I.
PENDAHULUAN
Dalam
kondisi politik dan ekonomi yang tidak menentu, agama seringkali gagal memenuhi
keinginan pemeluknya sebagai harapan yang memberikan kedamaian dan selalu
mengutuk bentuk-bentuk kekerasan. Runtuhnya ideologi besar dunia,kapitalisme
dan komunisme, karena tidak mampu memenuhi janji-janjinya telah membuat
masyarakat dunia menoleh dan menaruh harapan pada agama sebagai penggantinya.
Agama sebagai ajaran atau doktrin tidak diragukan telah mengajarkan kebaikan.
Ia memberikan efek motivasi kepada pemeluknya untuk berperilaku sesuai dengan
cita-cita kepercayaan tentang ketundukan dan kebaikan. Agama menjadi sistem kepercayaan yang
mengjarkan cinta kasih, menjunjung kedamaian, dan menghargai perbedaan.
Semua
agama menolak kekerasan sebagai prinsip dalam melakukan suatu tindakan. Pada
dasarnya kekerasan adalah prinsip yang bersifat amoral karena kekerasan selalu
mengandalkan pemaksaan kehendak terhadap pihak lain yang berarti pelanggaran
terhadap asas kebebasan dalam interaksi sosial. Karena itu setiap tindakan
kekerasan yang mengtasnamankan agama merupakan suatu sikap oxymoron.(ungkapan yang ambigu dan kontradiktif dalam dirinya).
Namun
terlepas dari uraian di atas, agama disisi lain menyiratkan
pengendapan-pengendapan kekerasan yang sublimasi sehingga memunculkan keraguan
terhadap kekuatan peran agama dalam menciptakan suatu tatanan sosial yang tanpa
kekerasan. Kekerasan dan agama sepintas merupakan dua pengertian yang sangat
berbeda dan bertentangan. Agama dilihat sebagai seperangkat norma dan aturan
yang selalu mendorong para pemeluknya untuk mengamalkan kasih dan menyebarkan
perdamaian. Sementara kekerasan adalah wilayah lain yang tidak mungkin
disandingkan dengan misi perdamaian yang diemban agama.
II.
MEMAHAMI SUBLIMASI
KEKERASAN DALAM TEKS KEAGAMAAN
Agama dilihat sebagai
sistem kepercayaan yang mencerminkan kekuatan moral baik secara individual
maupun sosial. Dalam memberikan dorongan moral kepada individu, agama selalu
mengajak pemeluknya untuk berbuat baik, menjauhkan diri dari kejahatan dan hawa
nafsu, mengejar keselamatan dan ketenteraman di dunia maupun di akhirat.
Sedangkan secara sosial, agama sebagai cermin bagi terjadinya distorsi akhlak
dan Budi pekerti dalam masyarakat. Korupsi, penindasan, kemaksiatan, dan
tindakan tindakan amoral lainnya yang berimplikasi sosial dianggap abnormal dan
sangat bertentangan dengan nilai nilai dan cita cita agama yang menjunjung
tinggi keluhuran moral. Demikian halnya
dengan kekerasan, mustahil agama mendorong para memeluknya untuk bertindak
dengan cara cara kekerasan dan represif yang secara sosial dapat mengancam atau
bahkan menyerang orang lain. Karena hal itu tidak sesuai dengan karakter dan
fitrah agama.
Namun yang menjadi
persoalan ketika di sisi lain agama diakui memiliki simbol simbol kekerasan
yang terakomodasi dan secara konstitutif tertera dalam ajaran ajaran keagamaan.
Ajaran agama secara implisit sering kali menyebutkan rangkaian kekerasan dalam
tentang waktu tertentu. Dalam islam dikenal istilah jihad, kristen mengenal
penyaliban yesus, bahkan istilah kurban dikenal hampir seluruh agama.
A. Beberapa simbol kekerasan dalam teks
agama
1. Jihad (perang)
Kebanyakan umat islam
memahami jihad dalam arti terlibat dalam sebuah peperangan. Dengan kata lain,
jihad bukanlah senjata yang diayunkan melawan orang dan pihak lain yang di
klaim sebagai musuh Tuhan melainkan sebagai usaha bersama melawan kecenderungan
-kecenderungan ruang jahat seseorang seperti nafsu, kebodohan, dan kedzaliman.
Dengan demikian jihad merupakan perjuangan abadi melawan nafsu pribadi dan
kemampuan untuk bertahan menghadapi kesulitan kesulitan hidup. Dalam konteks
kekinian jihad tidak harus merupakan perang total melawan orang orang-orang
kafir.
2. Kurban
Menurut Juergensmeyer,
ritual korban menempati posisi dominan dala.
Perilaku keagamaan yang berimplikasi kekerasan. Seorang pemeluk agama
akan dengan mudah melakukan tindak kekerasan ketika diniati keinginan
berkorban. Dalam ajaran agama korban seting dipahami sebagai suatu kewajiban
agama yang tidak boleh ditinggalkan. Dengam demikian melakukan ritual korban
sama halnya dengan pelaksanaan amal kebajikan yang diperintahkan Tuhan seperti
terdapat dalam kitab suci.
Melihat persoalan di
atas, Rene Girard berpandangan bahwa ritual korban mengasumsikan dua aspek. Pertama,
sebagai satu bentuk perintah (ajaran suci) yang bersumber dari agama.Kedua,
sebagai satu tindakan kriminal. Memaknai korban tidak harus dengan darah.
Berkorban bukan berarti membunuh manusia tapi melepaskan (kebatilan dan
kejahatan) dan memberi (kebaikan dan kesempurnaan).
3. Penyaliban Yesus
Bagi umat kristiani,
salib Yesus adalah Puncak pembelaan setiap insan yang dibelenggu penderitaan.
Yesus hadir dalam masa ketika terjadi pergolakan dan perubahan besar dalam
bidang ekonomi, sosial, dan keagamaan, masa persaingan antara berbagai aliran
keagamaan dan masa yang rawan kerusuhan. Dalam situasi masyarakat yang seperti
itu, Yesus secara kritis menyoroti keberuntungan kelompok elite religus dan
politik yang bersebarangan dengan realitas kemiskinan rakyat. Kematian Yesus
pada salib adakah hasil dari skandal politik. Namun begitu, dalam semangat iman
Kristian kematian Yesus tidak hanya dipahami sebagai korban suatu revolusi
politik dengan hasrat kematian yang konyol melainkan Yesus gugur dalam situasi
keberdosaan umat manusia. Yesus mati karena berjuang untuk pembebesan,
memerangi akar dari tatanan yang tidak adil.
B. Pemahaman
Pemeluk Agama terhadap Simbol Kekerasan dalam Teks Agama
Kitab suci yang
diturunkan kepada umat manusia merupakan tanda kebesaran dan kemaha-kuasaan
Ilahi. Sedangkan teks-teks di dalam nya merupakan himpunan tanda yang memiliki
daya tarik untuk ditafsirkan. Teks kitab suci telah memainkan peran yang sangat
besar bagi terjalinnya komunikasi antara Tuhan dengan manusia dan antara sesama
manusia sendiri.
Menurut Arthur J.
D'Adamo sebagaimana dikutip Budhy Munawar Rahman ada empat cara pandang agama
yang dalam perspektif modern dinilai sebagai indikasi terjadinya krisis
epistemologi agama. Pertama, bahwa teks keagamaan sebagai axiomatictruth
(yang sudah jelas kebenarannya) yang bersifat konsisten. Kedua, bersifat
lengkap dan final sehingga tidak memungkinkan adanya kebenaran yang berada di
agama lain. Ketiga, sebagai satu-satunya Sumber tempat manusia
memperoleh makna keselamatan, pencerahan,dan pembebasannya. Empat, diwahyukan
langsung oleh Tuhan sehingga dijamin kebenarannya.
1. Pemahaman Skripturalis
Akar krisis
epistemologi seperti dikatakan D'Adamo di atas, jika diekstremkan justru bisa
menimbulkan "religiusitas berisiko" yang tidak saja menjadi kendala
internal suatu agama bahkan juga membahayakan hubungan antar agama. Dalam
implementasi faktualnya, fenomena menguatnya kalangan fundamentalis dan
aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan aga merupakan contoh nyata urain ini.
Konsekuensi dan keberagaman dan pola pikir
deduktif-tekstualistik-skripturalistik adalah berkurangnya kepekaan dan
ketajaman dalm mencermati fenomena alam, budaya, dan sosial kemasyrakatan yang
selalu berubah dan bergerak cepat sehingga memberikan dampak langsung pada
isu-isu keagamaan serta format pengalaman beragama di era global ini.
Praktik kekerasan
dengan slogam agama merupakan aksi-aksi penguasaan simbolis yang memiliki
akibat diluar kepuasan personal. Tindakan kekerasan yang mereka lakukan atas
nama hukum moral merupakan salah satu bentuk pernyataan politik. Aksi-aksi
semacam ini mampu meruntuhkan monopoli Negara atas sanksi moral bagi suatu
tindakan kriminal kelas berat.
2. Pemahaman Kontekstual
Pemahaman kontekstual
berpijak dari suatu anggapan bahwa kebudayaan dan peradaban sebagai suatu
sistem nilai dan sistem kognitif(universum symbolicum) yang memiliki world view nya sendiri,
tidak akan pernah selasai dan sempurna. Semakin tinggi sebuah agama, semakin
matang sebuah peradaban dan kebudayaan, ia semakin melengkapi dirinya dengan
unsur-unsur yang dinamis, dekonstruktif, dan transfiguratif.
Agama tidak berhenti
dalam pemahaman dirinya(subjektif), tapi selalu didialogkan dengan keberagaman
orang lain(intersubjektif). Dari sini dimungkinkan terbukanya dialog-dialog
yang lebih demokratis dengan semangat mengabdi pada kemanusiaan. Dalam konteks
demikian lalu diciptakan ruang kebebasan bagi semua pemeluk agama untuk
mengekspresikan tuntutan spiritualtasnya. Yaitu dengan cara merubah pola-pola
keberagaman yang rigit dan eksklusif dengan menggagas dan mengembangkan
paham-paham keagamaan yang interpretatif (terbuka dan inklusif).
C. Konflik
dan Kekerasan dalam Agama
Selama beberapa dekade
ini sudah sekian konferensi dunia digelar mengenai agama dan perdamaian(World
Conference on Relegion and Peace) yang diharapkan mampu membangun iman
agama-agama yang dapat menyejukkan dan mengedapkan dunia dari semakin menguatnya
eskalsi kekerasan global.
Penyelenggaraan
konferensi agama dan perdamaian diatas sebagai artikulasi atas kenginan untuk
mewujudkan dunia yang penuh persaudaraan dan perdamaian sekaligus sebagai
antisipasi atas semakin meluasnya gejala kekerasan yang merupakan salah satu
tantangan bagi agama-agama dunia dan harus dipikirkan secara serius.
1. Kekerasan Agama
Hampir tidak didapatkan
suatu asumsi yang membenarkan adanya kekerasan yang bersifat keagamaan. Contoh
yang biasa diutarakan untuk mendeskripsikan kekerasan agama srmisal perang
salib, ditampik sebagai kekerasan yang bertolak dari persoalan agama. Agama dan
kekerasan adalah dua persoalan yang saling menegasikan dan tidak mungkin dapat
disatukan dalam bentuk pemahaman yang utuh. Agama menolak kekerasan sebagai
prinsip dalam melakukan suatu tindakan. Kekerasan lebih bersifat represif yang
di dalamnya mengandung unsur amoral karena selalu mengandalkan pemaksaan
kehendak terhadap orang lain, yang berarti hal ini juga sebagai pelanggaran
atas asas kebebasan dalam interaksi sosial.
Dengan demikian
kekerasan merupakan tindakan yang tidak manusiawi, karena manusia pada dasarnya
adalah makhluk yang bebas secara moral. Moralitas agama adalah kesadaran,
kebenaran, dan kesalihan yang selalu mendorong pemeluknya untuk saling akrab
satu sama lain. Agama selalu mempertimbangkan makna hidup, kebenaran, dan
tujuan yang luhur.
2. Faktor Terjadinya Konflik dan Kekerasan
Agama
Pertama, kandungan
komunal, yaitu yang dimaksudkan pada kelompok-kelompok identitas tertentu
seperti ras, agama, etnis, dan budaya. Yang menjadi lebih inti masalah dalam
persoalan komunal itu adalah adanya disartikulasi antara kepentingan identitas
dengan kepentingan Negara.
Kedua, bahwa
Sumber utama munculnya konflik yang berlarut-larut itu adalah perampasan
kebutuhan manusia yang kemudian diartikulasikan secara kolektif. Sementara
kegagalan Negara dalam masalah ini semakin memperumit kondisi konflik.
Ketiga, dominannya
peran Negara sebagai faktor kritis yang tidak mampu memuaskan keinginan dasar
individu dan kelompok identitas. Karena itu kebanyakan Negara yang mengalami
konflik sosial yang berkepanjangan dicirikan dengan pemerintahan yang tidak
mampu, picik, rapuh, dan otoriter yang gagal memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Azar mencatat bahwa
konflik cenderung terkonsentrasi di negara-negara berkembang(Dunia Ketiga) yang
secara tipikal dicirikan dengan pertumbuhan penduduk yang cepat dan
sumber-sumber pokok yang terbatas.
3. Legitimasi Agama dalam Kekerasan
Dalam batasan tertentu
penggunaan kekerasan sebetulnya dapat dibenarkan, artinya suatu tindakan
kekerasan merupakan sesuatu yang absah ketika dipraktikkan dalam
kondisi-kondisi tertentu. Perbedaan antara boleh dan tidak,benar dan salah,atau
absah dan tidak absahnya menggunakan kekerasan sesungguhnya adalah persoalan
aplikasi moral yang sebetulnya sangat rumit. Agama sendiri pasa dasarnya tidak
cukup mengambil dalih-dalih teks dari tradisi atau kitab suci untuk memberikan
legitimasi etiko-relligius pada penggunaan kekerasan.
4. Supremasi Simbol Keagamaan dalam Kekerasan
Dalam melakukan
komunikasi setiap harinya manusia selalu menggunakan sistem simbol. Banyak
sekali gagasan, ide, dan perasaan manusia yang dapat terucapkan hanya melalui
ungkapan-ungkapan simbolik. Karena itu manusia kemudian diberi julukan homo
symbolicum. Tuhan pun menggunakan simbol-simbol saat menyapa umat-Nya.
Sehingga dalam realitas sosialnya setiap agama selalu identik dengan logo dan
simbol yang khas. Simbol-simbol keagamaan merupakan media komunikasi antara
gagasan Tuhan dengan respon manusia baik secara emosional, fisikal, maupun
intelektual. Pehamaman terhadap simbol keagamaan yang semula murni sebagai
pengabdian vertikkal, pada urutannya bisa saja berubah menjadi konflik dan
kekerasan sosial ketika pemahaman dan pemaknaannya masuk ke wilayah politik
keagaaman dimana salah satunya ditandai dengan menguatnya persaingan klaim dan
monopoli kebenaran serta kekuasaan.
III.
AGAMA DAN TRANSISI
DEMOKRASI
Peran dan fungsi agama
dalam penegakan suatu konsep demokrasi, hingga saat ini sudah banyak terbukti
di beberapa wilayah Negara. Dalam perjalanan sejarah modern, agama memainkan
peranan yang cukup besar dalam pembentukan perilaku politik bangsanya. Sejak
awal sejarah kebangkitan gerakan kebangsaan unruk mencari identitas diri
sebagai sebuah bangsa yang kemudian mengupayakan kemerdekaannya, agama dengan
gerakan-gerakannya turut memberikan warna kepada perkembangan politik suatu
bangsa.,bahkan terkadang menjadi protagonis utama dalam suatu sengketa politik
yang mendasar.
A. Agama dan Konvergensi Demokrasi
Secara empiris, agama
dan demokrasi adalah dua hal yang sangat berbeda, agama merupakan konsep-konsep
kehidupan yamg berasal dari kekuatan transenden yang termuat dalam Wahyu
sementara demokrasi merupakan racikan pergumulan pemikiran manusia. Agama
memiliki nilai-nilai yang bahkan sangat menjunjung ide-ide demokrasi, seperti
nilai persamaan hak dan bahwa semua orang sama. Sementara dari semua perbedaan aplikasi demokrasi, esenai yang
selalu diajarkan adalah asas kedaulatan rakyat, penghormatan hak-hak asasi
manusia, serta keadilan sosial. Dengan mencermati asas-asas demokrasi ini,
agama semakin dapat mengidentifikasi mitranya dalam mewujudkan suatu masyarakat
yamg adil lahir dan batin.
B. Agama dan Kegagalan Redemokrasi
Kehidupan demokrasi
praktis tidak akan pernah berkembang ketika suatu sistem pemerintahan merubah
sistem politik dari menerima pluralitas ke pendasaranpada suatu identitas
(agama) tertentu. Suatu masyarakat yang demokratis memiliki beberapa ideologi
(keagaaman/politik) yang berbeda, tidak ada satu elemen pun yang berusaha
mempengaruhi seluruh kehidupan masing-masing komunitas atau melakukan suatu
perombakan masyarakat secara total yang hanya didasarkan pada satu idiologi
agama. Adanya usaha rekontruksi atas masyarakat secara sosial keagamaan
menandakan terjadinya totalitas ideologis.
Dengan demikian, hal
yang paling membahayakan dari totalitas agama adalah keinginannya untuk selalu
menghambat proses pengembangan dimensi lain kehidupan manusia. Totalitas agama
tidak akan pernah membuka proses demokratisasi bagi kehidupan masyarakat, tidak
ada ruang untuk mempertahankan keterikatan-keterikatan pada berbagai
nilai-nilai.
- Etnosentrisme
Agama dan Globalisasi Demokrasi
Munculnya etnosentrisme
agama yang disertai kekerasan semakin menambah pesimisme akan kemungkinan
tumbuh kembangnya demokrasi. Demokrasi tak cukup hanya diidentikkan dengan
pemilu dan konstitusi, tetapi bergantung pada tradisi dan organisasi yang
mengajarkan masyarakat umum tentang tradisi demokrasi, konstektual dengan kehidupan
lokal, kebudayaan, organisasi, serta beragam lintas masyarakat.
Proses globalisasi bisa
muncul sebagai sebuah ancaman terhadap identitas komunitas dan kelompok
tertentu. Proses perubahan sosial yang cepat dalam dunia modern kurang peduli
terhadap genuine lokal yang berimplikasi pada penciptaan kekosongan spiritual
dan moral masyarakat.
Isu demokrasi pada
akhirnya memang harus berbenturan dengan kecenderungan global paradox, yaitu
antara semangat semakin menguatnya etnis serta keberagaman dan arus deras
ideologi baru yang berciri transnasionalisme, globalisme, dan sekularisme.
Semuanya saling mempengaruhi dan saling menolak. Dalm proses akulturasi
tersebut konflik merupakan sesuatu yang sulit dihindari, dan jika konflik itu
sudah mengarah pada kekerasan, maka cita-cita universal demokrasi yang
sebetulnya inhern dalam setiap agama bagian dari global paradox.
IV.
KONFLIK
KEKERASAN AGAMA DAN TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA (1997-2001)
Kekerasan berdasarkan
agama yang terjadi di beberapa daerah tertentu di Indonesia tidal lahir secara
alami sebagai persoalan masyarakat bawah. Kekerasan agama yang terus berkembang
saat itu adalah kontinuitas dari suasana dan karakter sistem politik yang
sedang berkuasa(Orde Baru). Kekerasan itu berakar pada sesuatu yang menyejarah,
diproduksi oleh distorsi- distorsi sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan
yang panjang di masa lampau. Artinya Orde Baru sebagai rezim yang memegang
kekuasaan cukup lama sebetulnya sedari awal sudah melakukan praktik kekerasan
berbasis Negara(kekerasan struktural). Lebih-lebih dekade akhir berkuasanya
Orde Baru, praktik kekerasan berkembang luas melibatkan masa sebagai basisnya
yang baru. Negara semakin terang- terangan menerapkan kekerasan, dari kekerasan
vertikal ke kekerasan horizontal.
A. Orde Baru dan Kehidupan Umat Beragama di
Indonesia
Adanya lembaga-lembaga
keagamaan di Indonesia dapat dilihat sebagai salah satu ekspansi keberagaman
sekaligus bentuk pengamalan hak kebebasan beragama yang paling asasi dari
manusia. Sebagaimana hal ini dijamin oleh UUD 1945 pasal 29 dan penjelasan TAP
MPR No. II/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila yang
berbunyi :"Kebebasan beragama adalah merupakan salah satu hak yang paling
asasi diantara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung
bersumber dari martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan
beragama bukan pemberian Negara atau bukan pemberian golongan"
Dalam kehidupan sosial
politik Orde Baru, idealisasi kehidupan umat beragama di atas belum berada
dalam kondisi yang semestinya. Orde Baru dengan konsep modernisasi yang
dijalankan selama tiga dasawarsa telah melakukan perombakan terhadap struktur
keagamaan di Indonesia. Indonesia di bawah Orde Baru diakui telah berhasil
menjadi pioner dalam menjalankan restrukturisasi sosial, ekonomi, dan politik.
Karena itu keberhasilan ini menempatkannya sebagai Negara yang kuat,
hegemonik, dan intervensiones. Negara
menjadi kekuatan yang domian dan tidak memungkinkan adanya kekuatan lain dalam
masyarakat untuk mengimbanginya.
B. Era Reformasi, Euphoria Demokrasi, dan
Kekerasan Agama
Cara-cara kekerasan
yang menggunakan isu-isu agama pada akhirnya tidak mampu membendung laju
keinginan masyarakat untuk terlaksananya pemilu Juni 1999.Pemilu tersebut
berhasil dan berjalan dengan damai, sekaligus juga sebagai tanda dimulainya Era
Reformasi, yaitu gerakan yang dimaksudkan sebagai upaya pembaharuan dan
purifikasi seluruh aparatur Negara yang salah satu perdebatan dan tuntutan yang
dominan adalah terwujudnya otonomi daerah. Dalam perspektif global,
keberhasilan dilaksanakannya pemilu Juni 1999 merupakan kondisi yang dari situ
Indonesia boleh dikatakan telah memasuki masa transisi menuju demokrasi.
Namun sekalipun
Indonesia telah memasuki transisi menuju demokrasi masih terdapat kemungkinan
mangalami kemunduran atau gelombang baik. Dalam konteks Indonesia ada beberapa
faktor yang dapat menghambat laju upaya perbaikan sitem politik bernegara di
Indonesia pasca digulirkannya era reformasi. Beberapa faktor tersebut adalah :
·
Lemahnya
nilai-nilai demokratis baik dikalangan elite maupun masyarakat umum
·
Kondisi
perekonomian yang terus menurun yang dapat menimbulkan konflik
·
Lemahnya
supremasi hukum khususnya upaya pemberantasan KKN
·
Runtuhnya
aturan hukum dan ketertiban umum sebagai akibat terorisme dan pemberontakan-
pemberontakan yang justru memancing kembalinya kekuatan militer
Pada
era reformasi, Indonesia telah mampu menegakkan beberapa pilar demokrasi,
seperti kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan berpendapat, kebebasan
pers, serta wacana publik yang intensif tentang kebijakan publik. Namun
sekalipun demokrasi merupakan sebuah konsep yang bersifat universal, ketika
hendak diimplikasikan akan berhadapan dengan kenyataan bahwa karakteristik
sosial masyarakat akan mewarnai nilai-nilai demokrasi tersebut. Dalam konteks
Indonesia, sebagai sebuah bangsa yang sedang menghadapi transisi politik
tersebut, tantangan awal yang dihadapi adalah bagaimana menemukan sebuah a
workable democracy, yaitu demokrasi yang dapt berfungsi, menjin stabilitas
politik dan terpeliharanya kesatuan dan persatuan bangsa, serta memungkinkan
pemerintah mampu menjalankan fungsinya secara maksimal untuk memberikan
pelayanan dan perlindungan kepada rakyatnya.
Agama tidak dapat dihilangkan dalam menjalankan
proses transisi di Indonesia. Sebab agama ditampilkan dalam bentuk kelembagaan
yang ditandai dengan masih dominannya partai-partai politik menggunakan simbol
dan dasar agama. Dalam kondisi seperti ini, agama bisa muncul dalam suatu
kelompok penekan politik yang bergerak di tingkat elite politik tertentu.
Bertolak
dari kenyataan tersebut, agama menjadi landasan yang sangat relevan bagi
kepentingan politik transisi dan dengan demikian, potensi konflik yang
bersumber dari isu agama merupakan salah satu konsekuensinya. Dalam masa
transisi ini, agama (etnis dan gender) terperangkap dalam satu tarik menarik ya
g diakibatkan adanya polarisasi antar kekuatan politik yang mencoba mencari dan
mengatur posisi di tengah ketidakpastian reformasi. Kondisi ini akan menjadikan
agama, institusi agama, dan etnis tertentu sebagai alat untuk membenarkan
kekerasan yang dilakukan oleh kekuatan tertentu.
Dengan demikian, masa transisi ini memberikan
gambaran yang lebih jelas tentang kenyataan superfisial dari retorika kerukunan
agama di Indonesia yang selalu di bangga- banggakan para birokrat Orde Baru
atas masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang moderat, mendahulukan harmoni dan
keselarasan dalam pelbagai aspek kehidupan, dan bangsa yang patut dijadikan
objek percontohan bagi hubungan antar umat beragama.
C. Indonesia : Antara Optimisme Penegakan
Demokrasi dan Supremasi Agama Mayoritas
Krisis politik dan ekonomi Indonesia antara tahun
1997-2001 bahkan hingga saat ini yang diwarnai dengan kekerasan terhadap etnis
dan agama tertentu (Cina dan Kristen), telah mengurangi optimise yang berharap
Indonesia dapat berperan menjadi contoh demokrasi bagi dunia islam secara lebih
luas. Datangnya era reformasi yang menghadirkan agama sebagai bagian dari
lembaga politik formal dalam infrastruktur politik Indonesia secara tidak
langsung berkeinginan membuka kembali wacana hubungan agama dan Negara di
Indonesia.
Hal yang kemudian perlu menjadi perhatian bersama
dalam kerangka mencapai keberhasilan proses transisi di Indonesia adalah
mewujudkan wawasan pluralis dan inklusif. Pluralisme ini terkait dengan unsur
lain dari kultur demokrasi yakni toleransi politik dan saling percaya sesama
warga dalam sebuah negara bangsa dengan cara melepaskan larat belakang
primodialnya. Jika unsur-unsur ini lemah, maka demokrasi tidak akan pernah
dapat tegak dengan baik.
EmoticonEmoticon