BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqih
merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang
ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah
sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini
dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses
ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun
demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul
Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para
mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan
keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian
masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul
menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha,atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan
penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam
(sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada
Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada
Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang
disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi
oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, istishab, Maslahah
mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan
menguraikan tentang hakikat Istihsan, Istishab, dan maslahah mursalah yang
mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya, kaidah-kaidahnya, dan
contoh-contoh produk hukumnya.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Apa pengertian ijma’ dan ruang lingkupnya ?
2.
Apa pengertian qiyas dan ruang lingkupnya ?
3.
Apa pengertian muslahah dan ruang lingkupnya mursalah ?
4.
Apa pengertian istihsan dan ruang lingkupnya ?
C.
Tujuan Masalah
Adapun
tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui ijma’ dan
ruang lingkupnya
2.
Untuk mengetahui qiyas dan
ruang lingkupnya
3.
Untuk mengetahui maslaahah
mursalah dan ruang lingkupnya
4.
Untuk mengetahui istihsan
dan ruang lingkupnya
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Ijma’
1.
Pengertian Ijma’
Ijma’ dalam
pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap
sesuatu. Pengertian kedua berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama
dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua
lebih dari satu orang. Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua
para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas
hukum syara.
Adapun rukun
ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum
muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’. Kesepakatan itu dapat dikelompokan
menjadi empat hal:
1.
Tidak
cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya
seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih
dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
2.
Adanya
kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan
melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum
syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja,
mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan
khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan
kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
3.
Hendaknya
kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat
yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
4.
Kesepakatan
itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar
mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’
sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka
tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan
mengikat.
Seorang
mujtahid dalam menetapkan ijma’ harus memenuhi beberapa syarat, mujtahid
hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
1.
Memiliki
pengetahuan tentang Al Qur’an, sunnah serta tentang masalah ijma’ sebelumnya.
2.
Memiliki
pengetahuan tentang ushul fikih
3.
Menguasai
ilmu bahasa.
Selain itu,
al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki
pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu
seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi,
seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal:
pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia
harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan
pemahamannya atas maqasid al-Syariah.
Apabila rukun
ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh
permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin
walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui
hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya
dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun
individu.
Selanjutnya
mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi
aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih
lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah
disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’
dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).
B.
Qiyas
1.
Pengertian Qiyas
Qiyas menurut
ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an
dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya
karena adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian
qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena
prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula. Umpamanya hukum
meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya
haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
(Qs.5:90)
Haramnya meminum
khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang
terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman
tersebut adalah haram. Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa
ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini
terbagi menjadi tiga kelompok:
1.
Kelompok
jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak
jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
2.
Mazhab
Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas.
Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui
sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan
suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan
hukum hanya dari teks nash semata.
3.
Kelompok
yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena
persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini
menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
Jumhur ulama
kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber
hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum
dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan
hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas
dan selanjutnya menjadi hukum syar’i. Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan
dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah
yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka
akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat
mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka
(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan
ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan
tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
Dari ayat di
atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil
pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan
sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu
hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal
yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan
qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat di atas
menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan
Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya
menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah
dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang
dinamakan qiyas.
Sementara
diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal,
yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah
Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan
salah satu macam ijtihad.
Sedangkan dalil
yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw
sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang
shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’
menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.
Umpamanya, bahwa
Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya
katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar
maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’
adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan
qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian
(dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
Dalil yang
keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan
hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan
yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun
hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak
terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang
menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang
tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang
kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya
sesuai dengan syariat dan maslahah.
2.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki
rukun yang terdiri dari empat hal:
a.
Asal
(pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis
alaihi
b.
Furu’
(cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula
al-maqîs.
c.
Hukm
al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya.
Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
d.
Illat,
adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun
atasnya.
C.
Maslahah Mursalah
Yang dimaksud
dengan mashlahah mursalah ialah
maslahat yang secara eksplisit tidak ada
satu dalil pun yang
mengakuinya ataupun menolaknya. Maslahat ini merupakan maslahat
yang sejalan dengan
tujuan syara’ yang dapat
dijadikan dasar pijakan
dalam mewujudkan kebaikan yang
dihajatkan oleh manusia
serta terhindar dari
kemudhorotan. Karena tidak
ditemukan variabel yang
menola ataupun mengakuinya maka para ulama berselisih pendapat
mengenai kebolehannya dijadikan
illat hukum. Kalangan Malikiyyah menyebutnya maslahah
mursalah, Al-Ghozali menyebutnya
istishlah, para pakar ushul fiqih menyebutnya al-munasib al-mursal al-mula’im,
sebagian ulama menyebutnya al-istidlal al-mursal, sementara Imam Haromain dan
Ibnu Al-Sam’ani memutlakkannya dengan istidlal saja.
Golongan
yang mengakui kehujjahan
maslahah mursalah dalam
pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan
sejumlah syarat tertentu
yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan
hawa nafsu, tujuan,
dan keinginan yang
merusakkan manusia dan agama. Sehingga
seseorang tidak menjadikan
keinginannya sebagai ilhamnya
dan menjadikan syahwatnya
sebagai syari`atnya. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1.
Maslahah itu
harus hakikat, bukan dugaan,
Ahlul hilli wal aqdi dan mereka
yang mempunyai disiplin ilmu
tertentu memandang bahwa
pembentukan hukum itu harus didasarkan pada
maslahah hakikiyah yang
dapat menarik manfaat
untuk manusia dan dapat menolak bahaya
dari mereka. Maka
maslahah-maslahah yang bersifat
dugaan, sebagaimana yang dipandang
sebagian orang dalam
sebagian syari`at, tidaklah
diperlukan, seperti dalih mashlahah yang
dikatakan dalam soal
larangan bagi suami
untuk menalak isterinya,
dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan.
Sesungguhnya pembentukan hukum semacam
ini menurut pandangan
kami tidak mengandung
terdapat maslahah. Bahkan hal
itu dapat mengakibatkan
rusaknya rumah tangga
dan masyarakat, hubungan suami
dengan isterinya ditegakkan
di atas suatu
dasar paksaan undang-undang,
tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
2.
Maslahah
harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak
khusus untuk beberapa
orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh
tentang maslahah yang
bersifat menyeluruh ini
dengan suatu contoh:
orang kafir telah
membentengi diri dengan
sejumlah orang dari
kaum muslimin. Apabila
kaum muslimin dilarang membunuh
mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka
orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya.
Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang
membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya
ini dari seluruh
orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara
kemaslahatan kaum muslimin
seluruhnya dengan cara
melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
3.
Maslahah itu
harus sejalan dengan
tujuan hukum-hukum yang
dituju oleh syari`.
Maslahah tersebut harus
dari jenis maslahah yang
telah didatangkan oleh Syari`. Seandainya tidak
ada dalil tertentu
yang mengakuinya, maka
maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam.
Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
3.
Ikhtilaf Para Ulama tentang Maslahah Al Mursalah
Masalah al
Mursalah tidak diterima oleh sebagian umat Islam, khususnya mayoritas penganut
mazhab asy-Syafi’iah sebagai dasar penetapan hukum Islam. Dalam hal ini ada
beberapa argumen yang mereka ajukan di antaranya yaitu :
1.
Masalahat
itu ada yang dibenarkan oleh syara’, ada yang ditolak oleh syara’ dan ada pula
yang diperselisihkan. Maslahat kategori pertama dan kategori kedua (yang
dibenarkan dan yang ditolak oleh syara’) tidak ada pertentangan di kalangan
umat Islam. Maslahat kategori pertama harus diterima sebagai dasar penetapan
hukum Islam, dan maslahat kategori kedua harus ditolak sebagai dasar penetapan
hukum Islam. Sedangkan maslahat kategori ketiga diperselisihkan, sebagian
menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan sebagian yang lain
menolaknya. Sesuai dengan definisi di atas, maslahat kategori ketiga inilah
yang menjadi kajian dari maslahah-mursalah atau istislah. Dengan demikian
menurut kelompok umat Islam yang tidak menerima maslahah-mursalah sebagai dasar
penetapan hukum Islam berpendapat, bahwa memandang maslahah-mursalah (kategori
ketiga) sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu
yang meragukan.
2.
Memandang
maslahah-mursalah sebagai hujjah berarti menodai kesucian hukum Islam karena
penetapan hukum Islam tidak berdasarkan kepada nass-nass tertentu, tetapi hanya
mengikuti keinginan hawa nafsu belaka dengan dalih maslahat. Dengan dalih
maslahat dikhawatirkan akan banyak penetapan hukum Islam berdasarkan kepada
kepentingan hawa nafsu.
3.
Bagi
golongan ini, hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Dengan menjadikan
maslahat sebagai dasar dalam menetap hukum Islam, berarti umat Islam tidak
mengakui prinsip kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam. Artinya hukum Islam
belum lengkap dan sempurna, masih ada yang kurang
4.
Memandang
maslahat sebagai hujjah akan membawa dampak terjadinya perbedaan hukum Islam
terhadap masalah yang sama (disparitas) disebabkan perbedaan kondisi dan
situasi. Dengan demikian akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan
fleksibelitas hukum Islam
D.
Istihsan
1.
Pengertian Istihsan
Secara
etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal
istihsan. Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan
oleh Abdul Wahab Khalaf.
هو عدول المجتهد عن قياس
جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى اقله رجع لديه
هذ العدول
“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali
(yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang
kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena
menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang
menghendaki perpindahan tersebut.”
Dari pengertian
tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:
a.
Menguatkan
Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah
bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan,
tetapi haram menurut qiyas. Seperti contoh : Qiyas: wanita yang sedang haid itu
di qiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub
haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid haram membaca Al-Qur’an. Istihsan
: haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu, wanita
yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang
panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki
dapat beribadah setiap saat.
b.
Pengecualian
sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam (pesanan)
berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang jual
beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia
berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.
Definisi
istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang
mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang
diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat
yang menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu. Definisi istihsan menurut
Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah dengan hukum
sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada sebagian
kasus tertentu.
Sementara itu,
ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan bahwa
istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan
qiyas kully. Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan
istinbath hukum oleh dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah.
Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama
masih dipandang tepat.
Dari berbagai
definisi diatas, dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu adalah
keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan
kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum
yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena
berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.
Dengan demikian,
Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan
memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal
yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Artinya, persoalan khusus yang
seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak
memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus
sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.
2.
Dasar Hukum Istihsan
Para ulama yang
mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang
menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan
istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
الذين يستمعون القول
فيتبعون احسنه .اولئك
الذين هدهم الله . واولئك
هم اولو الالبابز
Artinya: “Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah
orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang
mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut
mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti
perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu
yang disyariatkan oleh Allah.
واتبعوا احسن ما انزل
اليكم من ربكم
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan)
yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar
:55)
Menurut mereka,
dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan
perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan
adalah hujjah. Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى
الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا
فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum
muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan
apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk
pula”.
Hadits ini
menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat
mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan
Istihsan. Contoh istihsan macam pertama: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang
mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak
pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini
ditetapkan berdasar istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin
diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang
penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan
kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut
istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada
sewa-menyewa.
Pada
sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik
barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting
pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang
sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf
itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan
tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena
itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini
ada persamaan ‘illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi
qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya
tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi,
yang disebut istihsan.
Contoh lain
adalah mengenai sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung
gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan
istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan
burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah
bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang
buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat
minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan
mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram
dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau
zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa
minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab
diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang
tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas.
Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas
khafi, yang disebut istihsan.
Yang berpegang
dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya
semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah
hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan
berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan
yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum
berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan
karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang
berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan
ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang
istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi’i.
Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan
hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti
ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya,
sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku
Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: “Perumpamaan orang yang
melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke
suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada
dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”
Jika
diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian
istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut
pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i.
Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu
kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i,
istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang
lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian
ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat
dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan:
“orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa
dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang
diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan
sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.
3.
Pembagian Istihsan dan contoh produk hukumnya
Ulama Hanafiah
membagi Istihsan kepada enam macam. Sebagaimana di jelaskan oleh al-Syatibi,
yaitu:
1)
Istihsan
bil an-Nash (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits). Yaitu penyimpangan suatu
ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang
berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan sunnah. Contoh:
dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat itu tidak boleh, karena
sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat ketika orang yang
berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umum ini di
dikecualikan melalui firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa ayat 11 yang artinya:
“setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang”. Contoh istihsan dengan
sunnah Rasulullah adalah dalam kasus
orang yang makan dan minum karena lupa
pada waktu ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini
batal karena telah memasukan sesuatu
kedalam tenggorokannya dan tidak menahan puasanya sampai pada waktu berbuka.
Akan tetapi hukum ini dikecualikan oleh
hadits Nabi Saw yang mengatakan: “Siapa yang makan atau minum karena lupa ia
tidak batal puasanya, karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah
kepadanya” (HR. At.Tirmidzi).
2)
Istihsan
bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma) yaitu meninggalkan keharusan
menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma. Hal ini terjadi karena
ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau
kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak
apa yang dilakukan manusia, yang sebetulnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok
yang telah ditetapkan. misalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah
umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu harus berapa lama seseorang
harus mandi dan berapa liter air yang dipakai. Akan tetapi, apabila hal itu
dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama
sepakat menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa
menentukan jumlah air dan lamanya waktu yang dipakai.
3)
Istihsan
bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi). Yaitu
memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada
ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat
untuk diamalkan. Misalnya, dalam wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas jali,
wakaf ini sama dengan jual beli karena
pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindah tangankan
lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut
atau mengalirkan air ke lahan pertanian
melalui tanah tersebut tidak termasuk ke dalam akad wakaf itu, kecuali jika
dinyatakan dalam akad. Dan menurut qiyas al-khafi wakaf itu sama dengan akad
sewa menyewa, karena maksud dari wakaf itu adalah memanfaatkan lahan pertanian yang diwakafkan. Dengan sifat
ini, maka seluruh hak melewati tanah pertanian itu atau hak mengalirkan air
diatas lahan pertanian tersebut termasuk kedalam akad wakaf, sekalipun tidak
dijelaskan dalam akad.
4)
Istihsan
bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya kebolehan dokter
melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang
dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus
membuka bajunya untuk di diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatanorang
itu, maka menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat
wanita yang berobat kepadanya.
5)
Istihsan
bi al-Urf ( Istihsan berdasarkan adat
kebiasaan yang berlaku umum). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan
ketentuan qiyas, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal
dalam kehidupan masyarakat. Contohnya seperti menyewa wanita untuk menyusukan
bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan pakaiannya.
6)
Istihsan
bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah). Yaitu seorang mujtahid
meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena
berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan
yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudharatan. Misalnya
dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur tersebut
sulit dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena
sumur yang sumbernya dari mata air sulit dikeringkan. Akan tetapi ulama
Hanafiah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini untuk menghilangkan najis
tersebut cukup dengan memasukan beberapa galon air kedalam sumur itu, karena
keadaan dharurat menghendaki agar orangtidak mendapatkan kesulitan untuk
mendapatkan air untuk ibadah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan
semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw
atas hukum syara. Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya
kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu
yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan
dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat
definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya
dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Yang
dimaksud dengan mashlahah mursalah ialah maslahat yang secara
eksplisit tidak ada satu dalil pun
yang mengakuinya ataupun
menolaknya. Maslahat ini merupakan maslahat yang sejalan
dengan tujuan syara’ yang
dapat dijadikan dasar
pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang
dihajatkan oleh manusia
serta terhindar dari
kemudhorotan.
Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari
ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar),
atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i
(pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan)
yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.”
B. Saran
Dari makalah yang kami buat semoga akan menjadikan
manfaat bagi kita semua. Namun, penulis menyadari dari pembuatan makalah ini
banyak sekali kesalahan baik dari tulisan maupun kata-katanya. Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.
EmoticonEmoticon