Empat Tipologi Hubungan Sains dan Agama
Ian G. Barbour
(2002:47) mencoba memetakan hubungan sains dan agama dengan membuka kemungkinan
interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang
hubungan sains dan agama, dia berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang
dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama. Tipologi ini berlaku
pada disiplin-disiplin ilmiah tertentu, salah satunya adalah biologi. Tipologi
ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog,
dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama lain.
Dalam dunia
modern sekarang ini sains merupakan karunia tak tertandingi sepanjang zaman
bagi kehidupan manusia dalam menghadapi segala tuntutan dan perkembangannya.
Dan sudah menjadi kebutuhan manusia yang ingin mencapai kemajuan dan
kesejahteraan hidup, untuk menguasai dan memanfaatkan sains sebagai prasyarat
bagi kelangsungan hidupnya. Namun, apakah kemajuan dan kesejahteraan hidup ini
menjadi tujuan tunggal atas penguasaan dan pemanfaatan sains?.
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagi hasil aplikasi sains tampak jelas memberikan kesenangan bagi
kehidupan lahiriah manusia secara luas. Dan manusia telah mampu mengeksploitasi
kekayaan-kekayaan dunia secara besar-besaran. Yang menjadi permasalahan adalah
pesatnya kemajuan itu sering diikuti dengan merosotnya kehidupan beragama (A.
Sahirul Alim,1999:67).
Sebagai makhluk berakal, tentunya manusia juga
sangat menyadari kebutuhannya untuk memperoleh kepastian, baik ilmiah maupun
ideologi. Melalui sains, manusia berhubungan dengan realitas dalam memahami
keberadaan diri dan lingkungannya. Dan agama menyadarkan manusia akan hubungan
keragaman realitas tersebut, untuk memperoleh derajat kepastian mutlak, yakni
kesadaran kehadiran Tuhan. Keduanya sama-sama penjelajahan realitas. Namun
kualifikasi kebenaran yang bagaimanakah yang diperlukan manusia, sehingga
realitas sains dan agama masih sering dipertentangkan? Untuk menyelesaikan
ketegangan yang terjadi antara sains dan agama dapat ditinjau berbagai macam
varian hubungan yang dapat terjadi antara sains dan agama. Namun, hendaknya
terlebih dahulu dipahami konsep dan paradigma sains menurut para ilmuwan.
Secara terminologi, sains berarti ilmu pengetahuan yang sistematik dan obyektif
serta dapat diteliti kebenarannya ( M. Ridwan, dkk, 1999:577 ).
Sedangkan menurut Achmad Baiquni (1995:58)
mendefinisikan sains sebagai himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang
diperoleh sebagai konsensus para pakar pada penyimpulan secara rasional
mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data-data pengukuran yang
diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam.
Melalui proses pengkajian yang dapat diterima
oleh akal, sains disusun atas dasar intizhar pada gejala-gejala alamiah yang
dapat diperiksa berulang-ulang atau dapat diteliti ulang oleh orang lain dalam
eksperimen laboratorium. Kata intizhar (nazhara) dapat berarti mengumpulkan
pengetahuan melalui pengamatan atau observasi dan pengukuran atau pengumpulan
data pada alam sekitar kita, baik yang hidup maupun yang tak bernyawa. (Abuddin
Nata, 1993:100).
Dalam mencermati konsep sains, Bruno Guiderdoni
(2004:41) mengemukakan pendapat yang disertai pula penalaran terhadap konsep
agama. Dia membedakan istilah sains dan agama dalam banyak definisi.
1. Bahwa sains menjawab pertanyaan “bagaimana”,
sedangkan agama menjawab pertanyaan “mengapa”.
2. Sains berurusan dengan fakta, sedangkan
agama berurusan dengan nilai atau makna.
3. Sains mendekati realitas secara analisis,
sedangkan agama secara sintesis.
4. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami
alam semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak
membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan agama adalah pesan yang
diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan manusia
untuk menghadap Tuhan.
Sebagai penguasa yang memiliki rasa tanggung
jawab, manusia ditunjuk oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di bumi yang
tidak lain adalah untuk memelihara dan mengelolanya.
Untuk memperoleh kemampuan itu, manusia harus
mengenal alam lingkungannya dengan baik melalui pengamatan terhadap alam
sekitar dan mengkaji gejala- gejala yang tampak pada pengamatan itu. Dengan
metode yang sudah ditetapkan, sains mengupayakan pemahaman rasional atas alam
fisik hingga melahirkan keyakinan dan mengikis keraguan. Metodologi yang
diturunkan dari seperangkat aturan dan kriteria yang koheren ini sekarang
benar-benar dapat diinterpretasikan atas dasar fakta-fakta yang dapat
diverifikasi oleh siapapun. (Pervez Hoodbhoy, 1993:3).
Sementara itu dalam perjalanan sejarah sains
sering dipandang sebagai satu-satunya bentuk pengetahuan yang obyektif, karena
dapat diakses dan dibuktikan kebenarannya oleh banyak orang. Karakternya yang
sekuler, sering mengakibatkan terjadinya benturan dengan nilai-nilai agama.
Seperti yang berkembang pada abad lalu, para saintis Barat menganggap bahwa
agama lahir dari keyakinan terhadap unsur-unsur yang menyertainya. Sedangkan
sains dianggap pasti berdasarkan akal, sebab fakta-faktanya dapat dibuktikan
dan diakui kebenarannya. Mereka berfikir bahwa nalar memiliki fondasi
tersendiri tanpa harus merujuk kepada realitas transenden. Sejak saat itu,
dunia sains di Barat terbangun dengan sikap menyingkirkan agama dari kontek
pencarian pengetahuan. (Bruno Guiderdoni,2004:43). Paham sekularitas sains
inilah yang kerap menimbulkan kontroversi dalam hubungannya dengan agama.
Oleh karena itu, Ian G. Barbour (2002:47)
mencoba memetakan hubungan sains dan agama dengan memebuka kemungkinan
interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang
hubungan sains dan agama, dia berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang
dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama. Tipologi ini berlaku
pada disiplin-disiplin ilmiah tertentu, salah satunya adalah biologi. Tipologi
ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog,
dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama lain.
1.Konflik
Pandangan konflik ini mengemuka pada abad
ke–19, dengan tokoh-tokohnya seperti: Richard Dawkins, Francis Crick, Steven
Pinker, serta Stephen Hawking. Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam
dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan
pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara
keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang
bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya.
Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing.
Pertentangan antara kaum agamawan dan ilmuwan
di Eropa ini disebabkan oleh sikap radikal kaum agamawan Kristen yang hanya
mengakui kebenaran dan kesucian Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru,
sehingga siapa saja yang mengingkarinya dianggap kafir dan berhak mendapatkan
hukuman. Di lain pihak, para ilmuwan mengadakan penyelidikan-penyelidikan
ilmiah yang hasilnya bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh pihak
gereja (kaum agamawan). Akibatnya, tidak sedikit ilmuwan yang menjadi korban
dari hasil penemuan oleh penindasan dan kekejaman dari pihak gereja. (M.
Quraish Sihab,1994:53).
Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah
hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo Galilei atas aspek
pemikirannya yang dianggap menentang gereja. Demikian pula penolakan gereja
Katolik terhadap teori evolusi Darwin pada abad ke-19.
Armahedi Mahzar (2004:212) berpendapat tentang
hal ini, bahwa penolakan fundamentalisme religius secar dogmatis ini mempunyai
perlawanan yang sama dogmatisnya di beberapa kalangan ilmuwan yang menganut
kebenaran mutlak obyektivisme sains.
Identifikasinya adalah bahwa yang riil yaitu
dapat diukur dan dirumuskan dengan hubunagn matematis. Mereka juga berasumsi
bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat
dipercaya dan dipaham. Pada akhirnya, penganut paham ini cenderung memaksakan
otoritas sains ke bidang-bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi kalangan
saintis barat dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah. Keyakinan
terhadap agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik yang dapat
diuji dengan percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains. Agama tidak lebih
dari cerita-cerita mitologi dan legenda sehingga ada kaitannya sama sekali
dengan sains.
Barbour menanggapi hal ini dengan argumen bahwa
mereka keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan memilih antara
sains dan agama. Kepercayaan agama menawarkan kerangka makna yang lebih luas
dalam kehidupan. Sedangkan sains tidak dapat mengungkap rentang yang luas dari
pengalaman manusia atau mengartikulasikan kemungkinan-kemungkinan bagi
tranformasi hidup manusia sebagaimana yang dipersaksikan oleh agama. (Ian G.
Barbour, 2005:224).
Jelaslah bahwa pertentangan yang terjadi di
dunia Barat sejak abad lalu sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang yang
keliru terhadap hakikat sains dan agama. Adalah tugas manusia untuk merubah
argumentasi mereka, selama ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka
kembangkan itu bertentangan dengan agama. Sains dan agama mempengaruhi manusia
dengan kemuliaan Sang Pencipta dan mempengaruhi perhatian manusia secara
langsung pada kemegahan alam fisik ciptaan-Nya. Keduanya tidak saling bertolak
belakang, karena keduanya merupakan ungkapan kebenaran.
2.Independensi
Tidak semua saintis memilih sikap konflik dalam
menghadapi sains dan agama. Ada sebagian yang menganut independensi, dengan
memisahkan sains dan agama dalam dua wilayah yang berbeda. Masing-masing
mengakui keabsahan eksisitensi atas yang lain antara sains dan agama. Baik
agama maupun sains dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah
satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan dengan damai (Armahedi Mahzar,
2004:212). Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang dikaji, domain
yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka berpandangan bahwa sains
berhubungan dengan fakta, dan agama mencakup nilai-nilai. Dua domain yang
terpisah ini kemudian ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi
masing-masing.
Analisis bahasa menekankan bahwa bahasa ilmiah
berfungsi untuk melalukan prediksi dan kontrol. Sains hanya mengeksplorasi
masalah terbatas pada fenemona alam, tidak untuk melaksanakan fungsi selain
itu. Sedangkan bahasa agama berfungsi memberikan seperangkat pedoman,
menawarkan jalan hidup dan mengarahkan pengalaman religius personal dengan
praktek ritual dan tradisi keagamaan. Bagi kaum agamawan yang menganut
pandangan independensi ini, menganggap bahwa Tuhanlah yang merupakan
sumber-sumber nilai, baik alam nyata maupun gaib. Hanya agama yang dapat
mengetahuinya melalui keimanan. Sedangkan sains hanya berhubungan dengan alam
nyata saja. Walaupun interpretasi ini sedikit berbeda dengan kaum ilmuwan, akan
tetapi pandangan independensi ini tetap menjamin kedamaian antara sains dan
agama.
Contoh-contoh saintis yang menganut pandangan
ini di antaranya adalah seorang Biolog Stephen Joy Gould, Karl Bath, dan
Langdon Gilkey. Karl Bath menyatakan beberapa hal tentang pandangan
independensi ini, yang dikutip oleh Ian G. Barbour (2002:66). Menurutnya: Tuhan
adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak dapat diketahui
kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya bergantung pada
kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya sains. Saintis
bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur teologi., demikian
pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya berbeda. Sains
dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia sedangkan teologi berdasarkan
wahyu Ilahi.
Barbour mencermati bahwa pandangan ini
sama-sama mempertahankan karakter unik dari sains dan agama. Namun demikian,
manusia tidak boleh merasa puas dengan pandangan bahwa sains dan agama sebagai
dua domain yang tidak koheren.
Bila manusia menghayati kehidupan sebagai satu
kesatuan yang utuh dari berbagai aspeknya yang berbeda, dan meskipun dari
aspek-aspek itu terbentuk berbagai disiplin yang berbeda pula, tentunya manusia
harus berusaha menginterpretasikan ragam hal itu dalam pandangan yang lebih
dialektis dan komplementer.
3.Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains
dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik
dan independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang
bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Dialog yang
dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah menekankan kemiripan dalam
prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah dengan
membandingkan metode sanins dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan
perbedaan.
Ian G. Barbour (2005:32) memberikan contoh
masalah yang didialogkan ini dengan digunakannya model-model konseptual dan
analogi-analogi ketika menjelaskan hal-hal yang tidak bisa diamati secara
langsung. Dialog juga bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang ilmu pengetahuan yang mencapai tapal batas. Seperti: mengapa alam
semesta ini ada dalam keteraturan yang dapat dimengerti? dan sebagainya.
Ilmuwan dan teolog dapat menjadi mitra dialog dalam menjelaskan fenomena
tersebut dengan tetap menghormati integritas masing-masing.
Dalam menghubungkan agama dan sains, pandangan
ini dapat diwakili oleh pendapat Albert Einstein, yang mengatakan bahwa
“Religion without science is blind : science without religion is lame“. Tanpa
sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains menjadi lumpuh. Demikian pula
pendapat David Tracy, seorang teolog Katolik yang menyatakan adanya dimensi
religius dalam sains bahwa intelijibilitas dunia memerlukan landasan rasional
tertinggi yang bersumber dalam teks-teks keagamaan klasik dan struktur
pengalaman manusiawi (Ian G. Barbour, 2002:76).
Penganut pandangan dialog ini berpendapat bahwa
sains dan agama tidaklah sesubyektif yang dikira. Antara sains dan agama
memiliki kesejajaran karakteristik yaitu koherensi, kekomprehensifan dan
kemanfaatan. Begitu juga kesejajaran metodologis yang banyak diangkat oleh
beberapa penulis termasuk penggunaan kriteria konsistensi dan kongruensi dengan
pengalaman. Seperti pendapat filosof Holmes Rolston yang menyatakan bahwa
keyakinan dan keagamaan menafsirkan dan menyatakan pengalaman, sebagaimana
teori ilmiah menafsirkan dan mengaitkan data percobaan (Ian G. Barbour,
2002:80). Beberapa penulis juga melakukan eksplorasi terhadap kesejajaran
konseptual antara sains dan agama, disamping kesejajaran metodologis.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kesejajaran konseptual maupun metodologis menawarkan kemungkinan interaksi
antara sains dan agama secara dialogis dengan tetap mempertahankan integritas
masing-masing.
4.Integrasi
Armahedi Mahzar (2004 : 213) mencermati
pandangan ini, bahwa dalam hubungan integratif memberikan wawasan yang lebih
besar mencakup sains dan agama sehingga dapat bekerja sama secara aktif. Bahkan
sains dapat meningkatkan Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih
bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu diantara sains
dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan
menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia
yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan
bagi manusia yang beriman.
keyakinan umat beragama dengan memberi bukti
ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis. Sebagai contohnya adalah Maurice
Bucaille yang melukiskan tentang kesejajaran deskripsi ilmiah modern tentang
alam dengan deskripsi Al Qur’an tentang hal yang sama. Kesejajaran inilah yang
dianggap memberikan dukungan obyektif ilmiah pada pengalaman subyektif
keagamaan. Pengakuan keabsahan klaim sains maupun agama ini atas dasar kesamaan
keduanya dalam memberikan pengetahuan atau deskripsi tentang alam.
Pemahaman yang diperoleh melalui sains sebagai
salah satu sumber pengetahuan, menyatakan keharmonisan koordinasi penciptaan
sebagai desain cerdas Ilahi. Seperti halnya ketika memperhatikan bagian-bagian
tubuh manusia dengan strukturnya yang tersusun secara kompleks dan
terkoordinasi untuk tujuan tertentu. Meskipun Darwin melawan pandangan itu
dalam teori evolusi yang mengangggap bahwa koordinasi dan detail-detail struktur
organisme itu terbentuk karena seleksi alam dan variasi acak dalam proses
adaptasi, namun dia sendiri mengakui argumen desain Ilahi, akan tetapi dalam
anggapan sebagai penentu dari hukum-hukum proses evolusi itu yang membuka
kemungkinan variasi detail organisme tersebut, bukan dalam anggapan Tuhan
sebagai perancang sentral desain organisme.
Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam
hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama, berangkat dari data ilmiah yang
menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan
dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah
ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau
dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan
ulang sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan
ditafsirkan dengan filasafat proses dalam kerangka konseptual yang sama.
Demikian Barbour menjelaskan tentang hubungan integrasi ini ( Ian G. Barbour,
2002 : 42 )
Meskipun pengamatan ini terjadi di kalangan
saintis Eropa yang dibatasi pada teologi Kristen, tidak ada salahnya jika umat
Islam menyimak proses yang sama di kalangan Islam sebagaimana Bruno Guidedoni
(2004 : 42) mentransformasikan paham integritasnya dalam sains dan Islam. Dia
memandang pengetahuan itu dapat disatukan. Ajaran utama Islam menggariskan
bahwa semua jenis pendekatan terhadap realitas pada akhirnya dapat dipersatukan
dan makna finalnya diperoleh dalam perenungan terhadap wajah Tuhan di akhirat.
Para saintis tidak dapat mendefinisikan
kebenaran pengetahuannya secara pasti, walaupun dengan memberikan
kriteria-kriteria tertentu untuk membantu perkembangan pengetahuannya. Adalah
sebuah kepastian bahwa sains tidak dapat menjelajahi seluruh realitas karena
sifatnya yang relatif, membuat pencarian pengetahuan tak akan ada habisnya dan
fenomena baru akan muncul terus-menerus. Akhirnya mayoritas manusia akan lebih
disibukkan dengan pengetahuan-pengetahuan tentang dunia daripada kontemplasi
tentang Pencipta.
Dalam meninjau hubungan sains dan agama,
Penulis akan menunjukkan pandangan keempat tipe hubungan sains dan Islam
terhadap satu tema penting seputar penciptaan alam semesta menurut tesis
Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi.
Sebagian besar astronom abad ke-18 hingga abad
ke-19 beranggapan bahwa alam semesta berukuran relatif kecil dengan usia yang
masih muda, kemudian bermunculan teori-teori spekulatif yang memprakirakan alam
semesta yang lebih luas dan lebih tua, hingga pada gilirannya muncul
teori-teori baru kosmologi yang melahirkan isu-isu mendatar berkaitan dengan
agama.
Pandangan Konflik dihadirkan oleh kalangan
Atheis yang mengatakan bahwa keseimbangan gaya pada alam semesta yang
menghasilkan kondisi yang kondusif bagi munculnya kehidupan dan kecerdasan
adalah kebetulan semata.
Manusia secara kebetulan berada di dalam sebuah
alam semesta yang memungkinkan hadirnya kehidupan dan kecerdasan. Demikian pula
pendapat meterialis ilmiah, bahwa kosmologi mengarahkan manusia kepada faktor
kebetulan atau keniscayaan, bukan mengarahkan manusia kepada desain atau
tujuan. Sedangkan kalangan Teolog mengklaim adanya keharmonisan antara proses
kosmik dengan Kitab Kejadian. Sejarah kosmik yang menghasilkan pesona yang
cerdas ditafsirkan sebagai ekspresi dari tujuan Tuhan dan sebagai manifestasi
sifat Tuhan yang cerdas dan personal.
Masih dalam permasalahan yang sama, pendukung
Independensi mengkalim bahwa makna religius dari penciptaan dan fungsi
penciptaan tidak ada kaitannya dengan teori ilmiah tentang proses fisika
kosmologi yang terjadi pada masa lalu.
Gagasan tentang penciptaan yang dikemukakan
adalah bahwa dunia tidak pula menjadi bagian dari Tuhan, atau berbeda dengan
Tuhan. Sejumlah Teolog berbagi pandangan bahwa kitab suci membawa gagasan yang
dapat diterima, tidak tergantung pada kosmologi apapun. Sains dan agama
melayani fungsi yang berbeda dalam kehidupan manusia. Tujuan sains adalah
memahami hubungan sebab-akibat diantara fenomena-fenomena alam, sedangkan
tujuan agama adalah mengikuti suatu jalan hidup di dalam kerangka makna yang
lebih besar. Pemisahan tersebut menutup kemungkinan adanya hubungan positif dan
koheren antara sains dan agama.
Pendukung tesis Dialog mengatakan bahwa sains
memiliki perkiraan dan pertanyaan-pertanyaan batas yang tidak dapat dijawab
sendiri oleh sains. Tampaknya, refleksi atas kosmologi memunculkan
pertanyaan-pertanyaan batas. Maka untuk menemukan jawaban atas pertanyaan sains
itu, mereka menggunakan tradisi keagamaan dengan doktrin biblikal tentang
penciptaan yang memberikan konstribusi penting terhadap kemajuan sains tanpa
merusak integritas sains itu sendiri. Pendukung tesis integrasi merespon
masalah kosmologi ini dengan korelasi yang lebih dekat antara kepercayaan keagamaan
dengan teori ilmiah daripada yang dilakukan oleh pendukung tesis Dialog.
Gagasan mereka adalah bahwa Tuhan benar-benar
mengontrol semua peristiwa penciptaan yang tampak oleh manusia sebagai
kebetulan. Manusia dapat melihat desain proses keseluruhan di dalam kehidupan
yang terjadi dengan kombinasi dan ciri proses tertentu. Keindahan bumi yang
luar biasa mengekspresikan rasa syukur atau berkah kehidupan serta bentangan
ruang dan waktu kosmos yng tak terbayangkan, memperlihatkan kerja Sang Pencipta
yang diidentifikasi bertujuan sebagai tatanan pemikiran bagi manusia bahwa
segala sesuatu terjadi menurut perencanaan yang sangat terperinci dan dalam
kontrol total Tuhan (Ian G. Barbour, 2002 : 101 ).
Setelah meninjau pandangan keempat tipe
hubungan sains dan agama dalam merespon masalah penciptaan, penulis lebih
mendukung dan mengakomodasi pendekatan integrasi dalam menghubungkan sains dan
Islam, karena dalam hubungan integrasi ini keanekaragaman realitas yang relatif
sepadu dengan Kesatuan Realitas yang Mutlak. Di mana realitas sains memiliki
konvergensi dengan realitas yang diungkapkan Al-Qur’an mengenai fenomena alam
dan manusia. Tanpa integritas keduanya, manusia akan terus menghadapi
problematika modernitas.
EmoticonEmoticon