logo blog

Thursday, August 10, 2017

TUGAS REVIEW BUKU AGAMA DAN KEKERASAN DALAM TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA


I.              PENDAHULUAN
Dalam kondisi politik dan ekonomi yang tidak menentu, agama seringkali gagal memenuhi keinginan pemeluknya sebagai harapan yang memberikan kedamaian dan selalu mengutuk bentuk-bentuk kekerasan. Runtuhnya ideologi besar dunia,kapitalisme dan komunisme, karena tidak mampu memenuhi janji-janjinya telah membuat masyarakat dunia menoleh dan menaruh harapan pada agama sebagai penggantinya. Agama sebagai ajaran atau doktrin tidak diragukan telah mengajarkan kebaikan. Ia memberikan efek motivasi kepada pemeluknya untuk berperilaku sesuai dengan cita-cita kepercayaan tentang ketundukan dan kebaikan.  Agama menjadi sistem kepercayaan yang mengjarkan cinta kasih, menjunjung kedamaian, dan menghargai perbedaan.
Semua agama menolak kekerasan sebagai prinsip dalam melakukan suatu tindakan. Pada dasarnya kekerasan adalah prinsip yang bersifat amoral karena kekerasan selalu mengandalkan pemaksaan kehendak terhadap pihak lain yang berarti pelanggaran terhadap asas kebebasan dalam interaksi sosial. Karena itu setiap tindakan kekerasan yang mengtasnamankan agama merupakan suatu sikap oxymoron.(ungkapan yang ambigu dan kontradiktif dalam dirinya).
Namun terlepas dari uraian di atas, agama disisi lain menyiratkan pengendapan-pengendapan kekerasan yang sublimasi sehingga memunculkan keraguan terhadap kekuatan peran agama dalam menciptakan suatu tatanan sosial yang tanpa kekerasan. Kekerasan dan agama sepintas merupakan dua pengertian yang sangat berbeda dan bertentangan. Agama dilihat sebagai seperangkat norma dan aturan yang selalu mendorong para pemeluknya untuk mengamalkan kasih dan menyebarkan perdamaian. Sementara kekerasan adalah wilayah lain yang tidak mungkin disandingkan dengan misi perdamaian yang diemban agama.
           

II.           MEMAHAMI SUBLIMASI KEKERASAN DALAM TEKS KEAGAMAAN
Agama dilihat sebagai sistem kepercayaan yang mencerminkan kekuatan moral baik secara individual maupun sosial. Dalam memberikan dorongan moral kepada individu, agama selalu mengajak pemeluknya untuk berbuat baik, menjauhkan diri dari kejahatan dan hawa nafsu, mengejar keselamatan dan ketenteraman di dunia maupun di akhirat. Sedangkan secara sosial, agama sebagai cermin bagi terjadinya distorsi akhlak dan Budi pekerti dalam masyarakat. Korupsi, penindasan, kemaksiatan, dan tindakan tindakan amoral lainnya yang berimplikasi sosial dianggap abnormal dan sangat bertentangan dengan nilai nilai dan cita cita agama yang menjunjung tinggi  keluhuran moral. Demikian halnya dengan kekerasan, mustahil agama mendorong para memeluknya untuk bertindak dengan cara cara kekerasan dan represif yang secara sosial dapat mengancam atau bahkan menyerang orang lain. Karena hal itu tidak sesuai dengan karakter dan fitrah agama.
Namun yang menjadi persoalan ketika di sisi lain agama diakui memiliki simbol simbol kekerasan yang terakomodasi dan secara konstitutif tertera dalam ajaran ajaran keagamaan. Ajaran agama secara implisit sering kali menyebutkan rangkaian kekerasan dalam tentang waktu tertentu. Dalam islam dikenal istilah jihad, kristen mengenal penyaliban yesus, bahkan istilah kurban dikenal hampir seluruh agama.
A.        Beberapa simbol kekerasan dalam teks agama
1.    Jihad (perang)
Kebanyakan umat islam memahami jihad dalam arti terlibat dalam sebuah peperangan. Dengan kata lain, jihad bukanlah senjata yang diayunkan melawan orang dan pihak lain yang di klaim sebagai musuh Tuhan melainkan sebagai usaha bersama melawan kecenderungan -kecenderungan ruang jahat seseorang seperti nafsu, kebodohan, dan kedzaliman. Dengan demikian jihad merupakan perjuangan abadi melawan nafsu pribadi dan kemampuan untuk bertahan menghadapi kesulitan kesulitan hidup. Dalam konteks kekinian jihad tidak harus merupakan perang total melawan orang orang-orang kafir.
2.    Kurban
Menurut Juergensmeyer, ritual korban menempati posisi dominan dala.  Perilaku keagamaan yang berimplikasi kekerasan. Seorang pemeluk agama akan dengan mudah melakukan tindak kekerasan ketika diniati keinginan berkorban. Dalam ajaran agama korban seting dipahami sebagai suatu kewajiban agama yang tidak boleh ditinggalkan. Dengam demikian melakukan ritual korban sama halnya dengan pelaksanaan amal kebajikan yang diperintahkan Tuhan seperti terdapat dalam kitab suci.
Melihat persoalan di atas, Rene Girard berpandangan bahwa ritual korban mengasumsikan dua aspek. Pertama, sebagai satu bentuk perintah (ajaran suci) yang bersumber dari agama.Kedua, sebagai satu tindakan kriminal. Memaknai korban tidak harus dengan darah. Berkorban bukan berarti membunuh manusia tapi melepaskan (kebatilan dan kejahatan) dan memberi (kebaikan dan kesempurnaan).
3.    Penyaliban Yesus
Bagi umat kristiani, salib Yesus adalah Puncak pembelaan setiap insan yang dibelenggu penderitaan. Yesus hadir dalam masa ketika terjadi pergolakan dan perubahan besar dalam bidang ekonomi, sosial, dan keagamaan, masa persaingan antara berbagai aliran keagamaan dan masa yang rawan kerusuhan. Dalam situasi masyarakat yang seperti itu, Yesus secara kritis menyoroti keberuntungan kelompok elite religus dan politik yang bersebarangan dengan realitas kemiskinan rakyat. Kematian Yesus pada salib adakah hasil dari skandal politik. Namun begitu, dalam semangat iman Kristian kematian Yesus tidak hanya dipahami sebagai korban suatu revolusi politik dengan hasrat kematian yang konyol melainkan Yesus gugur dalam situasi keberdosaan umat manusia. Yesus mati karena berjuang untuk pembebesan, memerangi akar dari tatanan yang tidak adil.
B.        Pemahaman Pemeluk Agama terhadap Simbol Kekerasan dalam Teks Agama
Kitab suci yang diturunkan kepada umat manusia merupakan tanda kebesaran dan kemaha-kuasaan Ilahi. Sedangkan teks-teks di dalam nya merupakan himpunan tanda yang memiliki daya tarik untuk ditafsirkan. Teks kitab suci telah memainkan peran yang sangat besar bagi terjalinnya komunikasi antara Tuhan dengan manusia dan antara sesama manusia sendiri.
Menurut Arthur J. D'Adamo sebagaimana dikutip Budhy Munawar Rahman ada empat cara pandang agama yang dalam perspektif modern dinilai sebagai indikasi terjadinya krisis epistemologi agama. Pertama, bahwa teks keagamaan sebagai axiomatictruth (yang sudah jelas kebenarannya) yang bersifat konsisten. Kedua, bersifat lengkap dan final sehingga tidak memungkinkan adanya kebenaran yang berada di agama lain. Ketiga, sebagai satu-satunya Sumber tempat manusia memperoleh makna keselamatan, pencerahan,dan pembebasannya. Empat, diwahyukan langsung oleh Tuhan sehingga dijamin kebenarannya.
1.    Pemahaman Skripturalis
Akar krisis epistemologi seperti dikatakan D'Adamo di atas, jika diekstremkan justru bisa menimbulkan "religiusitas berisiko" yang tidak saja menjadi kendala internal suatu agama bahkan juga membahayakan hubungan antar agama. Dalam implementasi faktualnya, fenomena menguatnya kalangan fundamentalis dan aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan aga merupakan contoh nyata urain ini. Konsekuensi dan keberagaman dan pola pikir deduktif-tekstualistik-skripturalistik adalah berkurangnya kepekaan dan ketajaman dalm mencermati fenomena alam, budaya, dan sosial kemasyrakatan yang selalu berubah dan bergerak cepat sehingga memberikan dampak langsung pada isu-isu keagamaan serta format pengalaman beragama di era global ini.
Praktik kekerasan dengan slogam agama merupakan aksi-aksi penguasaan simbolis yang memiliki akibat diluar kepuasan personal. Tindakan kekerasan yang mereka lakukan atas nama hukum moral merupakan salah satu bentuk pernyataan politik. Aksi-aksi semacam ini mampu meruntuhkan monopoli Negara atas sanksi moral bagi suatu tindakan kriminal kelas berat.
2.    Pemahaman Kontekstual
Pemahaman kontekstual berpijak dari suatu anggapan bahwa kebudayaan dan peradaban sebagai suatu sistem nilai dan sistem kognitif(universum symbolicum)  yang memiliki world view nya sendiri, tidak akan pernah selasai dan sempurna. Semakin tinggi sebuah agama, semakin matang sebuah peradaban dan kebudayaan, ia semakin melengkapi dirinya dengan unsur-unsur yang dinamis, dekonstruktif, dan transfiguratif.
Agama tidak berhenti dalam pemahaman dirinya(subjektif), tapi selalu didialogkan dengan keberagaman orang lain(intersubjektif). Dari sini dimungkinkan terbukanya dialog-dialog yang lebih demokratis dengan semangat mengabdi pada kemanusiaan. Dalam konteks demikian lalu diciptakan ruang kebebasan bagi semua pemeluk agama untuk mengekspresikan tuntutan spiritualtasnya. Yaitu dengan cara merubah pola-pola keberagaman yang rigit dan eksklusif dengan menggagas dan mengembangkan paham-paham keagamaan yang interpretatif (terbuka dan inklusif).
C.        Konflik dan Kekerasan dalam Agama
Selama beberapa dekade ini sudah sekian konferensi dunia digelar mengenai agama dan perdamaian(World Conference on Relegion and Peace) yang diharapkan mampu membangun iman agama-agama yang dapat menyejukkan dan mengedapkan dunia dari semakin menguatnya eskalsi kekerasan global.
Penyelenggaraan konferensi agama dan perdamaian diatas sebagai artikulasi atas kenginan untuk mewujudkan dunia yang penuh persaudaraan dan perdamaian sekaligus sebagai antisipasi atas semakin meluasnya gejala kekerasan yang merupakan salah satu tantangan bagi agama-agama dunia dan harus dipikirkan secara serius.
1.    Kekerasan Agama
Hampir tidak didapatkan suatu asumsi yang membenarkan adanya kekerasan yang bersifat keagamaan. Contoh yang biasa diutarakan untuk mendeskripsikan kekerasan agama srmisal perang salib, ditampik sebagai kekerasan yang bertolak dari persoalan agama. Agama dan kekerasan adalah dua persoalan yang saling menegasikan dan tidak mungkin dapat disatukan dalam bentuk pemahaman yang utuh. Agama menolak kekerasan sebagai prinsip dalam melakukan suatu tindakan. Kekerasan lebih bersifat represif yang di dalamnya mengandung unsur amoral karena selalu mengandalkan pemaksaan kehendak terhadap orang lain, yang berarti hal ini juga sebagai pelanggaran atas asas kebebasan dalam interaksi sosial.
Dengan demikian kekerasan merupakan tindakan yang tidak manusiawi, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang bebas secara moral. Moralitas agama adalah kesadaran, kebenaran, dan kesalihan yang selalu mendorong pemeluknya untuk saling akrab satu sama lain. Agama selalu mempertimbangkan makna hidup, kebenaran, dan tujuan yang luhur.
2.    Faktor Terjadinya Konflik dan Kekerasan Agama
Pertama, kandungan komunal, yaitu yang dimaksudkan pada kelompok-kelompok identitas tertentu seperti ras, agama, etnis, dan budaya. Yang menjadi lebih inti masalah dalam persoalan komunal itu adalah adanya disartikulasi antara kepentingan identitas dengan kepentingan Negara.
Kedua, bahwa Sumber utama munculnya konflik yang berlarut-larut itu adalah perampasan kebutuhan manusia yang kemudian diartikulasikan secara kolektif. Sementara kegagalan Negara dalam masalah ini semakin memperumit kondisi konflik.
Ketiga, dominannya peran Negara sebagai faktor kritis yang tidak mampu memuaskan keinginan dasar individu dan kelompok identitas. Karena itu kebanyakan Negara yang mengalami konflik sosial yang berkepanjangan dicirikan dengan pemerintahan yang tidak mampu, picik, rapuh, dan otoriter yang gagal memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Azar mencatat bahwa konflik cenderung terkonsentrasi di negara-negara berkembang(Dunia Ketiga) yang secara tipikal dicirikan dengan pertumbuhan penduduk yang cepat dan sumber-sumber pokok yang terbatas.
3.    Legitimasi Agama dalam Kekerasan
Dalam batasan tertentu penggunaan kekerasan sebetulnya dapat dibenarkan, artinya suatu tindakan kekerasan merupakan sesuatu yang absah ketika dipraktikkan dalam kondisi-kondisi tertentu. Perbedaan antara boleh dan tidak,benar dan salah,atau absah dan tidak absahnya menggunakan kekerasan sesungguhnya adalah persoalan aplikasi moral yang sebetulnya sangat rumit. Agama sendiri pasa dasarnya tidak cukup mengambil dalih-dalih teks dari tradisi atau kitab suci untuk memberikan legitimasi etiko-relligius pada penggunaan kekerasan.
4.    Supremasi Simbol Keagamaan dalam Kekerasan
Dalam melakukan komunikasi setiap harinya manusia selalu menggunakan sistem simbol. Banyak sekali gagasan, ide, dan perasaan manusia yang dapat terucapkan hanya melalui ungkapan-ungkapan simbolik. Karena itu manusia kemudian diberi julukan homo symbolicum. Tuhan pun menggunakan simbol-simbol saat menyapa umat-Nya. Sehingga dalam realitas sosialnya setiap agama selalu identik dengan logo dan simbol yang khas. Simbol-simbol keagamaan merupakan media komunikasi antara gagasan Tuhan dengan respon manusia baik secara emosional, fisikal, maupun intelektual. Pehamaman terhadap simbol keagamaan yang semula murni sebagai pengabdian vertikkal, pada urutannya bisa saja berubah menjadi konflik dan kekerasan sosial ketika pemahaman dan pemaknaannya masuk ke wilayah politik keagaaman dimana salah satunya ditandai dengan menguatnya persaingan klaim dan monopoli kebenaran serta kekuasaan.
III.        AGAMA DAN TRANSISI DEMOKRASI
Peran dan fungsi agama dalam penegakan suatu konsep demokrasi, hingga saat ini sudah banyak terbukti di beberapa wilayah Negara. Dalam perjalanan sejarah modern, agama memainkan peranan yang cukup besar dalam pembentukan perilaku politik bangsanya. Sejak awal sejarah kebangkitan gerakan kebangsaan unruk mencari identitas diri sebagai sebuah bangsa yang kemudian mengupayakan kemerdekaannya, agama dengan gerakan-gerakannya turut memberikan warna kepada perkembangan politik suatu bangsa.,bahkan terkadang menjadi protagonis utama dalam suatu sengketa politik yang mendasar.
A.    Agama dan Konvergensi Demokrasi
Secara empiris, agama dan demokrasi adalah dua hal yang sangat berbeda, agama merupakan konsep-konsep kehidupan yamg berasal dari kekuatan transenden yang termuat dalam Wahyu sementara demokrasi merupakan racikan pergumulan pemikiran manusia. Agama memiliki nilai-nilai yang bahkan sangat menjunjung ide-ide demokrasi, seperti nilai persamaan hak dan bahwa semua orang sama. Sementara dari semua  perbedaan aplikasi demokrasi, esenai yang selalu diajarkan adalah asas kedaulatan rakyat, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta keadilan sosial. Dengan mencermati asas-asas demokrasi ini, agama semakin dapat mengidentifikasi mitranya dalam mewujudkan suatu masyarakat yamg adil lahir dan batin.
B.     Agama dan Kegagalan Redemokrasi
Kehidupan demokrasi praktis tidak akan pernah berkembang ketika suatu sistem pemerintahan merubah sistem politik dari menerima pluralitas ke pendasaranpada suatu identitas (agama) tertentu. Suatu masyarakat yang demokratis memiliki beberapa ideologi (keagaaman/politik) yang berbeda, tidak ada satu elemen pun yang berusaha mempengaruhi seluruh kehidupan masing-masing komunitas atau melakukan suatu perombakan masyarakat secara total yang hanya didasarkan pada satu idiologi agama. Adanya usaha rekontruksi atas masyarakat secara sosial keagamaan menandakan terjadinya totalitas ideologis.
Dengan demikian, hal yang paling membahayakan dari totalitas agama adalah keinginannya untuk selalu menghambat proses pengembangan dimensi lain kehidupan manusia. Totalitas agama tidak akan pernah membuka proses demokratisasi bagi kehidupan masyarakat, tidak ada ruang untuk mempertahankan keterikatan-keterikatan pada berbagai nilai-nilai.
  1. Etnosentrisme Agama dan Globalisasi Demokrasi
Munculnya etnosentrisme agama yang disertai kekerasan semakin menambah pesimisme akan kemungkinan tumbuh kembangnya demokrasi. Demokrasi tak cukup hanya diidentikkan dengan pemilu dan konstitusi, tetapi bergantung pada tradisi dan organisasi yang mengajarkan masyarakat umum tentang tradisi demokrasi, konstektual dengan kehidupan lokal, kebudayaan, organisasi, serta beragam lintas masyarakat.
Proses globalisasi bisa muncul sebagai sebuah ancaman terhadap identitas komunitas dan kelompok tertentu. Proses perubahan sosial yang cepat dalam dunia modern kurang peduli terhadap genuine lokal yang berimplikasi pada penciptaan kekosongan spiritual dan moral masyarakat.
Isu demokrasi pada akhirnya memang harus berbenturan dengan kecenderungan global paradox, yaitu antara semangat semakin menguatnya etnis serta keberagaman dan arus deras ideologi baru yang berciri transnasionalisme, globalisme, dan sekularisme. Semuanya saling mempengaruhi dan saling menolak. Dalm proses akulturasi tersebut konflik merupakan sesuatu yang sulit dihindari, dan jika konflik itu sudah mengarah pada kekerasan, maka cita-cita universal demokrasi yang sebetulnya inhern dalam setiap agama bagian dari global paradox.
IV.        KONFLIK KEKERASAN AGAMA DAN TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA (1997-2001)
Kekerasan berdasarkan agama yang terjadi di beberapa daerah tertentu di Indonesia tidal lahir secara alami sebagai persoalan masyarakat bawah. Kekerasan agama yang terus berkembang saat itu adalah kontinuitas dari suasana dan karakter sistem politik yang sedang berkuasa(Orde Baru). Kekerasan itu berakar pada sesuatu yang menyejarah, diproduksi oleh distorsi- distorsi sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan yang panjang di masa lampau. Artinya Orde Baru sebagai rezim yang memegang kekuasaan cukup lama sebetulnya sedari awal sudah melakukan praktik kekerasan berbasis Negara(kekerasan struktural). Lebih-lebih dekade akhir berkuasanya Orde Baru, praktik kekerasan berkembang luas melibatkan masa sebagai basisnya yang baru. Negara semakin terang- terangan menerapkan kekerasan, dari kekerasan vertikal ke kekerasan horizontal.
A.  Orde Baru dan Kehidupan Umat Beragama di Indonesia
Adanya lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia dapat dilihat sebagai salah satu ekspansi keberagaman sekaligus bentuk pengamalan hak kebebasan beragama yang paling asasi dari manusia. Sebagaimana hal ini dijamin oleh UUD 1945 pasal 29 dan penjelasan TAP MPR No. II/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila yang berbunyi :"Kebebasan beragama adalah merupakan salah satu hak yang paling asasi diantara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber dari martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan pemberian Negara atau bukan pemberian golongan"
Dalam kehidupan sosial politik Orde Baru, idealisasi kehidupan umat beragama di atas belum berada dalam kondisi yang semestinya. Orde Baru dengan konsep modernisasi yang dijalankan selama tiga dasawarsa telah melakukan perombakan terhadap struktur keagamaan di Indonesia. Indonesia di bawah Orde Baru diakui telah berhasil menjadi pioner dalam menjalankan restrukturisasi sosial, ekonomi, dan politik. Karena itu keberhasilan ini menempatkannya sebagai Negara yang kuat, hegemonik,  dan intervensiones. Negara menjadi kekuatan yang domian dan tidak memungkinkan adanya kekuatan lain dalam masyarakat untuk mengimbanginya.
B.  Era Reformasi, Euphoria Demokrasi, dan Kekerasan Agama
Cara-cara kekerasan yang menggunakan isu-isu agama pada akhirnya tidak mampu membendung laju keinginan masyarakat untuk terlaksananya pemilu Juni 1999.Pemilu tersebut berhasil dan berjalan dengan damai, sekaligus juga sebagai tanda dimulainya Era Reformasi, yaitu gerakan yang dimaksudkan sebagai upaya pembaharuan dan purifikasi seluruh aparatur Negara yang salah satu perdebatan dan tuntutan yang dominan adalah terwujudnya otonomi daerah. Dalam perspektif global, keberhasilan dilaksanakannya pemilu Juni 1999 merupakan kondisi yang dari situ Indonesia boleh dikatakan telah memasuki masa transisi menuju demokrasi.
Namun sekalipun Indonesia telah memasuki transisi menuju demokrasi masih terdapat kemungkinan mangalami kemunduran atau gelombang baik. Dalam konteks Indonesia ada beberapa faktor yang dapat menghambat laju upaya perbaikan sitem politik bernegara di Indonesia pasca digulirkannya era reformasi. Beberapa faktor tersebut adalah :
·         Lemahnya nilai-nilai demokratis baik dikalangan elite maupun masyarakat umum
·         Kondisi perekonomian yang terus menurun yang dapat menimbulkan konflik
·         Lemahnya supremasi hukum khususnya upaya pemberantasan KKN
·         Runtuhnya aturan hukum dan ketertiban umum sebagai akibat terorisme dan pemberontakan- pemberontakan yang justru memancing kembalinya kekuatan militer
Pada era reformasi, Indonesia telah mampu menegakkan beberapa pilar demokrasi, seperti kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, serta wacana publik yang intensif tentang kebijakan publik. Namun sekalipun demokrasi merupakan sebuah konsep yang bersifat universal, ketika hendak diimplikasikan akan berhadapan dengan kenyataan bahwa karakteristik sosial masyarakat akan mewarnai nilai-nilai demokrasi tersebut. Dalam konteks Indonesia, sebagai sebuah bangsa yang sedang menghadapi transisi politik tersebut, tantangan awal yang dihadapi adalah bagaimana menemukan sebuah a workable democracy, yaitu demokrasi yang dapt berfungsi, menjin stabilitas politik dan terpeliharanya kesatuan dan persatuan bangsa, serta memungkinkan pemerintah mampu menjalankan fungsinya secara maksimal untuk memberikan pelayanan dan perlindungan kepada rakyatnya.
Agama tidak dapat dihilangkan dalam menjalankan proses transisi di Indonesia. Sebab agama ditampilkan dalam bentuk kelembagaan yang ditandai dengan masih dominannya partai-partai politik menggunakan simbol dan dasar agama. Dalam kondisi seperti ini, agama bisa muncul dalam suatu kelompok penekan politik yang bergerak di tingkat elite politik tertentu.
Bertolak dari kenyataan tersebut, agama menjadi landasan yang sangat relevan bagi kepentingan politik transisi dan dengan demikian, potensi konflik yang bersumber dari isu agama merupakan salah satu konsekuensinya. Dalam masa transisi ini, agama (etnis dan gender) terperangkap dalam satu tarik menarik ya g diakibatkan adanya polarisasi antar kekuatan politik yang mencoba mencari dan mengatur posisi di tengah ketidakpastian reformasi. Kondisi ini akan menjadikan agama, institusi agama, dan etnis tertentu sebagai alat untuk membenarkan kekerasan yang dilakukan oleh kekuatan tertentu.
Dengan demikian, masa transisi ini memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kenyataan superfisial dari retorika kerukunan agama di Indonesia yang selalu di bangga- banggakan para birokrat Orde Baru atas masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang moderat, mendahulukan harmoni dan keselarasan dalam pelbagai aspek kehidupan, dan bangsa yang patut dijadikan objek percontohan bagi hubungan antar umat beragama.
C.  Indonesia : Antara Optimisme Penegakan Demokrasi dan Supremasi Agama Mayoritas
Krisis politik dan ekonomi Indonesia antara tahun 1997-2001 bahkan hingga saat ini yang diwarnai dengan kekerasan terhadap etnis dan agama tertentu (Cina dan Kristen), telah mengurangi optimise yang berharap Indonesia dapat berperan menjadi contoh demokrasi bagi dunia islam secara lebih luas. Datangnya era reformasi yang menghadirkan agama sebagai bagian dari lembaga politik formal dalam infrastruktur politik Indonesia secara tidak langsung berkeinginan membuka kembali wacana hubungan agama dan Negara di Indonesia.
Hal yang kemudian perlu menjadi perhatian bersama dalam kerangka mencapai keberhasilan proses transisi di Indonesia adalah mewujudkan wawasan pluralis dan inklusif. Pluralisme ini terkait dengan unsur lain dari kultur demokrasi yakni toleransi politik dan saling percaya sesama warga dalam sebuah negara bangsa dengan cara melepaskan larat belakang primodialnya. Jika unsur-unsur ini lemah, maka demokrasi tidak akan pernah dapat tegak dengan baik.




EmoticonEmoticon