kalangan muslim. Mereka hidup berdampingan dengan tidak membedakan SARA. Desa Sitiarjo semakin ramai dengan pendatang, terlebih lagi dengan dibangunnya sentra-sentra fasilitas umum di atas tanah milik Pasamuwan Sitiarjo berupa poliklinik dan lapangan sepak bola. Demikian juga dibangun sentra ekonomi berupa pasar, yang semula berada di sisi Selatan sungai Panguluran, namun setelah musibah banjir dipindah ke sisi Utara sungai. Penduduk desa juga mengalami proses adaptasi dan asimilasi dengan saudara-saudaranya yang berasal dari luar desa. Yang semula penduduk Desa Sitiarjo 100% hanyalah warga GKJW Jemaat Sitiarjo, selanjutnya mulai menerima saudara-saudaranya dari denominasi Kristen yang lain seperti GpdI, GBI, GPT, GAB dan GSJK. Sekarang di desa ini sudah terdapat enam belas buah gereja. Begitu juga saudara-saudara Muslim yang berdatangan untuk menetap di Sitiarjo semakin berkembang pesat setelah terbangunnya masjid baiturrohim di desa Ganjarsari.[37] Setelah terbangunnya masjid tersebut dibangunlah masjid kedua yang berada di Palung Lor dan di sisi Utara pasar di bawah pimpinan Kades Yudo Wahyono. Terakhir, di bawah pimpinan Kades Bartholomeus Diaz dibangunlah masjid di dusun Sumber Gayam.[38] Rencananya, pada hari Senin, 9 Juni 2014 nanti di bawah kepemimpinan Kades Lispijanto Daud untuk pertama kalinya sejak 119 tahun berdirinya pemukiman Sitiarjo, di lapangan desa ini digelar istighosah oleh sekitar 400-an warga desa yang beragama Islam untuk turut mendoakan kedamaian dan kesejahteraan desa.
Sampai sekarang Desa Sitiarjo terus bergerak menggelar kemajuan bersama desa-desa lain di sekitarnya. Kaum mudanya juga semakin kreatif menanggapi perkembangan. Kecintaan akan desa dan kesadaran dalam merespon dinamika sosial lokal mereka ekspresikan dalam berbagai karya yang menakjubkan. Adalah sekelompok kaum muda yaitu Priyo Wibowo, Cahyono Hariadi, Christian Sonny dan Suelmi Wijilingtyas bekerja-sama menciptakan dua buah lagu yang indah khas Sitiarjo yaitu Sitiarjo Ngrembaka dan Sitiarjo Seksi.[39] Rupanya kaum muda desa ini juga semakin menyadari betapa permai desa mereka, sehingga mengundang kumbang-kumbang berdatangan untuk turut menghirup sari madunya.
Dari pemaparan historisitas kemajemukan masyarakat dan kerukunan umat beragama di desa Sitiarjo tersebut dapat diambil kesimpulan melalui tabel berikut :
No
Tahun
Kejadian
1
1857
Kyai Truna Semita yang dibaptis masuk Kristen merencanakan pembukaan lahan untuk membangun desa Sitiarjo
2
1893
Sembari menunggu penerbitan surat izin dari Batavia, 15 keluarga tersebut mulai membuka lahan dengan lebih dulu mendaraskan bersama "Donga Rama Kawula"
3
1897
Menerima surat izin resmi berlogo singa atas nama Pemerintah Hindia Belanda dengan tanggal penerbitan 25 Juni 1895, dengan ini maka resmi sudah upaya pembukaan lahan yang mereka lakukan.
4
1898
Diturunkannya surat resmi kedua sebagai ijin membuka lahan pada sisi Selatan sungai Panguluran yang kemudian disebut dengan nama Pulungrejo
5
1901
a)    Selesainya pembabatan hutan di bawah pimpinan Saliman (ngKik Jasminah), seorang sahabat Garta Ngastawa dari keturunan Raden Tumenggung Suradita
b)   Dibangun sebuah gereja kecil yang juga difungsikan sebagai sekolah di lahan Pasamuwan Sitiarjo, yang sekarang merupakan area SMP YBPK Sitiarjo
6
1906
Mulai dilakukan persiapan penyatuan Sitiarjo dan Pulungrejo menjadi sebuah desa mandiri. Setelah seluruh persiapan dianggap cukup, maka dimulailah proses pembentukan desa dengan didahului pemilihan kepala desa secara demokratis
7
1918
Pembangunan gedung gereja baru di sisi Utara sungai, tepat di lereng Lembah Panguluran. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Pdt De Vries, selaku pendeta baku di pasamuwan Swaru
8
1921
Pembangunan gedung gereja berhasil diselesaikan dan diresmikan sebagai rumah ibadah Pasamuwan Sitiarjo
9
1970
Masuknya islam didesa Sitiarjo mulai terdeteksi, mereka masuk ke desa Sitiarjo melalui banyak faktor antara lain faktor perpindahan penduduk, perkawinan, dan pekerjaan. Semenjak inilah desa Sitiarjo menjadi desa yang heterogen. Awalnya umat Islam sembunyi-sembunyi, tidak menampakkan identitas keislamannya.
10
1986
Berdirinya masjid pertama yaitu masjid Baiturrahim yang berada di daerah Ganjarsari, dibangun oleh seorang guru ngaji yang bernama Ust. Zain atas rekomendasi H. Lamu'in
11
2005
Tokoh muslim mulai berdatangan seperti ustadz deden dari bandung yang kemudian menikah dengan salah satu warga desa Sitiarjo
12
2008
a)    Dibangunnya masjid kedua di kampung pasar yang dekat dengan rumah Ustad Deden
b)   Dibangunnya pesantren disamping rumah beliau sebagai sarana dakwah
13
2014
Kegiatan bersih desa untuk yang pertama kalinya di desa Sitiarjo yang di isi dengan kegiatan dua agama. Yakni kegiatan berdoa bersama seluruh warga desa Sitiarjo baik yang muslim ataupun yang Kristen


C.    Internalisasi Kerukunan Umat Beragama di Desa Sitiarjo
Nilai toleransi dan kerukunan umat beragama di desa Sitiarjo telah tertanam kuat dan mengakar sejak dulu kala. Salah satu proses Internalisasi yang dilakukan oleh umat Kristen desa Sitiarjo disalurkan melalui lembaga-lembaga di Gereja. Selain itu, internalisasi juga berasal dari masyarakat sendiri yang pada umumnya merupakan orang Jawa sehingga mereka lebih mudah menerapkan nilai-nilai tradisi Jawa dalam menjaga kerukunan dan keharmonisan hubungan dalam masyarakat. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh salah seorang tokoh Kristian desa Sitiarjo, beliau memaparkan sebagai berikut :

“Nilai-nilai toleransi yang ditanamkan kepada umat, sebenarnya merupakan perpaduan antara nilai-nilai Kristiani dengan nilai-nilai tradisi Jawa. Peran nilai-nilai Jawa sudah tertanam kuat sejak dahulu kala, dan ini merupakan sesuatu yang baik, karena bisa menjadi bahada pemersatu, sedangkan para pendatang umumnya adalah orang Jawa juga, sehingga tidak terlalu sulit untuk mengungkit kesadaran bahwa setiap penduduk adalah sama-sama ciptaan Tuhan yang harus dihargai. Hal ini bisa disampaikan dalam kesempatan apapun juga, bukan hanya pada kesempatan-kesempatan ibadah saja, termasuk saling silaturahim pada hari-hari besar masing-masing agama. Atau pada saat pelayatan warga desa yang meninggal-dunia.” [40]

            Dari pernyataan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa penanaman nilai-nilai kerukunan dan toleransi beragama dalam masyarakat menitikberatkan pada dua aspek, yaitu : nilai-nilai agama (Kristen) dan nilai-nilai budaya Jawa. Peran nilai-nilai agama sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat karena agama dan nilai-nilai keagamaan merupakan kekuatan pengubah yang terkuat dari semua kebudayaan. Agama dapat menjadi inisiator yang bisa mempersatukan, mengikat dan memelihara kerukunan dalam suatu masyarakat. Di sisi lain, agama juga bisa memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belahkan bahkan menghancurkan kerukunan dalam suatu masyarakat.
Sebagaimana yang terjadi di desa Sitiarjo, kerukunan yang terjalin dalam masyarakat merupakan salah satu bukti bahwa nilai-nilai budaya Jawa juga memiliki pengaruh yang tidak kalah penting jika dibandingkan dengan peran nilai-nilai agama dalam masyarakat, karena nenek moyang sebenarnya telah mewariskan nilai-nilai luhur yang bisa dijadikan pedoman hidup seperti : kegotong-royongan (kebersamaan), persatuan dan kesatuan, saling menghormati, kesopan-santunan, kejujuran, keadilan, keramah-tamahan, dan lain-lain.
            Umat Kristen desa Sitiarjo melakukan internalisasi melalui lembaga-lembaga yang dibentuk di GKJW, antara lain melalui sebuah lembaga yang bernama KPPM (Komisi Pembinaan Pemuda dan Mahasiswa), KPAR (Komisi Pembinaan Anak dan Remaja), dan lain-lain. Lembaga-lembaga tersebut melakukan pertemuan-pertemuan yang rutin dilakukan setiap minggu dan diisi dengan pengajaran pendidikan moral. Selain itu, Umat Kristiani juga memiliki sebuah tembang yang mendasari kerukunan desa Sitiarjo, tembang tersebut berjudul “ENDAHE SADULURAN” yang liriknya sebagai berikut :
Endahe saduluran manut rehing Pangeran,
sami dene ngajeni, wah mbiyantoni
nadyan beda agama wah beda golongannya
tunggal rasa pambekan prikamanungsan,        
Reff :
Kluwung pindhanya endahing warna,        
Nyawiji mbangun urip kang adya, tentrem raharja

Rukun ing pitepangan sumanak ing rembugan,
dhemen sung pangapura nyirik piala,
nging samya silih ngalah mbabar kentresna tansah,
nulad ing sihe Allah mring sagung titah,
Reff :
Kluwung pindhanya endahing warna,        
Nyawiji mbangun urip kang adya, tentrem raharja

Rukun gawe santosa crah mung bubrah wohira,
Ngestokna sabdeng Gusti tresna sesami,
Nadyan panemu beda nging tan samya sulaya,
Olah kawicaksanan tan nang-menangan,
Reff :
Kluwung pindhanya endahing warna,        
Nyawiji mbangun urip kang adya, tentrem raharja. [41]

Yang artinya :

Indahnya persaudaraan taat kepada tuhan,
saling menghormati dan membantu,
meski beda agama dan golongan
satu rasa yakni kemanusiaan
Reff :
Bagai pelangi indah warnanya
Bersatu membangun hidup yang tentram dan bahagia

            Rukun dalam merembuk masalah dan berasaskan persaudaraan dalam memecahkan masalah
Cinta pemaaf dan menghindari motif kepentingan
Selalu saling mengalah dan menyebarkan cinta kasih
Mengikuti apa yang dikehendaki Allah
Reff :
Bagai pelangi indah warnanya
Bersatu membangun hidup yang tentram dan bahagia

Rukun menjadikan sentosa , bertengkar hanya  menjadikan kacau
Mengikuti sabda Gusti untuk mencintai sesama
Walaupu punya pandangan berbeda akan tetapi tidak berselisih
Mengolah kebijaksanaan tidak mencari menang sendiri
Reff :
Bagai pelangi indah warnanya
Bersatu membangun hidup yang tentram dan bahagia

Lagu tersebut dijadikan sebagai dasar umat Kristiani desa Sitiarjo untuk selalu membangun kerukunan anatar sesama. Dan biasanya lagu tersebut selalu dinyanyikan ketika ada kegiatan-kegiatan keagamaan dan acara-acara bersama, seperti : Natal, doa bersama, bersih desa dan acara-acara lain yang melibatkan semua komponen masyarakat.[42]
Sedangkan  dari pihak Islam sendiri, tidak ada upaya-upaya khusus untuk menanamkan nilai-nilai toleransi beragama, karena menurut Ustadz Deden  jika umat Islam benar-benar mengamalkan ajarannya, maka mereka tidak perlu lagi diperintah untuk toleransi terhadap orang non-muslim, karena dalam Islam telah banyak diajarkan tentang toleransi beragama dan kerukunan (ukhuwah). [43]
Fenomena-fenomena beda agama merupakan hal yang biasa bagi masyarakat desa Sitiarjo. Mereka saling gotong royong, saling menolong satu sama lainnya tanpa memperdulikan latar belakang akidah mereka. Fenomena-fenomena lain juga banyak terjadi dalam masyarakat, seperti pernikahan silang yang terjadi dalam satu rumah. Menurut cerita Syamsiyah : 

“ ...dalam satu rumah banyak yang anggota keluarganya berbeda keyakinan. Salah satunya adalah seorang warga muslim yang bernama Samud, ia menikah dengan wanita kristen yang bernama Sriati. Istrinya (Sriati) masuk Islam karena faktor pernikahan. Mereka pun akhirnya dikaruniai seorang anak yang bernama Ike. Mulanya Ike memang menganut agama seperti agama kedua orang tuanya(Islam), namun karena ia dinikahi oleh seorang pria Kristen yang bernama Joko, akhirnya ia pun berpindah agama dan ikut menganut keyakinan yang dianut oleh suaminya tersebut. Fenomena-fenomena seperti ini merupakan hal yang sudah biasa bagi masyarakat.,bahkan masih banyak lagi...” [44]

Di desa Sitiarjo kultur rukun memang sudah terbentuk sejak awal umat Islam dan Kristen menjalin relasi. Seperti yang dikatakan oleh Pak Lis bahwa pada tahun 1950-an  masyarakat saling menawarkan bantuan ke rumah-rumah untuk menawarkan jasa penumbukan padi, bahkan hampir setiap pagi kegiatan itu dilakukan oleh mayarakat. Mereka saling menolong tanpa memperdulikan latar belakang agama. Ketika perayaan HUT RI pun mereka juga saling gotong royong demi terciptanya persatuan dan kesatuan. [45] Bukti lain juga telah disampaikan oleh pak Pendeta, seperti saling mengunjungi (silaturrahim) ketika hari besar masing-masing agama dan pelayatan warga desa yang meninggal dunia. Serta masih banyak lagi fenomena-fenomena lain yang terjadi di desa Sitiarjo.
Dari pemerintah desa Sitiarjo sendiri, bentuk sosialisasi dan internalisasi dalam masyarakat dilakukan melalui lembaga-lembaga mitra pemerintah salah satunya melalui LKMD yakni lembaga yang khusus menangani permasalahan-permasalahan desa baik itu penanganan fisik maupun mental.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses sosialisasi dan Internalisasi di desa Sitiarjo berakar dari tradisi yang kuat dimasyarakat yang berbasis budaya Jawa serta ditopang relasi internalisasi yang dilakuakan oleh Lembaga Keagamaan, baik Kristen seperti KPPM dan KPAR-nya, maupun umat Islam dengan misal Banser dan Ormas NU yang selalu menjalin hubungan baik antar umat beragama, bahkan sosialisasi juga dilakukan oleh pemerintah dengan lembaga LKMD, dsb. Dengan cara-cara itulah keharmonisan dan kerukunan antar umat  diupayakan terjalin dengan baik.

D.    Potensi dan Pengelolaan Konflik di Desa Sitiarjo
Kerukunan umat beragama di desa Sitiarjo tidak serta merta terbentuk begitu saja, akan tetapi dalam membentuk kerukunan tersebut ada faktor-faktor yang mendukung, baik dari dalam seperti ambisi warga untuk hidup rukun  maupun dari luar seperti tuntutan dari pemerintah. Dalam kehidupan berkelompok dapat dipastikan bahwa konflik itu ada, seperti halnya hubungan orang tua dan anak, mereka pasti mempunyai konflik baik itu konflik yang masih berupa sikap konflik ataupun konflik yang sudah berupa perilaku konflik. Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam setiap kehidupan berkelompok pasti ada konflik yang terjadi, terutama dalam kehidupan bermasyarakat yang komposisi warganya terdiri dari dua umat. Kerukunan yang tercipta di desa Sitiarjo belum bisa dibilang benar-benar rukun tanpa ada konflik yang mewarnai. Sesuai observasi yang dilakukan oleh peneliti disebutkan bahwa di desa Sitiarjo ada potensi konflik yang mulai muncul semenjak datangnya umat muslim sebagai warga di desa tersebut. Bahkan, sebelum warga muslim resmi dinyatakan sebagai warga desa Sitiarjo konflik tersebut sudah ada yang dibuktikan dengan penolakan terhadap umat muslim yang ingin berdomisili di desa tersebut.
Awalnya, warga desa Sitiarjo menolak kedatangan umat muslim namun lama-kelamaan mereka memberikan penawaran kepada muslimin agar memeluk agama Kristian jika ingin diakui sebagai warga desa Sitiarjo, Sontak umat muslim tidak dapat berfikir untuk penawaran itu, namun karena sudah terlanjur ada hubungan penting (pekerjaan, berkeluarga, dll.) di desa tersebut umat muslim memilih untuk tetap tinggal dengan cara sembunyi-sembunyi, mereka menafikan Islam sebagai agama mereka walhasil agama Kristen yang dicantumkan di KTP mereka.[46] Meskipun dengan sembunyi-sembunyi warga muslim tetap menanamkan ajaran agama kepada anak-anak mereka seperti halnya membangun TPQ yang digunakan sebagai salah satu sarana untuk menanamkan ajaran Islam. Layaknya pepatah bahwasanya sepintar apapun orang yang menyimpan bangkai baunya akan tetap tercium jua, seiring dengan berjalannya waktu masuknya orang muslim di desa Sitiarjo mulai terdeteksi sekitar tahun 70-an. Umat Kristian mulai menyadari bahwa agama Islam telah masuk di desanya, menurut cerita pak Zainuri, walaupun dengan berat hati dan keterpaksaan yang amat mendalam akhirnya mereka bisa menerima dan mengakui adanya warga muslim di desa Sitiarjo. Meskipun demikian, tidak semudah membalikkan tangan mereka menerima warga muslim, akan tetapi masih saja diwarnai dengan perjanjian dan aturan-aturan yang mereka buat. Seperti halnya pada saat hari minggu, kebiasaan umat kristen yang beribadah ke gereja pada hari minggu harus dihormati oleh umat muslim dengan cara tidak ada pekerjaan apapun yang dilakukan oleh umat muslim seperti yang di ucapkan Bpk Tumari :
 “...pada waktu itu hari minggu, saya bertekad untuk pergi kesawah karena itu sebuah tuntutan untuk menghidupi keluarga saya, saya tidak menyangka ternyata salah satu perangkat desa menghampiri saya dengan marah-marah, dia meminta agar saya pulang...”[47]

Selain aturan itu, warga Kristen juga mempersulit umat muslim untuk memenuhi fasilitasnya, seperti mendirikan masjid atau musholla di Sitiarjo. Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya masjid pertama (masjid Baiturrohim) di daerah Ganjarsari, pembangunan masjid ini tidak semudah yang dibayangkan, siapa sangka ternyata pemerintah dan warga desa Sitiarjo mempersulitnya.[48] Meskipun demikian, umat muslim tidak putus asa dan menyerah begitu saja, dengan dibantu oleh tokoh agama Islam akhirnya perjuangan umat muslim untuk mendirikan masjid tersebut mendapat izin dari pemerintah desa Sitiarjo. Akhirnya, berdirilah masjid Baiturrahim sebagai masjid pertama kali yang dibangun di desa Sitiarjo.
Tidak berhenti disitu, Ustadz Deden Zainal Abidin yang lebih dikenal dengan ustadz Deden juga mengalami hal yang serupa yakni dipersulitnya membangun musholla dan pesantren di dekat rumahnya yang berlokasi di Kampung Pasar. Seperti halnya pembangunan masjid di Ganjarsari yang mendapat izin dari pemerintah setelah ditolak warga, pembangunan yang dilakukan Ustadz Deden pun juga mengalami hal yang sama, bahkan, setelah pesantren itu berdiri sebagian warga Kristian masih saja tega untuk memfitnah pesantren tersebut. Mereka berdalih bahwa pesantren tersebut adalah pesantren yang illegal dan tidak diakui pemerintah serta masih banyak lagi cemoohan yang di lontarkan kepada Ustadz Deden.
Pernyataan diatas membuktikan bahwa konflik antar umat beragama di desa Sitiarjo itu ada, seperti yang dikatakan oleh pendeta Chrysta :

“tentu saja potensi konflik itu selalu saja ada. Tetapi kalau konflik laten internal sesama penduduk desa agaknya tidak ada. Mungkin karena sama-sama orang Jawa maka sikap saling santun dan rukun sudah mendarah daging pada diri warga desa yang berbeda keyakinan...”[49]

Menurut pendeta Chrysta konflik terbuka memang belum terjadi, akan tetapi di masa mendatang bisa saja terjadi kalau sirosis (pengerasan) doktrin agama ini dipelihara terus. Dari sisi ajaran Kristen, nilai kasih yang altruistik dan universal merupakan benteng pertahanan utama untuk menepis setiap proses sirosis doktrin agama. Nilai ini perlu diimplementasikan melalui proses pencerdasan untuk memupuk dan menguatkan kearifan warga, supaya warga memiliki self-filtering yang cukup kuat terhadap pengaruh ideologi chauvinis triumphalistict yang ditumpangkan pada doktrin agama. Tindakan riilnya harus dimulai dari penciptaan model-model komunikasi yang "nyedulur" satu sama lain, dan menjauhkan model-model komunikasi yang berjiwa transaksional, apalagi konfrontatif represif.
Sejauh ini, konflik yang mulai terlihat jelas adalah konflik yang bersumber dari oknum-oknum yang mulai berdatangan yang mana oknum-oknum tersebut berpotensi untuk memicu pengerasan (sirosis) doktrin agama.[50] Gerakannya dimulai dari penguasaan ekonomi dan tanah-tanah desa sembari menebar ajaran-ajaran agama yang mengarah pada intoleransi. Nilai-nilai altruis dan sikap berbagi rezeki mulai dikontaminasi dengan nilai-nilai monopoli yang egoistik. Meskipun kemungkinan sinyalnya masih tipis, namun pesan yang dibawa sebenarnya sudah cukup kuat. Sikap toleransi warga desa yang sudah terpelihara sejak awal, mulai ditunggangi dan dimanfaatkan dengan memasukkan faham-faham impor yang sesungguhnya cenderung anti toleran.





















BAB V
ANALISA

A.   
Description: Description: C:\Users\APC\Desktop\tiga teori peter L Barger.png

Internalsisasi  dalam Konstruksi Sosial Masyarakat Sitiarjo

Kostruksi sosial adalah teori yang dibangun oleh Peter  L Berger yang menjelaskan perilaku manusia dengan tiga proses: Internalisasi, Eksternalisasi  dan Obyektifikasi.
 Internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri ditengah lembaga lembaga sosial atau organisasi social dimana individu tersebut menjadi anggotanya. Internalisasi didesa sitiarjo dilakukan oleh beberapa elemen,  diantaranya adalah oleh pemerintah desa, tokoh agama, lembaga sosial, lembaga lembaga pendidikan ( lewat lembaga-lembaga formal, ataupun lembaga-lemabaga pendidikan non-formal, contoh : pondok pesantren dan lain lain), dan masyarakat itu sendiri.
Adapun cara pemerintah dalam melakukan internalisasi  yaitu dengan membentuk suatu lembaga yang mana lembaga tersebut menampung bebarapa aspirasi dari rakyat. Lembaga tersebut dinamakan LKMD. Yang mana lembaga tersebut menampung segala aspirasi atau unek-unek masyarakat desa Sitiarjo.[51] Selain itu, pemerintah desa juga sering mengadakan upacara upacara adat bersama yang tujuannya tidak lain tidak bukan untuk melakukan internalisasi.
Begitu juga tokoh agama, para tokoh agama dari masing-masing agama juga turut andil dalam permasalahan ini. Mereka melakukan internalisasi dengan cara caranya sendiri. Yang dari Islam, tokoh agamanya tidak ada upaya upaya khusus dalam melakukan internalisasi, karena menurut Ustadz Deden, dalam ajaran Islam sendiri sudah mengandung unsur nilai-nilai toleransi, jika individu tersebut benar benar telah mengaplikasikan ajaran-ajaran Islam, secara otomatis, nilai-nilai toleransi tersebut pasti akan terlaksanakan dengan sendirinya. Berbeda dengan tokoh Islam, tokoh Kristen melakukan internalisasi dengan membentuk KPPM, KPAR, KPPW, dan lain lain. Yang mana lembaga-lembaga tersebut mencetak individu hasil internalisasi dari tokoh agama Kristen, setiap malam minggu, lembaga-lembaga tersebut melakukan pertemuan pertemuan yang rutin dilakukan dan diisi dengan kegiatan internalisasi.
Juga lembaga-lembaga pendidikan, setiap lembaga lembaga pendidikan juga melakukan internalisasi. Baik formal ataupun non-formal contoh kongkrit dari pendidikan formal adalah adanya sekolah, ketika ada pelajaran agama, siswa yang berbeda agama diperbolehkan untuk tidak mengikuti pelajaran.
Organisasi masyarakat juga melakukan internalisasi dengan caranya sendiri, contohnya adalah banser, banser acapkali terlihat ikut turut membantu keamanan ketika ada kegiatan beribadah di gereja.
Masyarakat desa Sitiarjo sendiri juga melakukan internalisasi dengan sendirinya, bentuk internalisasinya adalah mulai mereka lahir, mereka sudah terbiasa dengan adanya perbedaan, sehingga sampai mereka dewasa pun mereka tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan agama.

Lebih jelasnya lihat tabel dibawah ini :
No
Elemen-Elemen yang melakukan Internalisasi
Upaya Internalisasi
1.
Pemerintah desa
Dengan membentuk lembaga-lembaga yang setiap pertemuannya membahas tentang aspirasi dan unek unek masyarakat desa Sitiarjo. Contoh : LKMD
2.
Tokoh agama :


a.       Islam
Tidak ada upaya khusus untuk proses internalisasi, tetapi nilai-nilai toleransi otomatis akan terbentuk sendiri ketika umat Islam benar-benar mengaplikasikan syari’at-syari’at Islam dalam kehidupannya

b.      Kristen
Dengan membentuk beberapa forum, diantaranya KKPM, KPAR, KPPW, yang mana lembaga-lembaga tersebut digunakan sebagai wadah untuk memudahkan proses  internalisasi.
4.
Lembaga-lembaga pendidikan (baik formal maupun non-formal)
Lembaga-lembaga pendidikan juga turut andil dalam melakukan internalisasi, salah satunya adalah ketika saat pelajaran agama, siswa yang berbeda agama diberi toleransi boleh tidak mengikuti jam pelajaran.
5,
Masyarakat sendiri
Mereka mulai dari lahir sudah terbiasa untuk berbeda, sehingga pada saat besarpun mereka sudah tidak mempermasalahkan perbedaan terutama perbedaan dalam masalah keyakinan.

B.     Konflik dan Manajemen Konflik
Seperti yang sudah disebutkan dihalaman sebelumnya, teori pendekatan konflik yang digunakan oleh peneliti dapat digambarkan seperti skema di bawah ini :
                         
                                                        Behavior
Tingkat Manifes :
Empiris, teramati, sadar

Tingkat Laten :
Teoritis, dugaan,          Attitude                                         Condition
 bawah sadar

Dari skema segitiga di atas menunjukkan tingkatan konflik, pada taraf Behavior dapat disebut juga sebagai tingkat Manifes yang menekankan pada sifat konflik empiris, teramati dan sadar sedangkan Attitude dan Condition sebagai tingkat Laten yang menekankan pada teoritis, dugaan dan bawah sadar. Dari konflik yang sudah ditemukan oleh peneliti maka akan dianalisis sesuai dengan skema segitiga diatas sebagai berikut :
1.      Behavior
Pada tingkatan ini, konflik di desa Sitiarjo mulai tampak meskipun itu bukan konflik yang diekspresikan secara kongkrit. Selain dari pendeta Chrysta, dari pihak muslim juga mulai muncul perasaan yang serupa, Bpk. Tumari merasakan bahwa nilai toleransi yang ditanamkan di desa Sitiarjo menjadikan tuntutan baginya,[52] seperti aturan pada hari minggu yang dilarang melakukan kegiatan apapun dengan dalih untuk menghormati umat Kristian yang beribadah ke gereja, bapak Tumari pernah mencoba untuk pergi kesawah saat hari minggu dan tanpa diduga ternyata salah satu perangkat desa menghampiri dan memarahi beliau. Selain itu, kejadian serupa juga menimpa Ustadz Deden yang menerima celaan dari umat Kristian karena beliau mendirikan pesantren dan musholla di sebelah rumahnya, tidak hanya itu saja, warga Kristen juga melakukan aksi demonstrasi kepada Ustadz Deden yang lagi-lagi disebabkan oleh berdirinya pesantren dan musholla di sebelah rumahnya.[53]
Pernyataan yang diungkapkan dua orang tersebut dapat membuktikan bahwa awal mulanya konflik di desa Sitiarjo itu sudah ada, meskipun masih berupa dugaan atau perasaan yang terpendam dalam hati. Dengan begitu teori konflik pada tingkat Manifes atau Behavior sudah ada di desa Sitiarjo.
2.      Condition
Konflik Laten pada tingkat ini mengarah pada kondisi konflik, kondisi konflik inilah yang nantinya akan memicu terjadinya perilaku konflik. Seperti persepsi yang diungkapkan oleh Pdt. Chrysta bahwasanya mulai ada kecurigaan antara dua umat tersebut, hal ini diawali dengan berdatangannya oknum-oknum yang berpotensi untuk memicu pengerasan (sirosis) doktrin agama. Yang mana gerakannya dimulai dari penguasaan ekonomi dan tanah-tanah desa sembari menebar ajaran-ajaran agama yang mengarah pada intoleransi. Nilai-nilai altruis dan sikap berbagi rezeki mulai dikontaminasi dengan nilai-nilai monopoli yang egoistik.[54]
3.      Attitude
Pada tahap ini sikap konflik di Sitiarjo mulai ada, seperti persepsi yang diungkapkan Ustadz Deden, dengan merujuk pada salah satu ayat Al-Qur’an yang dapat dijelaskan bahwasanya orang kristen tidak akan pernah ridho dengan orang muslim sampai orang muslim tersebut masuk kedalam agamanya.[55]
Sesuai dengan penjelasan diatas, konflik didesa Sitiarjo sudah memenuhi tiga teori konflik yang digunakan oleh peneliti. Konflik dalam taraf Behavior, Condition dan Attitude sudah mulai ada. Namun untuk mengantisipasi berkelanjutannya hal tersebut, pemerintah dan warga desa Sitiarjo sudah mempersiapkan banyak hal antara lain :
a)        Adanya forum pertemuan tokoh muslim di Krajan Tengah[56]
b)        Akomodasi umat Islam didalam pemerintahan dengan adanya kamituwo Islam dan mudin islam
c)        Membentuk forum mitra pemerintahan yaitu forum LKMD guna untuk menangani persoalan-persoalan desa baik berupa penanganan fisik ataupun mental
d)       Para elit tergabung dalam FKUB (Forum Komunitas Umat Beragama) untuk mempererat tali silaturrahmi
e)        Mulai menggalakkan acara yang bersifat lintas agama 
Dengan melakukan hal yang telah disebutkan diatas, pemerintah dan warga desa Sitiarjo berharap agar konflik-konflik yang mulai muncul secara perlahan tidak berlanjut.[57]
Analisa konflik yang terjadi di desa Sitiarjo dapat disimpulkan sebagai berikut:
Aspek Konflik
Uraian
Behavior
Konflik mulai tampak meskipun belum diekspresikan, seperti yang dirasakan oleh Bpk. Tumari bahwasanya beliau menafsirkan toleransi itu terlalu berlebihan sehingga beliau merasa itu sebagai sebuah tuntutan. Selain itu, kejadian serupa juga menimpa Ustadz Deden yang menerima celaan dari umat Kristian karena mendirikan pesantren dan musholla di sebelah rumahnya, tidak hanya itu, warga kristen juga melakukan aksi demonstrasi kepada Ustadz Deden yang lagi-lagi disebabkan oleh berdirinya pesantren dan musholla di sebelah rumahnya
Condition
Pada tahap ini sudah mencapai kondisi konflik yang akan memicu terjadinya konflik. Hal ini dirasakan Pdt. Chrysta, beliau menafsirkan bahwa mulai ada oknum-oknum yang agama yang keras dan dapat mempengaruhi kerukunan di desa Sitiarjo. Dari pihak muslim dapat dirasakan oleh Ustadz Deden, beliau merasakan bahwa Kristen sudah dianggap menjadi musuh yang tidak bisa lagi di ajak untuk saling toleransi
Attitude
Pada tahap ini sikap konflik di Sitiarjo mulai ada, seperti persepsi yang diungkapkan Ustadz Deden, dengan merujuk pada salah satu ayat Al-Qur’an yang dapat dijelaskan bahwasanya orang Kristen tidak akan pernah ridho dengan orang muslim sampai orang muslim tersebut mengikuti agama mereka

















BAB VI
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.      Desa Sitiarjo awalnya hanya dihuni oleh warga Kristen dan bersifat homogen dan sekarang sudah mulai ada pendatang yakni warga muslim yang bertempat tinggal di daerah tersebut, walau awalnya ada penolakan terhadap warga muslim akan tetapi pada akhirnya desa Sitiarjo menjadi desa yang Heterogen dengan  Kristen sebagai agama mayoritas dan Islam sebagai agama minoritas. Walaupun demikian, relasi antar kedua umat beragama di sana terjalin cukup baik bahkan masyarakat saling bahu membahu dan saling tolong menolong tanpa memandang status agama karena mereka beranggapan bahwa perbedaan bukanlah sebuah penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan untuk terus bergerak bersama menggelar kemajuan desa Sitiarjo
2.      Meskipun berasal dari dua agama yang berbeda, akan tetapi mereka berasal dari rumpun yang sama yakni sama-sama orang Jawa, sehingga nilai-nilai toleransi yang menyebabkan kerukunan dapat terbentuk dari sini. Pemerintah juga menanamkan nilai-nilai toleransi dengan beberapa cara, salah satunya yakni mengadakan kegiatan yang dapat diikuti oleh kedua umat beragama tersebut sebagai salah satu sarana untuk mengakrabkan seluruh warga desa Sitiarjo seperti kegiatan bersih desa yang diisi dengan acara do’a bersama untuk desa antar kedua umat tersebut
3.      Desa Sitiarjo yang terbilang sangat rukun tanpa ada sedikit konflik belum bisa dibuktikan karena tidak mungkin tidak ada konflik dalam kehidupan bermasyarakat, meskipun belum ada konflik terbuka namun potensi konflik antar umat beragama sudah mulai nampak, begitu pula kondisi konflik dan sikap konflik juga sudah mulai terlihat. Namun, untuk mengantisipasi berlanjutnya konflik yang terjadi pemerintah dan warga desa Sitiarjo sudah mempersiapkan banyak hal untuk mencegahnya, antara lain :
a.         Adanya forum pertemuan tokoh muslim di Krajan Tengah[58]
b.        Akomodasi umat Islam didalam pemerintahan dengan adanya kamituwo Islam dan mudin Islam
c.         Membentuk forum mitra pemerintahan yaitu forum LKMD guna untuk menangani persoalan-persoalan desa baik berupa penanganan fisik ataupun mental
d.        Para elit tergabung dalam FKUB (Forum Komunitas Umat Beragama) untuk mempererat tali silaturrahmi
e.         Mulai menggalakkan acara yang bersifat lintas agama 

B.     Saran dan Rekomendasi
Setelah mengetahui seluk beluk kerukunan umat beragama di desa Sitiarjo, peneliti menyarankan kepada seluruh warga desa Sitiarjo agar selalu tetap mempertahankan kerukunan umat beragama yang telah tercipta meskipun masih ada konflik yang mewarnai diantara dua umat beragama di desa Sitiarjo. Karena, ada pepatah yang mengatakan bahwa “no world peace, without religious peace”. Nilai yang terkandung dari pepatah tersebut seharusnya ditanamkan lebih dalam agar makna kerukunan yang sebenarnya benar-benar dapat terjalin.



[1] Karen Amstrong, Perang Suci : Kisah Detail perang Salib, Akar Pemicunya, dan Dampaknya Terhadap Zaman Sekarang (Jakarta : Serambi, 2011)
[2] Diktat Pendidikan ASWAJA dan Ke NU-an, madrasah diniyah Shirotul Fuqoha (Malang : tp, tt), hlm. 15

[3] Kidung pasamuan Kristen (Malang: tp, tt), hlm. 319

[4] Wawancara dengan Kepada Desa Sitiarjo, Lispijanato Daud,  tanggal 19 Mei 2014

[5] Imam Suprayogo dan M. Zainudin, Potret Kerukunan Umat Beragama di Malang Selatan, ( Jakarta : Mediacita, 2002)
[6] Peter L. Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan : sebuah risalah tentang sosiologi pengetahuan, (Jakarta : LP3ES, 1990), hlm. xx
[7] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online diakses tanggal 20 Mei 2014

[9] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia . Al Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progessif, 1997), hlm. 12

[10] Keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama dan Konbes NU di Cilacap, (Semarang : AL-ALAWIYAH, 1987), hlm. 60

[11] Ibid., hlm. 61
[12] Ibid., hlm. 63

[13] http://www.bimbingan.org/pengertian-kerukunan-antar-umat-beragama.html
[14] Peter L. Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan : sebuah risalah tentang sosiologi pengetahuan, (Jakarta : LP3ES, 1990), hlm. Xx

[15] Ahmad Gunaryo, konflik dan Pendekatan Terhadapnya, dalam M. Mukhsin Jamil (edt), Mengelola konflik membangun damai: Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, (Semarang: WMC,2007),hlm 31

[17] Johan Galtung, Studi Perdamaian: Perdamaian dan konflik Pembangunan Peradaban, (Surabaya: Pustaka Eurika, 2003), hlm.160

[18] CR. Mitchell, the structure of international conflict, (London: The macmillan press, 1981), hlm.16-17
[19] Ahmad Atho’ Lukman Hakim, Islam vs Barat, (Yogyakarta: Mahameru press, 2010), hlm. 10
[20] Siti Aisyah, Islam dan Penyelesaian Kejahatan Masa Lalu (Yogyakarta : UGM, 2007), hlm. 63
[21] Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif. (Jakarta : Prenada Media Group, 2007), hlm. 68

[22] Asep Hermawan, Penelitian Bisnis - Paradigma Kualitatif. ( Jakarta : PT. Grasindo ), hlm. 17
[23] Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, (Jakarta:Prenada media group, 2008), hlm. 115
[24] www.id.wikipedia.org. diakses pada tanggal 23 Mei 2014

[25] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 46
[26] Profil Desa Sitiarjo Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kab. Malang tahun 2012
[27] Daftar pemeluk agama tahun 2011, KUA Sumbermanjing Wetan
[28] Wawancara elektronik dengan Pdt. Chrysta pada tanggal 31 Mei 2014

[29] Ibid

[30] Ibid

[31] Wawancara elektronik dengan Pdt. Chrysta pada tanggal 31 mei 2014

[32] ibid
[33] Wawancara dengan bapak Woesgyantyo pada tanggal 31 Mei 2014

[34] Ibid

[35] Wawancara dengan Kepala Desa Sitiarjo Bpk Lispijanto Daud pada tanggal 19 Mei 2014

[36] Wawancara dengan Bpk. Abu Amin pada tanggal 31 Mei 2014
[37] Wawancara elektronik dengan Pdt. Chrysta pada tanggal 31 mei 2014

[38] Ibid

[39] ibid
[40] Wawancara elektronik dengan Pdt. Chrysta pada tanggal 31 Mei 2014
[41] Kidung Pasamuan Kristen (KPK) , hlm. 319

[42] Wawancara dengan Pak Lispijanto Daud selaku Kepala Desa Sitiarjo pada tanggal 19 Mei 2014

[43] Wawancara dengan Ustadz Deden Zainal Abidin pada tanggal 26 Mei 2014

[44] Wawancara dengan Syamsiyah selaku warga desa Sitiarjo pada tanggal 26 Mei 2014

[45] Wawancara dengan Pak Lispijanto Daud selaku Kepala Desa Sitiarjo pada tanggal  19 Mei 2014
[46] Wawancara dengan Bapak Tumari pada tanggal 26 Mei 2014
[47] Ibid

[48] Wawancara dengan Bpk Zainuri pada tanggal 19 Mei 2014

[49] Wawancara elektronik dengan Pdt. Chrysta pada tanggal 31 mei 2014

[50] ibid
[51] ibid
[52] Wawancara dengan Bpk tumari pada tanggal 26 Mei 2014
[53] Wawancara dengan ustadz Deden pada tanggal 26 Mei 2014

[54] Wawancara elektronik dengan Pdt. Chrysta pada tanggal 31 mei 2014
[55] Wawancara dengan ustadz Deden pada tanggal 26 Mei 2014

[56] Ibid

[57] ibid
[58] ibid


EmoticonEmoticon