BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al Qur`an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia.[1] Di samping itu, dalam ayat dan surat yang sama,
diinformasikan juga bahwa al Qur`an sekaligus menjadi penjelasan (bayyinaat)
dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda (furqan) antara
yang baik dan yang buruk. Di sinilah manusia mendapatkan petunjuk dari al
Qur`an. Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk
atas dasar pertimbangannya terhadap petunjuk al Qur`an tersebut.
Al Qur`an adalah kalaamullaah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw.
dengan media malaikat Jibril as. Dalam fungsinya sebagai petunjuk, al Qur`an
dijaga keasliannya oleh Allah swt. Salah satu hikmah dari penjagaan keaslian
dan kesucian al Qur`an tersebut adalah agar manusia mampu menjalani kehidupan
di dunia ini dengan benar-menurut Sang Pencipta Allah ‘azza wa jalla sehingga
kemudian selamat, baik di sini, di dunia ini dan di sana , di akhirat sana.
Bagaimana mungkin manusia dapat menjelajahi sebuah hutan belantara dengan
selamat dan tanpa tersesat apabila peta yang diberikan tidak digunakan,
didustakan, ataupun menggunakan peta yang jelas-jelas salah atau berasal dari
pihak yang tidak dapat dipercaya. Oleh karena itu, keaslian dan kebenaran al
Qur`an terdeterminasi dengan pertimbangan di atas agar manusia tidak tersesat
dalam mengarungi kehidupannya ini dan selamat dunia akhirat.
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafal dan ungkapan Al Qur’an
tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun
sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal
yang tidak dipertentangan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna
yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global, sedangkan kalangan
cendekiawan dan terpelajar akan dapat mengumpulkan pula dari pandangan
makna-makna yang menarik. Dan diantara cendikiawan kelompok ini terdapat aneka
ragam dan tingkat pemahaman maka tidaklah mengherangkan jika Al-Qur’an
mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama
dalam rangka menafsirkan kata-kata garib (aneh-ganjil) atau mentakwil tarkib
(susunan kalimat) dan menterjemahkannya kedalam bahasa yang mudah dipahami.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Apa pengertian tafsir ?
2.
Apa pengertian takwil ?
3.
Apa pengertian terjemah ?
4.
Bagaimana hubungan antara tafsir, takwil
dan terjemah ?
C.
Tujuan
Masalah
Adapun
tujuan dari pembuatan makalah adalah :
1.
Untuk mengetahui apa pengertian dari
tafsir
2.
Untuk mengetahui apa pengertian dari
takwil
3.
Untuk mengetahui apa pengertian dari
terjemah
4.
Untuk memahami bagaimana hubungan antara
tafsir, takwil dan terjemah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir
1.
Pengertian Tafsir
Tafsir berasal dari kata fassara-yufassiru-tafsiran
yang berarti keterangan, penjelasan atau uraian. Sedangkan menurut istilah, ada
beberapa ulama’ yang mengemukakan[2] :
a.
Menurut
al-Jurjani, tafsir adalah menjelaskan makna ayat keaaannya, kisahnya, dan sebab
yang karenanya ayat diturunkan, dengan
lafadz yang menunjukkan kepadanya dengan jelas sekali.
b.
Menurut
az-Zarkazyi, ialah suatu pengetahuan
yang dengan pengetahuan itu dapat dipahamkan kibullah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW menjelaskan maksud-maksudnya mengeluarkan hukum-hukumnya dan
hikmahnya.
c.
Menurut
al-Kilbyi ialah mensyarahkan al-qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan
apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya ataupun dengan
najwahnya.
d.
Menurut
Syeikh Thorir, ialah mensyarahkan lafad yang sukar difahamkan oleh pendengan
dengan uraian yang menjelaskan maksud dengan menyebut muradhifnya atau yang
mendekatinya atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melaui suatu jalan (petunjuk)
2.
Macam-macam Tafsir
a.
Tafsir Bil
Ma’tsur
Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah
Rasulullah saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in.
Dengan kata lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma’tsur adalah cara
menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat Al Qur’an
dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau
menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in.
1)
Menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Misalnya dalam surat Al-Hajj: 30 yang artinya :
“Dan
telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan
kepadamu keharamannya…”. Kalimat ‘diterangkan kepadamu’ (illa ma yutla
‘alaikum)
Ditafsirkan dengan surat
al-Maidah: 3 yang artinya :
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah.”
2)
Menafsirkan
Al-Qur’an dengan As-Sunnah/Hadits. Contoh Surat Al-An’am ayat 82 yang artinya :
“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang
mendapat kemenangan dan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk”
Kata “al-zulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh
Rasul Allah saw dengan pengertian “al-syirk” (kemusyrikan).
3)
Menafsirkan
Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat. Contoh an-Nisa’ ayat 2
Mengenai penafsiran sahabat terhadap Alquran ialah
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Halim dengan Sanad yang sahih dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menerangkan an-Nisa ayat 2 yang artinya :
“Dan
berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama
hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar.”
Kata ”hubb” ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan dosa
besar
4)
Menafsirkan
Al-Qur’an dengan pendapat para Tabi’in. Contoh dalam surat Al-Fatihah, penafsiran
Mujahid bin Jabbar tentang ayat Shiraat
al-Mustaqim yaitu kebenaran.
b.
Tafsir Bil Ar
Ra’yi
Yaitu penafsiran Al-Qur’an berdasarkan rasionalitas
pikiran (ar-ra’yu), dan pengetahuan empiris (ad-dirayah). Tafsir jenis ini
mengandalkan kemampuan “ijtihad” seorang mufassir dan tidak berdasarkan pada
kehadiran riwayat-riwayat (ar-riwayat). Disamping aspek itu mufassir dituntut
untuk memiliki kemampuan tata bahasa, retorika, etimologi dan pengetahuan
tentang hal-hal yang berkaitan dengan wahyu dan aspek-aspek lainnya menjadi
pertimbangan para mufassir untuk menafsirkan. Contohnya terdapat pada surat
al-Alaq: 2 “Khalaqal insaana min ‘alaq”. Kata
alaq disini diberi makna dengan
bentuk jamak dari lafaz alaqah yang
berarti segumpal darah yang kental.
3.
Buku Tafsir
a.
Jami al-bayan
fi tafsir Al.Qur’an, Muhammad B. Jarir al. Thabari, W. 310 H. terkenal dengan
tafsir Thabari
b.
Bahr al-Ulum,
Nasr b. Muhammad al- Samarqandi, w. 373 H. terkenal dengan tafsir al-
Samarqandi.
c.
Ma’alim
al-Tanzil, karya Al-Husayn bin Mas’ud al Baghawi, wafat tahun 510, terkenal
dengan tafsir al Baghawi.
d.
Mafatih
al-Ghayb, Karya Muhammad bin Umar bin al-Husain al Razy, wafat tahun 606,
terkenal dengan tafsir al Razy.
e.
Anwar
al-Tanzil wa asrar al-Ta’wil, Karya ‘Abd Allah bin Umar al-Baydhawi, wafat pada
tahun 685, terkenal dengan tafsir al-Baydhawi.
f.
Aal-Siraj
al-Munir, Karya Muhammad al-Sharbini al Khatib, wafat tahun 977, terkenal
dengan tafsir al Khatib.
g.
Tafsir
al-Qur’an al Karim, Karya Sahl bin ‘Abd. Allah al-Tastari, terkenal dengn
tafsir al Tastari.
h.
Haqa’iq
al-Tafsir, Karya Abu Abd. Al-Rahman al- Salmi, terkenal dengan Tafsir al-Salmi.
i.
Tafsir Ibn ‘Arabi,
Karya Muhyi al-Din bin ‘Arabi, terkenal dengan nama tafsir Ibn ‘Arabi.
B.
Takwil
1.
Pengertian Takwil
Pengertian takwil
secara bahasa berasal dari kata aul
yang berarti kembali pada asalnya. Sebagian ulama yang berpendapat bahwa
pengertian takwil muradif dengan pengertian tafsir dalam kebanyakan
maknanya yaitu menerangkan (al-bayan) dan juga berarti menjelaskan sesuatu
(al-idhah).[3]
Di antara firman Allah swt yang mengemukakan kata takwil ialah:
Dia-lah yang menurunkan Kitab
kepada kamu. Di antara nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi
al-Quran dan yang lain mu-tasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabiha at daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabiha at, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat
mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal. (Q.S. Ali Imran ayat
7).
Sedangkan Mujahid
mengatakan, bahwasanya ulama mengetahui takwil al-Quran maksudnya mengetahui
tafsir maknanya. Sekelompok ulama berpendapat bahwa antara tafsir dan takwil
mempunyai perbedaan yang jelas, dan hal ini telah populer dikalangan ulama
mutaakhirin (ulama terkemudian). al-Alusi mendefinisikan tafsir adalah sebagai penjelasan
makna al-Quran yang zahir (nyata) sedangkan takwil adalah penjelasan para ulama
dari ayat yang maknanya tersirat, serta rahasia-rahasia ketuhanan yang
terkandung dalam ayat al-Quran.
Pengertian takwil
menurut istilah mufassirin adalah memalingkan nash-nash al-Quran dalam
as-Sunnah yang mutasyabihah, dari maknanya yang dhahir, kepada makna-makna yang
sesuai dari kesucian Allah dari yang menyerupai mahluk, yang berlainan dengan
makna yang diberikan oleh ulama-ulama salaf, yaitu menyerahkan pengertian-pengertian
nash itu kepada Allah sendiri tanpa menentukan sesuatu makna.
Ulama al-Quran bersikap
toleran terhadap takwil-takwil sebagian ulama sufi atas dasar bahwa takwil
tersebut merupakan isyarat-isyarat dan ekstase-ekstase (mawajid) yang
tidak bertentangan dengan makna-makna aslinya. Tidak disangsikan lagi di
samping menolak takwil-takwil Syiah tetapi menerima sebagian takwil-takwil kaum
sufi sementara sebagian yang lain ditolak, tersirat sikap idiologis yang
mendukung kekuasaan. Akan tetapi, secara epistemologis prinsip yang mendasari
pembedaan yang mereka lakukan antara yang diterima dan yang dibenci dalam
wilayah takwil tetap valid dan tepat. Dan konsep implisit yang kita diskusikan
ini diharapkan dapat terkuak melalui analisis dari kata takwil itu sendiri yang
merupakan sisi lain dari teks dengan perangkat bahasa dalam pemahaman kita
sekarang. Ini dari satu segi, dan segi yang lainnya, kemunculan kata takwil
dalam al-Quran teks Arab yang tertua dan terpercaya.
2.
Syarat
Ta’wil
Menurut
Wahbah az-Zuhaili syarat ta’wil ada empat, yaitu :
a.
Lafal yang ditakwil harus muhtamil
(mempunyai kemungkinan arti lain) walaupun arti itu jauh dari arti yang
sebenarnya. Asalkan bukan arti yang garib
(asing) sama sekali
b.
Takwil harus didasarkan pada dalil atau
indikasi yang sah dan dalil tersebut harus lebih kuat daripada makna lahiriah
lafal
c.
Takwil tersebut harus termasuk salah
satu makna yang dikandung oleh lafal yang dipalingkan maknanya
d.
Orang yang menakwil adalah orang yang
mempunyi otoritas dan kompetensi untuk itu sehingga dalam melakukan takwil
sesuai dengan ketetapan bahasa atau kebiasaan syara’.
C.
Terjemah
1.
Pengertian Terjemah
Kata terjemah
berasal dari bahasa arab, “tarjama” yang berarti menafsirkan dan menerangkan
dengan bahasa yang lain (fassara wa syaraha bi lisanin akhar), kemudian
kemasukan “ta’ marbutah” menjadi al-tarjamatun yang artinya pemindahan atau
penyalinan dari suatu bahasa ke bahasa lain (naql min lighatin ila ukhra).
Sedangkan menurut Abu al-Yaqzan terjemah adalah memindahkan suatu pembicaraan
dari suau bahasa ke bahasa yang lain dengan tidak menerangkan makna asal dari
pembicaraan itu tadi.[4]
2.
Macam-macam
Terjemah
Adapun
macam-macam terjemah dibagi menjadi dua,
yaitu :
a.
Terjamah
Harfiyah: memindahkan kata-kata dari suatu bahasa yang sinonim dengan bahasa
yang lain yang susunan kata yag diterjemahkan sesuai dengan kata-kata yang
menerjemahkan, dengan syarat tertib bahasanya.
b. Terjemah Tafsiriah atau Maknawiyah:
menjelaskan maksud kaliamat (pembicaraan) dengan bahasa yang lain tanpa
keterikatan dengan tertib kalimat aslinya atau tanpa memperhatikan susunannya.
3.
Syarat
Dalam Menerjemahkan
a. Penerjemah
benar-benar megetahui dan menghayati kedudukan dan aspek-aspek kedua bahasa
yaitu bahasa asal dan bahasa terjemah
b. Penerjemah
mengetahui pola kalimat dan ciri khas kedua bahasa
c. Bahasa
terjemah memenuhi semua makna dan maksud yang ada ada bahasa asal
d. Bahasa
pertama tidak boleh melekat pada bahasa terjemah lagi. Terjemah harus
benar-benar memindahkan makna bahasa pertama kedalam bahasa terjemah
D.
Hubungan Tafsir, Takwil dan Terjemah
1.
Perbedaan Tafsir dan Takwil
Tafsir
|
Takwil
|
Menyangkut
hal yang lebih umum
|
Berkenaan
dengan ayat-ayat yang bersifat khusus, seperti pada ayat mutasyabihat
|
Bila ada dalil-dalil yang menguatkan
penafsiran, boleh ditegaskan bahwa demikianlah yang dikehendaki oleh Allah
Swt.
|
Menguatkan
salah satu makna dari sejumlah kemungkinan makna yang dipunyai oleh Al-Qur’an
dengan tidak meyakini bahwa demikianlah yang dikehendaki oleh Allah Swt.
|
Menerangkan makna ayat melalui
pendekatan riwayah
|
Menerangkan makna ayat melalui
pendekatan dirayah
|
Menerangkan makna yang tersurat
|
Menerangkan
makna yang tersirat
|
Menerangkan makna kalimat, baik makna
haqiqi maupun makna majazinya
|
Menerangkan
makna batin atau hakikat yang dikehendaki
|
Berhubungan dengan makna ayat yang
biasa saja
|
Berhubungan
dengan makna ayat yang suci
|
Penjelasan makna dalam tafsi telah
diberikan oleh Al-Qur’an sendiri
|
Penjelasan
makna dalam takwil diperoleh melalui eksplorasi keilmuan
|
2.
Perbedaan Tafsir dengan Terjemah
Tafsir
|
Terjemah
|
Selalu ada keterkaitan dengan bahasa asalnya dan tidak selalu
terjadi perpindahan bahasa
|
Terjadi perpindahan bahasa dari bahasa pertama kedalam bahasa
terjemah dan bahasa pertama tidak melekat pada bahasa terjemah
|
Harus dilakukan apabila usaha menerangkan makna ayat baru dapat
dicapai dengan penguraian secara meluas
|
Tidak boleh menguraikan melebihi perpindahan bahasa
|
Adanya usaha menerangkan masalah baik keterangan itu secara garis
besarnya ataupun terperinci
|
Dituntut terpenuhinya semua makna dan maksud yang ada dalam
bahasa yang diterjemahkan
|
Pengakuan didapatkan dari orang yang sepaham dengan yang membaca
hasil penafsiran
|
Penerjemah diakui sudah melakukan penerjemahan apabila ia
berhasil memindahkan makna bahasa yang pertama kedalam bahasa terjemah
|
3.
Persamaan Tafsir, Takwil dan Terjemah
Persamaan
dari tafsir, takwil dan terjemah yaitu ketiganya sama-sama menerangkan makna
ayat-ayat Al-Qur’an dan ketiganya sama-sama sebagai sarana yang dapat dilakukan
untuk memahami Al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tafsir, takwil dan
tejemah sama-sama menerangkan makna ayat Al-Qur’an serta menjadi sarana yang
dilakukan agar memahami Al-Qur’an. Adapun secara garis besar pengertian dari
ketiganya adalah :
1.
Tafsir
menjelaskan makna ayat yang kadang-kadang panjang lebar, lengkap dengan
penjelasan hokum dan hikmah yang dapat diambil dari ayat tersebut yang
seringkali disertai dengan kesimpulan kandungan ayatnya.
2.
Takwil
mengalihkan lafal ayat Al-Qur’an dari ati yang lahir dan rajah kepada arti yang
lain yang samar
3.
Terjemah hanya
mengubah kata dari bahasa arab kedalam bahasa lain tanpa mengubah kandungannya
B.
Saran
Sebagai umat muslim yang berpedoman pada Al-Qur’an Hadist sebaiknya
kita banyak mempelajari tentng tafsir, takwil dan terjemah. Meskipun kita tidak
menjadi pelaku tafsir akan tetapi kita perlu memahami ketiganya guna untuk
mempermudah dalam memahami Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Https://yuliantihome.wordpress.com/makalah/ulumul-Qur’an-Tafsir-ta’wil/
di akses pada tanggal 10 Februari 2017
Ma’ruf
Amari dan Hadi Nur, Mengkaji Ilmu Tafsir.
(Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014)
Https://navia.wordpress.com/makalah/tafsir-takwil-dan-terjemah/
di akses pada tanggal 10 Februari 2017
[1] Q.S. Al-Baqarah
[2] Https://yuliantihome.wordpress.com/makalah/ulumul-Qur’an-Tafsir-ta’wil/
di akses pada tanggal 10 Februari 2017
[3] Https://navia.wordpress.com/makalah/tafsir-takwil-dan-terjemah/
di akses pada tanggal 10 Februari 2017
[4] Ma’ruf Amari dan Hadi Nur, Mengkaji Ilmu Tafsir. (Solo: Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2014). Hal 29
EmoticonEmoticon