PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Manusia
diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dibumi ini.Maka keberadaannya dibumi
sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap lestari.Oleh karena
itu, manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi
apapun.Selain untuk menghindari perzinaan, nikah juga merupakan
sunnatullah.Dalam masalah pernikahan ini, tentunya ada ketentuan-ketentuan
tersendiri.
Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara
pernikahan, di antaranya adalah masalah sighot akad nikah, wali nikah, dan
mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari pernikahan
yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat tercapai
tanpa suatu halangan apapun.
Selanjutnya makalah ini
dibuat juga, untuk memberikan informasi baik bagi pembaca maupun bagi pemakalah
sendiri, juga menjadi sebuah tambahan pengetahuan yang lebih dalam lagi
mengenai wali dan saksi dalam nikah serta hal-hal yang berkaitan dengannya.
1.2.Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian wali dan
dasar hukum wali dalam pernikahan?
2. Bagaimana
syarat-syarat menjadi wali?
3. Apakah
macam-macam wali nikah?
4. Apakah
pengertian saksi dan dasar hukum saksi nikah?
5. Bagaimana
syarat-syarat menjadi saksi nikah?
1.3.Tujuan
1. Menjelaskan pengertian wali dan dasar hukum wali
dalam pernikahan
2.
Menjelaskan syarat-syarat menjadi wali
3. Mengetahui
macam-macam wali nikah
4.
Menjelaskan pengertian saksi dan dasar hukum saksi nikah
5.
Menjelaskan syarat-syarat menjadi saksi nikah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Wali dan
Dasar Hukum Wali Nikah
Akad nikah dilakukan oleh
dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu
sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.
Kata “wali” menurut bahasa
berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang
berarti pecinta, saudara, atau penolong.Sedangkan menurut istilah, kata “wali”
mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk
mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan
pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan
pengantin pria).Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad
nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu
pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang mangakadkan nikah itu
menjadi sah.Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah.Wali dalam suatu pernikahan
merupakan suatu hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang
bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung
melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain.
Wali dalam suatu
pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang
bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung
melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain. Yang
bertindak sebagai wali adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat-syarat
tertentu.
Seorang
wali dalam suatu akad nikah sangat diperlukan, karena akad nikah tidak sah
kecuali dengan seorang wali (dari pihak perempuan).
2.2.Syarat-syarat Menjadi
Wali
1) Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam
menjadi wali untuk muslim.
2) Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti
anak kecil atau oarang gila tidak berhak menjadi wali.
3)Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita
lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila
terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri,
maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ
الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى
تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
Artinya:
”Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan
tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri.Wanita pezina-lah yang
menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Dishohihkan oleh
Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 7298)
4)Orang
merdeka.
5) Adil
(orang fasik tidak sah menjadi wali)
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil,
maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh,
orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar. [4]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil
diartikan dengan cerdas.Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat
atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau
seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
Artinya:
“Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali
dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hanbal).
6)Tidak
sedang melakukan ihram.
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang
berhak menjadi wali dalam arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak
dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih dekat masih ada maka wali
yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
Pada
dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarib. Bila wali qarib
tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik
dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan di atas.
2.3. Macam-macam Wali Dalam Nikah
Wali
dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
1. Wali
Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari
keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.
Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk
yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran tidak membicarakan
sama
sekali siapa-siapa yangberhak menjadi wali. Jumhur ulama membaginya menjadi dua
kelompok:
a.Pertama:
wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada
kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan
dikawinkannya.
b.Kedua:
wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan
kakek, juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai
berikut:
a) Saudara laki-laki kandung, kalau tidak
ada pindah kepada.
b) Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada
pindah kepada.
c) Anak saudara laki-laki kandung, kalau
tidak ada pindah kepada.
d) Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak
ada pindah kepada.
e) Paman kandung, kalau tidak ada pindah
kepada.
f) Paman seayah, kalau tidak ada pindah
kepada.
g) Anak paman kandung, kalau tidak ada
pindah kepada.
h) Anak paman seayah,
i) Ahli waris kerabat lainya kalau ada.
2.Wali
Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh
pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim
dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai
wali nasab sama sekali.
a) Walinya mafqud, artinya tidak tentu
keberadaannya.
b) Wali sendiri yang akan menjadi mempelai
pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
c) Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh
masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
d) Wali berada dalam penjara atau tahanan
yang tidak boleh dijumpai.
e) Wali sedang melakukan ibadah haji atau
umroh.
f) Anak Zina (dia hanya bernasab dengan
ibunya).
g) Walinya gila atau fasik.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2
tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA
Kecamatan.
3.Wali
Muhakkam
Wali
muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk
bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat
sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu
fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan
laki-laki.
4. Wali Mu’tiq yaitu Wali Nikah karena,
memerdekakan, artinya seorang ditunjuk sebagai wali nikahnya
seseorang permpuan, karena orang tersebut pernah memerdekakannya. Untuk jenis
kedua ini diIndonesia tidak terjadi.
2.4. Pengertian Saksi dan Dasar Hukum Saksi
Nikah
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat
atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah
adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara
apa adanya. [5]
Rasulullah
sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn dengan redaksi berbeda-beda
menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah
hadits:
لاَ نِكَاحَ إِلاَ بوَلِيٍِّ وَ شَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak
sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil’.
Bahkan
dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan Turmudzi dinyatakan bahwa
pelacur-pelacur (al-baghaya) adalah perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya
sendiri tanpa dihadiri dengan saksi (bayyinah).
Malikiyah mempunyai pendapat berbeda tentang
saksi dalam pernikahan.Pandangan Malikiyah berangkat dari illat ditetapkannya
saksi sebagai syarat sah nikah.Malikiyah mengambil pemikiran bahwa untuk
sampainya informasi dan bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun
bisa ditempuh melalui i’lan. Malikiyah membedakan i’lan dengan saksi, dimana
i’lan difahami sebagai media penyambung informasi dari suatu pernikahan tanpa
harus melalui hadirnya sosok saksi dalam proses akad nikah.
Menurut Malikiyah saksi tidak dibutuhkan
kehadirannya pada saat aqad, namun saksi akan diharuskan kehadirannya setelah
aqad sebelum suami mencampuri isterinya. Malikiyah justru mengutamakan i’lan
nikah dari pada kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah mencakum
kesaksian.Meski demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi sebagai
wujud pengamalan
mereka
terhadap hadis tersebut.Hal ini didasarkan pada pandangan Malikiyah, yang
benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah yang pada waktu itu mengamalkan
hadis-hadis yang berkaitan dengan i’lan.
Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHP
Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian saksi yaitu: “Saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara
yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan
dari pengertahuannya itu”
Saksi dalam pernikahan merupakan rukun
pelaksanaan akad nikah, sehingga setiap pernikahan harus dihadiri dua orang
saksi (ps. 24 KHI). Karena itu kehadiran saksi dalam akad nikah mutlak diperlukan, bila saksi tidak hadir/tidak
ada maka akibat hukumnya adalah pernikahan tersebut dianggap tidak sah. UU
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 26 (1) menyatakan dengan sangat tegas:
“Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat perkawinan yang tidak
berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri
oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam
garis keturunan lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri”.
2.5.Syarat-syarat Menjadi Saksi Nikah
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang
saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari
pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Orang
yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi syarat sebagai berikut: [6]
1)
Islam
Dua orang saksi itu harus muslim, menurut
kesepakatan para ulama. Namun menurut Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi
saksi seperti kasus, seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah.
2)
Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun
sudah mumaiyyis (menjelang baligh), karena kesaksiannya menerima dan
menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut diatas dispakati
oleh fukaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu kedua saksi harus
mukallaf.
3) Berakal
Orang gila tidak dapat dijadikan
saksi.
4) Mendengar Dan Memahami Ucapan Ijab Qabul
Saksi
harus mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, antara wali dan calon pengantin
laki-laki.
5) Laki-Laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam
akad nikah.Demikian pendapat jumhur ulama selain Hanafiyah.
6) Bilangan
Jumlah Saksi
Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang
termasyur: kesaksian seorang wanita saja dapat diterima.
Maliki
dan Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: kesaksian dengan dua orang wanita
dapat diterima.
Syafii:
tidak diterima kesaksian perempuan, kecuali empat orang.
7) Adil
Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya
dapat melihat lahiriyahnya saja.Demikian pendapat para jumhur ulama.Selain
hanafiyah.
8) Melihat
Syafiiyah
berpendapat saksi harus orang yang dapat melihat.Sedangkan jumhur ulama, dapat
menerima kesaksian orang yang buta asal dia dapat mendengar dengan baik iajd
qabul itu dan dapat membedakan suaa wali dan calon pengantin laki-laki.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam,
yaitu:
a. Wali
nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan
berhak menjadi wali.
b. Wali
hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali
dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon
mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
c. Wali
muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk
bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
d.
Adapun syarat pada dua orang saksi, antara lain: Islam, baligh, berakal,
laki-laki, mendengar dan memahami ucapam ijab qabul adil, dan tidak tuna rungu
atau tuli.
Adapun syarat pada dua orang saksi, antara
lain: Islam, baligh, berakal, laki-laki, mendengar dan memahami ucapam ijab
qabul adil, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat
penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga,
terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan
suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu.Juga supaya suami tidak
menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah
menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul
kebo.Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu.Saksi
menjadi syarat sah akad nikah.
3.2.Saran
Dari
penulisan makalah ini, penulis menyadari akan banyaknya kekurangan. Maka dari
itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Demi kesempurnaan
makalah ini kedepannya.
DAFTAR
RUJUKAN
http://khalkulbahri.blogspot.co.id/2013/10/makalah-fiqh-munakahat-wali-dan-saksi.html di akses pada tanggal 08 Agustus
2017
http://www.hukumsumberhukum.com/2014/08/hukum-islam-pengertian-wali-nikah-dan.html
di akses pada
tanggal 08 Agustus 2017
https://rumaysho.com/2765-saksi-dan-wali-dalam-nikah.html
di akses pada
tanggal 08 Agustus 2017
Abidin,slamet.Aminuddin.1999.Fiqih
Munakahat.Bandung.CV PUSTAKA
Rasjid,Sulaiman.1998.Fiqh
Islam.Bandung.PT.Sinar Baru Algensindo
EmoticonEmoticon